Pengadilan Terakhir

“Bukannya katanya jurnalis? Kok pernah ambil sales di Ernst & Young?”

“Mmm..iya, mereka kebetulan mencari jurnalis supaya bisa menulis proposal. Tapi lumayan kok, bisa belajar sedikit tentang business & finance.”

“Kalau belajar finance bagus di Reuters, mereka menyediakan kursus financial analysis khusus.”

Mata membesar, mulut agak menganga “Oh yaa? Reuters yang kantor berita itu? Ada buat belajar bisnis juga? Kirain cuma buat nulis…”

“Iya, and a good one. Tapi gue rasa emang minat loe ga kesitu ya? Lebih ke arah literatur dan budaya? Gapapa juga kok, gue juga suka beberapa karya seni, seperti The Art of War, gitu-gitu.”

“Sun Tzu?”

“Tau ternyata?”

“Mmm…pernah denger aja.”

“Kalau chicklit pasti tahu ya?”
“Hahaha..lumayan…”

“Ohh…berarti loe orangnya percaya fairy tale and happy ending.”

Berbinar-binar kagum “IYAAA…kok tau siii???”

 

Sebelum gue benar-benar menginternalisasikan kepribadian gadis berotak kosong yang gue perankan dalam pembicaraan di atas, gue berusaha meyakinkan diri sendiri. Gue tidak segoblok itu…gue tidak segoblok itu…

 

Gue pernah menulis untuk Reuters. Dan jika fakta yang memberi gue bahwa Reuters juga bergerak dalam bidang analisa finansial adalah kebetulan, gue juga kebetulan pernah mengenal pria yang memberi training finansial tersebut. Fakta kedua, menambahi bahwa gue sungguh Cina, empat bahasa yang bisa gue pahami adalah bukti ketertarikan gue pada dunia perbahasaan. DAN gue adalah jebolan ilmu komunikasi  yang pada masanya meraih nilai A+ untuk analisis media. Di luar chicklit, sungguh ada beberapa buku lain yang gue baca…

 

Tapi tentunya, fakta itu tidak terlihat dari tampak luar. Dan tanpa sempat melakukan background check, pria dalam dialog segera mengambil kesimpulan sejak awal, bahwa there’s no way a girl with matching shoes, tank top and short could ever write for Reuters, or know about Sun Tzu, or read anything else but chicklit.

 

Oh! Judgement! Sunggu tak asingnya kata tersebut di telinga gue! Nampaknya rekan sesama manusia memang tidak pernah bisa melepaskan diri dari sifatnya yang subjektif. Apalagi kepada makhluk malang yang dilahirkan sebagai perempuan, dengan penampilan dan selera berpakaian tertentu.  Banjir bonus stigma dengan murah hati akan diberikan, di menit pertama high heels mary-jane merah cabe gue menjejaki lantai interaksi.

 

Bahkan alasan hingga kini gue belum mengetahui hasil promo buku Have a sip of Margarita di Solo, dan menjadi penulis tidak tahu diri yang sama sekali tidak membantu pengurusan penjualan buku, melempar tanggung jawab begitu saja pada mas Blontank yang sudah susah-susah membuat acara, itu adalah buah sebuah penghakiman.

 

Hingga kini gue tidak berani menghubungi distributor buku gue di Solo karena takut dilabrak lagi oleh istri sang distributor. Cukup dengan fakta-fakta bahwa di hari suaminya mengantar buku ke hotel tempat gue menginap ia tidak pulang lagi, sang istri mengambil kesimpulan mutlak: Margie, wanita yang mukanya ada di sampul buku itu, anak Jakarta yang tampak tinggal sendiri di hotel, adalah tipe perempuan penggoda suami orang.

 

Juga karena judgement-lah gue nyaris menjadi korban kasus malpraktik, lantaran bukannya menanggapi sejarah medis gue, tiga dokter malah tiga kali melakukan tes kehamilan pada gue saat gue tampil sebagai wanita usia produktif berkaos sleeveless bercelana pendek dengan keluhan pusing, mual, muntah di klinik.

 

Bahkan di saat gue membantah hasil pemeriksaan dengan metode first impression counts itu dengan penuh keyakinan, dokter kampus tetap penuh selidik.

“Kenapa bisa yakin?”

“Karena…ya..saya tidak punya pacar.”

Membuat gesture melirik ke luar pintu pemeriksaan, dimana mantan pacar yang saat itu terjebak mengantar sedang duduk sambil plengak-plengok. “Anda tahu bahwa Anda tidak perlu menikah untuk hamil kan?”

Dokter, saya pertama kali mendapat pendidikan seks di usia 3 tahun, of all other thing, tentu saya tahu! “Tahu, makanya saya yakin saya tidak hamil.”

“Kapan terakhir Anda haid?”

Penuh senyum kemenangan, tidak terlambat sedikitpun! “2-3 minggu yang lalu.”

 

Sang dokter kemudian meminta gue melakukan serangkaian tes yang ternyata adalah sebuah tes kehamilan, dan karena gue bukan tokoh yang bisa mengandung dari roh saja,  hasilnya negatif.

“Dokter saya pernah hepati–” Gue berusaha membuka kemungkinan lain dari penyakit gue. “Mungkin maag,” dokter itu tak menggubris.

 

Seminggu kemudian, obat maag yang diberikan tidak berefek positif. Maka, pergilah gue ke rumah sakit umum Singapura. Sekali lagi, cukup dengan melihat usia, gejala, dan raut fisik pasien, dokter menyatakan hasil diagnosanya: Hamil. Saat itu tentunya gue tidak bisa lebih yakin lagi bahwa analisa dokter kedua ini keliru.

“Kenapa Anda bisa yakin?”

“Karena saya baru tes seminggu yang lalu!”

“Tapi Anda tahu kan tidak perlu seminggu untuk menjadi hamil?”

“Tapi kan saya muntah-muntah-nya sudah lebih dari seminggu yang lalu!”

Tetaplah, gue diberikan tabung urin karena ini adalah ‘standard prosedur pemeriksaan’

 

Dokter ketiga yang gue temui nampaknya jebolan universitas yang sama dengan kedua dokter pertama.  Dokter tersebut langsung menembak bertanya;

“Kapan terakhir haid?”

“3-4 minggu lalu, TAPI SAYA TIDAK HAMIL! SAYA SUDAH DITES DUA KALI!”

Tak menggubris “Memangnya kapan terakhir kali Anda berhubungan seksual?”

Dokter, saya berharap saya bisa bilang bahwa saya punya pacar, bahwa kami punya hubungan yang sangat bergairah, tapi tidak..saya jomblo, dan bahkan tidak sedang berbohong… “Tidak pernah.”

“Tidak secara aktif maksudnya?”

Apa kata loe deh! “Tidak.”

Di akhir pemeriksaan, gue harus menandatangani surat pernyataan “I certify that I am not pregnant” agar bisa diberi obat-obatan penghilang mual.

 

Saat itu gue sudah tiga minggu muntah-muntah tanpa banyak makanan yang bisa masuk ke sistem pencernaan. Menolak mati di negeri orang, gue memutuskan untuk berobat pada dokter keluarga di Jakarta saja. Gue ternyata mengalami gangguan fungsi hati. Setelah  terkena hepatitis A yang sangat parah, ada carut di bagian liver yang mengganggu pencernaan ketika mengalami kelelahan.  Hal ini tidak terdeteksi laboratorium karena virus hepatitis itu sendiri telah hilang. Setelah diberi obat yang tepat sesuai diagnosa dan keluhan pasien, seminggu kemudian gue sembuh.

 

Tidak terbayang jika gue tidak mencari dokter yang mengetahui sejarah medis gue. Atau gue tidak berkursi roda karena sudah tak mampu menahan berat tubuhnya sendiri. Mungkin gue masih harus menjalani beberapa tes kehamilan lainnya tanpa mendapat pengobatan yang tepat.

 

Sungguhpun keki , gue bisa memahami betapa nyamannya untuk menghakimi seseorang berdasarkan impresi pertama yang didapat. Gue sendiri adalah orang yang sangat judgemental, membuat penilaian dan memberi komentar atas apa yang terlihat secara kasat mata.

 

Gue mahfum, manusia memang pribadi yang subjektif. Dalam kehidupannya, manusia butuh membuat penilaian agar bisa menentukan sikap terhadap subjek yang dinilai. Dan mengingat jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah, alangkah sulitnya untuk mengenali pribadi setiap orang secara mendalam! We just don’t have enough time! Oleh karena itulah kita terpaksa mengandalkan beberapa menit pertemuan sebagai  modal penilaian kita kepada orang lain.

 

Maka gue pun tidak merasa tersinggung sedikitpun dihakimi tanpa asas praduga tak bersalah ini. Gue menerima dengan lapang dada jika dicap sebagai agresif, gampangan, agak goblok, atau pintar tapi menggunakannya hanya untuk berburu laki-laki, karena berpenampilan sedemikian rupanya dan berwajah tidak terlalu jelek,  mandiri serta blak-blakan.

 

Gue tetap menolak untuk mengubah wujud rupa gue hanya semata-mata untuk menskor nilai lebih tinggi dalam menit-menit pertama itu. Gue menerima konsekuensi atas nihilnya hasrat menjadi jelek, mengganti selera berpakaian atau menjegal aspirasi diri untuk keluar dari mulut.

 

Bahkan, di menit pertama gue menangkap hasil pengadilan yang menentukan tingkat IQ gue lewat tatapan mata dan nada bicara, gue langsung hanyut dalam peran yang diharapkan masyarakat: menjadi perempuan tolol.

 

Gue malah bisa menikmati respon lawan bicara yang seolah berhadapan dengan a lesser being, sambil menahan tawa dan membayangkan reaksi jika ia nanti meng-google nama gue, sebuah kebiasaan yang sering dilakukan pria yang berhadapan dengan perempuan yang suka pura-pura pintar.

 

Tapi meskipun sungguh legowo, tetaplah gue berharap akan selalu waspada agar tidak terlalu mengandalkan hakim sendiri  saat berhadapan dengan orang lain. Menjadi seorang yang judgemental, seperti yang kasus terakhir yang gue alami, bisa berdampak fatal pada jiwa dan kesehatan orang lain, bahkan menimbulkan kematian!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *