Terjadi kelangkaan Bacang jelang Ceng Beng tahun ini. Para tukang bacang biasanya suka memanfaatkan berbagai perayaan ke-cina-cina-an untuk berdagang makanan yang terdengar Cina, namun ketika dihubungi, mereka menolak membuat bacang kecuali harga dinaikkan dua kali lipat atau isinya diganti ayam.
Hal ini disebabkan langkanya daging babi di pasar-pasar tradisional, setelah FPI seringkali melakukan razia babi. FPI telah mengancam, menyegel toko babi hingga menyita paksa barang dagangan (babi), sehingga menimbulkan rasa takut di kalangan pedagang babi. Akibatnya, para pedagang bacang harus membeli daging babi di supermarket yang harganya lebih mahal.
Sedang bersungut-sungut hari itu karena tidak bisa Ceng-Beng-an dengan bacang, gue bertemu dengan si Uda yang baru pulang dari Mangga Dua. Wajahnya terlihat letih setengah kusut. Usut punya usut, ternyata si Uda baru saja mendapat bina rohani agama orang lain selama DUA JAM dari si koko yang punya toko komputer.
Si koko ini rupanya baru pindah agama, dan seperti kebanyakan orang yang baru memeluk agama baru, sedang senang-senangnya menjadi garam dan terang dunia. Terlebih dia baru ikut kursus kitab suci, sehingga tambah semangat berbagi ilmu.
“Si koko itu bisa masuk penjara! Menyebarkan agama pada orang yang telah memeluk itu dilarang undang-undang !” demikian si Uda berpendapat.
“FPI juga harusnya masuk penjara! Menghalangi orang lain mengamalkan ajaran kepercayaannya dilarang undang-undang!” gue ikut menambahkan.
Dua korban dakwah salah sasaran ini menghela nafas panjang. Bukannya gue menyalahkan usaha penyebaran agama. Sudah pasti, setiap orang fanatik terhadap agamanya masing-masing. Jika tidak menganggap agamanya sebagai yang paling oke, ngapain juga menganut? Maka jamak aja, kalau si koko atau FPI merasa begitu bangga dan yakin tiada jalan keselamatan selain dalam agama masing-masing.
Terlebih setiap agamapun mengajarkan penganutnya untuk menyebarkan kebajikan yang diterima kepada siapa saja. Harus pantang malu dan harus ekstrim dalam menyatakan iman. Terkadang guepun bertanya-tanya jika sikap gue yang adem ayem ini telah melanggar berapa ayat-ayat yang mewajibkan gue menyebarkan hal yang gue yakini benar terhadap orang-orang di sekitar gue.
Tapi yang gue tidak habis pikir mengapa di jaman social media marketing ini, masih ada aja yang percaya prinsip marketing tradisional jaman kolonial: pemaksaan. Memang gue sering mendengar betapa karya evangelisasi dan dakwah telah mengubah hidup seseorang. Yang pindah menjadi sungguh-sungguh bertakwa dan menjadi orang yang lebih baik.
Seandainya tidak ada usaha pemindahan, bagaimana mereka bisa menemukan jalur yang paling pas? Tapi ada berapa yang kasusnya semacam ini? Berapa persen tingkat keberhasilan dibandingkan tingkat kegangguan? Membuat orang beragama lain menjadi tidak nyaman dan malah sebel?
Alkisah ada seorang engkong kenalan yang kaya raya. DI usia tuanya, ia terserang strokes, sehingga menyadarkannya akan pentingnya melibatkan Tuhan dalam hidup. Maka ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu agama. Agar ia bisa memilih agama yang paling pas, ia mengundang pemuka empat agama ke rumah sakitnya.
Secara bergiliran, para pemuka yang tersohor ini memberikan presentasinya. Masing-masing berbicara dengan berkobar-kobar dan penuh ilmu, hingga di setiap saat, gue yang nonton pun tergerak untuk pindah-pindah. Namun dasar si engkong ateis, setiap kali ia menyerang para pemuka dengan pertanyaan-pertanyaan dan tudingan yang kritis.
Tiga agama lewat, tidak ada satupun yang berhasil menggerakkan hatinya. Ketika giliran yang terakhir, si pemuka agama sebenarnya sudah patah semangat. Baginya, ini tindakan buang-buang waktu. Si engkong jelas tidak tertarik dengan agama manapun, ia paling cuma pingin menyerang-nyerang filosofi keagamaan.
Lagipula, toh yang ia jabarkan tidak akan jauh berbeda dari tiga agama sebelumnya. Kalau si engkong menyerang dan tidak percaya akan fakta yang ada di tiga agama tadi, apa yang bakal mengubahnya kali ini? Si pemuka agama memberi presentasi dengan ogah-ogahan dengan cara yang paling membosankan. Gue saja yang memeluk agama itu sudah hampir ketiduran mendengar dakwah yang tidak menarik.
Kami sudah yakin 100% si engkong bakal tetap ateis hingga akhir hayatnya. Tapi keesokan harinya, si engkong memutuskan untuk memeluk agama yang terakhir. Bukan Cuma memeluk, ia mendonasikan banyak harta kekayaannya bagi pengembangan komunitas, tidak pernah absen beribadah hingga hari ini.
Menjadi saksi mata kepindahaan ini menyadarkan gue satu hal: agama itu panggilan. Kalau nggak dipanggil ya nggak bakal beragama. Suatu hal yang biasa saja, dan tidak bermujijat bisa membuat seseorang tersungkur, bersembah sujud dan menjadi percaya. Sebaliknya, tidak peduli seberapa berkobar-kobarnya, seberapa menariknya, tidak ada ngaruhnya jika memang bukan itu jalannya.
Memangnya dengan dilarangnya daging babi dijual, FPI bisa menyetop penganut kepercayaan dari merayakan tahun baru bagi leluhurnya yang telah meninggal? Memangnya kursus di toko komputer dua jam bisa menggerakkan hati si Uda sedikitpun untuk pindah agama?
Buang-buang waktu dan kurang efektif. Lagipula, kalau benar akhirnya dengan paksaan bisa pindah agama, apa benar kepindahaan itu menjadi hal yang baik? Setelah insiden toko komputer, si Uda bertanya pada gue mengapa gue tidak pernah mencoba memindahkan dia. Gue mengerenyit heran mendengar pertanyaannya.
« Emang loe pikir loe tuh siapa sih ? Situ Oke sampe harus dibujukin pindah agama ? Emang loe baik-baik banget ? Emang loe tajir-tajir banget bisa nyumbang agama gue ? Apa untungnya buat agama gue kalau loe pindah ? Nambah-nambah jumlah statistik pendosa doang palingan, bikin susah kerja pastor. »
Si Uda bersungut-sungut keki mendengarnya. Tapi intinya, agama adalah sesuatu yang sangat personal. Jika seseorang pindah agama, orang yang paling terpengaruh adalah yang pindah tersebut. Satu orang pindah tidak akan mengubah susunan organisasi agama. Namun orang tersebut bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
Yang paling diuntungkan jelas si orang yang menjadi lebih baik itu.Buat apa memaksa-maksa orang lain pindah jika tidak membuat orang tersebut menjadi orang yang lebih baik? Sekadar menambah jumlah anggota? Agar gaya, prestige dan terdengar besar? Bukannya Tuhan itu sudah besar darisononye?
Mungkin daripada semangat yang berkobar itu dibagikan selalu pada orang yang berbeda agama, lebih baik disalurkan untuk orang yang seagama. Toh banyak orang-orang yang kurang mengenal agamanya masing-masing, sehingga bisa menjadi orang yang lebih baik jika dibimbing dan diajar.
Seandainya gue yang datang ke tokonya si koko, mungkin gue bakal seneng karena bisa ikut pendalaman kitab suci tanpa perlu ke Gereja. Demikian juga seandainya FPI merazia pedagang babi di pasar kambing, tentunya para pedagang akan merasa senang karena berkurangnya saingan dari pedagang babi yang merusak pasaran. Bacang kambing, anyone?