OMG, What did I just swallow?
Sesaat sebelumnya… kami berada di sebuah rumah kemas manggis di daerah Thailand Selatan. Seperti tradisi di rumah kemas manapun, kami langsung disodori manggis oleh pemiliknya. Dibuka satu-satu. Memang dasarnya suka makan dan doyan manggis, gue menyambut baik tawaran dengan melahap sebanyak-banyaknya.
“MMM.. enak-enak!” Gue menjawab rakus, menerima lagi potongan demi potongan manggis yang telah dibelah. Lagipula, gue tidak tau bagaimana caranya menolak dan bilang ‘cukup’ dalam Bahasa Thailand.
Puas makan manggis, kami diajak ke perkebunan manggis yang baru dipanen dan kita santap barusan. Barulah kami melihat, pohon manggis, di bibir pantai, tumbuh di tanah pasir merica. Iya, yang kayak di Lombok Barat. Pohonnya ranum dengan satu tangkai bisa berisi 10 butir lebih. Katanya kemarin habis diterjang badai topan, tapi tidak ada satu butirpun yang jatuh.
Padahal manggis secara natural hidup di dataran tinggi, sekitar 600-800 meter di atas permukaan laut. Tanahnya biasanya jenis litosol, semacam tanah vulkanis yang subur. Untuk tumbuh dengan kondisi jauhh dari alam naturalnya pasti diperlukan banyak rekayasa, genetika dan kimiawi.
Sesaat gue langsung teringat camilan manggis yang baru gue santap itu. Mana banyak banget.
Buah-buah dari Thailand memang selalu menggoda hati. Tampilannya cakep, ranum, segar, mulus, montok. Termasuk manggis. Pokoknya, kalau nggak berpikir panjang pasti disikat! Dan standar buahnya 98% kualitas ekspor. Hanya 60 kg dari 2.5 ton panen yang tidak layak ekspor. Itupun, kalau di Indonesia pasti masih diselipin.
Pertanian di Thailand memang sudah maju banget. Sepanjang jalan di provinsi Nakhon si Thammarat ini, berderet rapi pohon manggis dengan jarak tanam yang tepat, 10×10 meter. Pohonnya pendek-pendek, jinjit juga bisa petik buah. Dipastikan dipangkas ujung-ujungnya, hingga selalu melebar ke samping. Luasnya minimal 1 hektar.
Setiap hari, para petani manggis datang mengunjungi kebunnya, mengecek perkembangan buah. Jika kurang air, pipa air di masing-masing pohon akan menyala berputar untuk memastikan si pohon manggis nggak kehausan. Jika terlalu banyak hujan, irigasi akan diaktifkan untuk memastikan air tidak terlalu banyak terserap ke batang.
Beda banget sama pertanian di Indonesia. Membandingkannya, bahkan gue bisa bilang kita belum sampai pada peradaban Bertani dan bercocok Tanam. Masih di fase Berburu dan Meramu, khususnya untuk buah-buahan.
Pohonnya tumbuh secara tidak sengaja di tengah-tengah rimba. Gara-gara si Mbah makan manggis bijinya dilempar ke belakang rumah. Karena tidak sengaja tumbuh, ya bisa aja dempet-dempet. Lalu disesaki gulma dan tungau. Nggak pernah ditengok kecuali pas panen. Itupun sudah diijon pengepul.
Kalau lagi banyak hujan, ya mohon maaf, nggak bisa dipetik. Lalu kena sakit getah kuning dan buah transparan. Padahal manggis perlu hujan untuk berbuah. Kalau lagi kemarau panjang ya mohon maaf ga jadi berbuah. Tahun depan moga-moga…
Tidak heran manggisnya gompal-gompal. Banyak burik sana-sini. Kelopaknya cemong. Hanya 20-30% rata-rata yang kualitas ekspor. Sisanya membanjiri dalam negeri dengan harga murah. Kalaupun ada yang bagus mungkin yang tumbuh di atas gunung dan sedikit dirawat. Kalau yang di pantai macam Nakhon Si Thammarat itu sih udah BHAY aja, kalau dikerjakanpun lebih mahal biaya sortirnya.
Akan tetapi memang, ada yang harus dikorbankan untuk menghasilkan buah gemilang macam di Thailand itu. Sangking rajinnya, petani Thailand juga rajin nyemprot bahan kimia. Total ada kira-kira 8 pasang obat yang diberikan pada pohon manggis di masa tumbuhnya:
- 2 macam saat baru keluar daun baru
- 2 macam saat daun baru merimbun
- 2 macam saat keluar putik bunga
- 2 macam saat berbunga
- 2 macam saat keluar kelopak manggis
- 2 macam saat manggis mulai muncul pentil buahnya
- 2 macam saat manggis mulai segede bola bekel
- 2 macam saat manggis mulai bewarna ungu kecokelatan
Itu kalau pohonnya sehat. Kalau kena sakit getah kuning? 2 macam obat lagi. Kena burik? 2 macam lagi. Buah bakal transparan? 2 macam lagi.
Dan meskipun mereka meyakini bahwa semua proses tersebut masih dalam takaran organik, gue sih meragukan jika manggis gurun yang tidak tergoyangkan oleh angin ribut itu natural. Orang sehat juga seumur hidupnya nggak makan segitu banyak vitamin.
Pertarungan antara organik tapi buluk Vs cakep tapi plastik tak pernah terasa begitu nyata.
Gue datang ke Thailand untuk belajar bagaimana mengubah wajah pertanian Indonesia. Yang cemong-cemong, sangat bergantung pada alam, nyaris tanpa standar, harga jual murah… Supaya jadi kinclong, terkontrol, standar terjamin, dan selalu dianggap buah premium dengan harga mahal.
Namun setelah mengetahui rahasianya, gue tidak yakin jika gue mau mengarah ke sana. Mungkin fase mengunting tunas daun dan membersihkan kebun dulu. Mungkin fase 6 bulan sekali memberi pupuk organik dulu. Mungkin belajar buat irigasi dan sistem pengairan dulu.
Meskipun gue tahu berarti akan semakin lama buah Indonesia kalah saing dengan buah Thailand. Dengan jumlah sortiran sebanyak itu, mustahil kami bisa menjual dengan harga sama. Lagipula manggis Thailand selalu dianggap lebih superior, karena sudah punya merk dagang yang lebih ngetop, sebagai buah berkualitas. Kami cuma bisa ikhtiar bahwa nanti label organik bisa lebih laku dijual, dan pembeli tidak lagi menuntut buah yang mulus kayak habis luluran itu.
Lagipula gue takut karma. Menuang cairan pasca-panen berwarna keruh yang baunya sama sekali nggak organik itu, gue bertanya-tanya jika gue sampai hati menggunakannya untuk pengiriman, bahkan jika negara tujuan nggak keberatan gue pakai pembersih keramik sekalipun.
Jangan-jangan gara-gara manggis mutan, satu desa di China sana kena wabah kanker! Duh, untung nggak seberapa, dosanya se-kecamatan!