I’m 28-year-old and I travel with parents.
Gue sering menerima pandangan heran saat turis Margie, terlalu tua sebagai anak sekolahan, check in di kamar tripple room bersama sepasang kakek-nenek berusia 60an saat di Jepang kemarin. Bepergian dengan orang tua, sepertinya lebih diwajarkan sampai usia SMA saja.
Sebagian besar perempuan di usia gue memang sedang sibuk merencanakan liburan bersama suami atau honeymoon. Sebagian lagi yang pecinta kebebasan akan backpacking sendirian atau bersama sekelompok teman. Sebagian bahkan mungkin sedang sibuk menulis tentang tips bepergian dengan anak.
Tentu saja kalau ada kesempatannya gue lebih memilih menulis pengalaman yang sedemikian. Tapi bagi gue, berwisata bersama kedua orang tua gue semacam perjalanan mencari jati diri.
Dengan berkaca pada sifat-sifat mereka, gue seolah menemukan diri gue, versi tuanya, dengan segala hal yang ingin gue tiru dan yang ingin gue lupakan. Ada banyak kebijaksanaan yang ternyata bisa terkumpulkan dengan bertambahnya usia mereka.
Lagipula, seperti semua anak berkata tentang ibunya, my mother is special. Atas permintaan khalayak Path, gue akan menulis petualangan gue ke Jepang lewat obrolan beranteman gue dengan si Mamih sepanjang perjalanan.
DAY 1: TOKYO- STAND BY ME PREMIER- ROPPONGI
Di daerah Roppongi berderet boneka Doremon. Gue tentunya dengan semangat ingin berfoto bersama Doremon. Si Mamih, sayangnya, tidak datang dengan semangat yang sama. Dengan malas ia meladeni permintaan gue difoto sama Doremon
Foto 1: Mak, ini kok foto sama Doremon, tapi doremonnya malah kepotong!
Foto 2: Mak! Yang ini blur! Ayo fotoin lagi
Foto 3: Kok doremonnya doang yang terang, aku mana?
Pada fase ketiga ini si mamih sudah mulai kehilangan kesabaran, “eh! Itu mah jangan nyalahin mami! Berarti kamu masi disantet! Auranya belom balik! Mukanya gelep!” Dan gue berakhir dengan foto Doremon yang semenjana sekali…
DAY 2: KYOTO
Keesokannya kami ke Kyoto, sebuah keputusan yang awalnya sangat ditentang si Mamih karena terdengar membosankan dan anti kapitalis dan membuat gue dibully sepanjang jalan kenangan.
Mamih: De, kita ke Kyoto ngapain sih?
Me: Kota kuno! Banyak kuil!
Mamih: Aduu.. ini kita lagi lebaran masa ke kuil! Tahun baru Cina aja yang ke kuil! Itu juga yang di Glodok aja!
Me: Mmmm.. lihat Geisha?
Mamih: iihhh itu apa lagi, di Jakarta juga sering! Move on dong, jangan dengerin yang sedih-sedih terus!
Banyak orang yang bertanya bagaimana gue ditinggal kawin tapi malah ketawa-ketawa. Apa gue gila? Mungkin, tapi mungkin karena gue memang tidak terbiasa memelas mencari belas kasihan. Mamih adalah orang paling positif yang pernah gue kenal. Buatnya, apa yang nggak ada berarti nggak usah dipikirin.
Jangan harap menerima penghiburan ketika bersedih karena kehilangan sesuatu, atau karena sebuah kegagalan. No..no.. itu bukan keluarga gue.. Si mamih bakal membully, melawak, hingga gue merasa malu untuk mengaku sedih.
Mamih telah mengubah semua geisha di Jepang menjadi kode untuk menyanyikan lagu grup band Geisha. Sampai kalau lihat perempuan pakai kimono pun terngiang-ngiang.
Balik lagi ke Kyoto, ternyata Kyoto adalah sebuah kota besar
Mamih: Duuu ternyata Kyoto bagus yaa.. lebih modern, bajunya keren-keren, kamu nggak bilang sih di Kyoto bisa belanja!
Me: Masa naik shinkansen 3 jam cuma buat belanja baju?
Mamih: Daripada naik pesawat 7 jam cuma buat foto sama Doremon!
Ahhh.. Doremon gue dibawa-bawa lagi!
DAY 3: KYOTO
Di hari ini kami mulai mengunjungi Kyoto yang sejati, yaitu yang penuh kuil. Di kuil distrik Gion, si Mamih mulai rewel.
Mamih: Ini kuil buat apaan lagi?
Me: buat enteng jodoh
Mamih: Kalau gitu coba tolong kamu tuh arrange trip buat semua temen-temen kantor kamu yang pada diputusin laki-laki semua itu, jangan buat mami! *mampus kalian kena semua!
Me: Yaa.. kuil ini bisa buat enteng rejeki juga…
Mamih: ohhh.. yaa kalau gitu mah nggak usah bilang kuil enteng jodoh. Bilang aja kuil enteng rejeki, uda pasti kalau rejekinya lancer mah, jodoh bisa dibeliiii!
Mamih lalu melengos keluar sedangkan gue manggut-manggut sepakat. Mamih memang mimpi buruk setiap calon menantu. Nyinyir, pedes, nggak tendheng aling-aling. Tidak ada topik yang terlalu tabu untuk diangkat jadi bahan bercandaan. Rasanya nggak mungkin jadi orang yang nggak kritis dalam keluarga ini. Setiap hal pasti bisa kami kritisi komentari (dengan nyinyir),

Selain topik jodoh, soal pindah agama juga menjadi topik SARA paling hits yang sering ia bawa. Terutama setelah sewot menyambangi Kuil Meiji di Tokyo, Nijo castle serta Ginkakuji temple di Kyoto.
Mamih: De, mami khawatir, kalau sekali lagi kita ke kuil, si papih bisa pindah agama
Gue yang sudah bosan meladeni Mamih, mulai mengabaikan.
Mamih: Kalau papih pindah, mamih ikutan pindah lagi apa engga?
Me: MAK! YANG KAYAK BEGINI JANGAN DIBECANDAIN!
FYI, si mamih adalah satu-satunya orang di dunia ini yang gue denger nggak lulus tes baptis. Padahal biasanya pindah agama itu dibuat semudah mungkin. Namun karena sudah dekat pernikahan, maka dianggap lulus. Rahasia ini pun terkubur seiring dengan meninggalnya pastor pembimbing.
Seolah belum puas dengan reaksi gue, ia lalu menambah duri dalam daging.
Mamih: Kalau papih dapet hidayahnya, kamu bakal makin repot loh, kamu harus tetap cari suami yang seiman!
Me: MAK! Mau cari di mana lelaki SHINTO!
See from the bright side, pembicaraan hal ‘tabu’ semacam ini membuat gue selalu merasa lugas. Gue bisa memahami betul isu yang terjadi dan tidak asal terbawa provokasi atau fanatisme berlebih. Tersinggung, sekali lagi, adalah hal yang sia-sia. Hal beginian sering dijadiin becandaan kok di rumah!
DAY 4: MT FUJI-HAKONE

Keesokannya kami pergi ke Gunung Fuji dan kemudian ke Hakone, sebuah kota cantik dengan Danau Ashi di tepinya. Kami sempat naik ke Gunung Komagatake. Di atas gunung tersebut, terdapat sebuah kuil. Namun mamih sudah membulatkan hati tidak akan ke kuil lagi.
Papih: Yuk! Kita ke kuil yang di atas bukit!
Mamih: Nggak mau ke kuil lagi! Papi aja yang ke sono! Dan biar awan menutup jalan untuk kembali!
Banyak orang yang bertanya-tanya gue yang anak IPA ini kenapa tau-tau nulis 6 buku. Gue juga suka bingung. Si papih itu anak teknik mesin berat. Itin dan Inah juga insinyur. Saat-saat seperti ini, baru gue inget bahwa si mamih anak bahasa, mengaku mendapat nilai 10 untuk Bahasa Jerman dan Bahasa Arab.

Sorenya, kami check in di sebuah hotel yang punya lambang burung hantu, binatang kesayangan si Mamih! Beliau langsung minta difotoin.
Mamih: Dee ayo fotoin sama Fukuro, lambang kota Hakone
<CLICK>
Mamih: Ehh.. kok jelek! Kamu mau bales dendam ya nggak mami fotoin sama Doremon?
Me: ihh.. Sama anak sendiri suudzon! Nih difotoin yang bagus! Lain kali foto sama obyek yang gede-gede aja kayak burung hantu raksasa, batu gunung atau gua vertical! Mamih jadi keliatan kurus!
Gue merasa menang sesaat. Namun keesokan harinya, sambil baca-baca majalah si Mamih bicara dengan tenang, “ De, koper kamu jangan dibuka-buka lagi, ya, jangan coba-coba nambahin barang kamu ke situ. Udah mamih isi penuh sama burung hantu koleksi mami yang kemarin beli di Hakone.”
Kata seorang teman, mamih aku itu Godfather. Kalau sesekali gue bisa menang, itu pasti sengaja biar gue tidak patah semangat dalam menjalani hidup.
DAY 5: HAKONE

Kota Hakone memang terkenal dengan banyaknya onsen, pemandian air panas. Kami semua ingin mencoba, namun sebelumnya si Mamih punya ide jahil.
Mamih: De, jam tangan Samsung kamu tahan air?
Me: Tahan, tapi nggak tau tahan panas apa enggak. Emang kenapa?
Mamih: Kita bawa, buat foto-fotoin orang-orang di Onsen, terus kita sebar di seluruh Jepang, hahahahahaa…
Sesaat kemudian, gue, telanjang bulet, hanya dengan smartwatch, dicegat satpam.
Satpam: Itu apa? Kalau kamera nggak boleh
Me: Ini jam kok, tuuu.. bener kaan.. yak an..mi?
Si mamih sudah ngilang melenggang belagak nggak kenal.
Namun sesaat kemudian ia pun lari keluar onsen dengan muka ngeri, “De! Yang di dalem, badannya jelek-jelek banget! Mami takut!”
Jahil, mungkin adalah resep awet muda si Mamih. Di usianya yang 62, kelakuannya kadang masih seperti anak kecil, suka ngerjain orang, termasuk anak sendiri. Seperti saat gue mengunjungi Owakudani, kawah terbuka tempat ngerebus telor berkulit hitam.

Me: Katanya, kalau makan 1 telor ini bisa nambah umur 7 tahun
Mamih: Jadi kalau makan 2, nambah 14 tahun?
Me: Iya
Mamih: Kalau makan 3?
Me: 21
Mamih: Kalau 4?
Me: 28
Mamih: 5?
Me: 35
Mamih: Kalau 6?
Me: 42…
Mamih: Ah, mana mungkin! Ada juga kena kolesterol makan telor kebanyakan! Kamu mau nipu mamih ya!
Sesaat kemudian ia berpikir lagi
Mamih: Lagian kalau mamih sepanjang umur itu kamu mau ngerawatin mamih?
Me: Ya..doain aja sih aku juga bisa tahan sepanjang umur itu!
DAY 6: TOKYO- GINZA (SONY AQUARIUM)
Keesokannya kami kembali ke Tokyo. Setelah mengunjungi istana kaisar, makan ikan di pasar Tsukiji, kami pun ke Ginza. Dengan mahal-mahalnya barang di sana, kami pun menghibur diri dengan masuk akuarium gratis di Sony Aquarium. Di situlah gue bertemu ikan Napoleon.

Me: Mih! Fotoin sama ikan napoleon dong!
<CLICK>
Me: Mother!!!
Mamih: Abis susa tau, napoleon gerak-gerak! Foto sama belut listrik aja situ!
Me: Nggak mau, nggak unik!
Mamih: Kamu jangan kayak orang Jepang deh, norak! Kita tuh orang Indonesia, ikan napoleon banyak di Sulawesi!
Me: Tapi kan di Sulawesi kita nggak moto sama napoleon!
Mamih: Kalau gitu foto aja sama ikan kembung! Di Sulawesi juga kita ga motret sama ikan kembung!
Me: Ya beda dong, ikan kembung kan cuma buat dimakan!
Mamih: Ikan napoleon juga buat dimakan, misalnya gulai kepala ikan, isinya banyak!
Kalau ada yang bilang mulut gue kayak tong sampah, coba ketemu sama emak gue! Skalanya TPA! Berulang kali gue berantem dan selalu dimenangkan oleh si Mamih. Inilah resep awet muda Mamih yang kedua. Yang dipikirin ya diomongin. Malamnya bisa tidur nyenyak. Tinggal yang denger nggak bisa tidur makan hati denger omongan si Mamih.
Day 7: NIKKO

Bosan di Tokyo, kami kembali ke luar kota, mengunjungi Nikko, sebuah kota yang terkenal dengan makam Shogun Tokugawa, lengkap dengan patung monyet see, hear, talk no evil. Gue nggak tau seperti apa, soalnya si mamih tetap nggak mau masuk kuil.
Mamih: Dek, mami tuh kalau masuk kuil perasaannya nggak enak, hati kecil mamih bilang ada yang salah, ini musrik!
Me: Ya.
Mamih: Beneran! Kayaknya ini bukan panggilan jiwa mamih! Hati mami berontak!
Me: Jadi panggilan jiwa mamih ke mana?
Mamih: Marilah kita berbuat baik dengan.. memberi rizki berlebih pada.. mereka yang menjual souvenir di toko depan kuil.
Tidak mudah sebenarnya bepergian dengan orang tua. Si papih, seumur hidupnya bekerja di pabrik, tidak bisa mentolerir kekeliruan sedikitpun dalam jadwal wisata. Ia juga suka lupa kalau kali ini perginya sama anaknya, bukan sama anak buahnya, sehingga setelah mendapatkan feedback itinerary, bisa mengirim email berkata ‘OK, tolong revisi dan kirim balik ke papa.’
Si mamih, semakin tua, semakin cerewet. Bisa ngamuk kalau kebelet pipis. Pertanyaannya nggak habis-habis. Juga curang, sok tahu, ngotot keras kepala. Pokoknya nggak terkalahkan. Sedangkan gue, mungkin sudah berkurang kesabarannya, makin logis, makin nggak mau nurut sama orang tua. Namun bagi gue, ini adalah semacam momen uji nyali. Seberapa siap gue merawat mereka hingga pikun lalu bertingkah seperti anak kecil lagi?
Sebagian besar mengungkapkan cinta mereka pada orang tua dengan memasang quotes-quotes bijaksana di path. Sebagian dengan merayakan hari ibu. Tapi melihat tawa cengegesan mamih dan papih di tengah keluhan panas dan nyeri sendi, ada satu lagi cara untuk sedikit membalas perawatan mereka dari kecil. Travel with your parents to your most expensive destination, in your longest holiday trip.