“Nggak dapet minuman gratis lagi, Gy?” demikian seorang kenalan lama bertanya dalam sebuah acara dugem bersama saat gue mengajukan diri membeli minuman sendiri.
“Nggak, auranya udah abis dipake di masa lalu, musti totok lagi dulu,” gue menjawab cengegesan.
Dan dengan pertanyaan tersebut, seperti pada perempuan paruh baya, acara dugem serta kepulangannya menjadi awal sebuah permenungan.
Adapun kenalan yang muncul dengan pertanyaan tersebut adalah teman dekat seorang teman dekat, yang adalah teman dalam keremangan lampu disko atau kumpul-kumpul Apriyani. Seiring dengan kerusakan liver, dan mendesaknya masa depan untuk dipikirkan, terakhir kali gue melihatnya dalam setting demikian adalah sekitar empat tahun yang lalu, menjelang bekerja yang serius.
Pertanyaan tersebut, adalah sebuah indikasi tentang sebuah kehidupan yang gue lalui di masa lalu, dan…perubahan drastis yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun, hingga tiba dalam kehidupan yang saat ini sedang gue jalani, sebagai perempuan eksis ibukota.
Bukan cakep-cakepnya orang, bukan seksi-seksinya perempuan, tapi percaya nggak percaya, selama karir perdugeman yang gue rintis sejak SMA dan mencapai puncak pada masa perguruan tinggi, tidak pernah sekalipun gue harus bayar minuman. Kalaupun ada, paling pancingan, satu gelas mungil agar terlihat cantik di tangan.
Sisanya, selalu ada saja insan manusia yang bersedia membiayai kerusakan liver dan pendewasaan dini. Pacar, calon pacar, teman-dekat-tapi-bukan-pacar, kenalan baru, yang punya tempat minum, yang kerja di sana, random people…
The world was a friendly place back then. Di luar klub, hidup gue pun tidak kurang mudah. Tidak bawa dompet tidak pernah menjadi masalah. Selalu ada orang yang mau memberi tumpangan gratis secara sukarela (umum dan pribadi), melegakan dahaga dengan percuma, asalkan mau nangkring di kafe miliknya lebih lama guna menarik pengunjung lain, dan meminjamkan segala prasarana bersekolah tanpa agunan.
Gue tidak pernah tahu apa kunci di balik kehidupan yang indah itu. Kadang gue menduga, adalah cara berpakaian yang eco-friendly, alias hemat bahan, seperti kartu Z card berisi profil modeling dan bikini, yang jadi pass masuk beach club. The Girl with the Skimpy Clothes, adalah nama yang diingat si kenalan lama. Cukup lama ia tidak ingat nama asli gue sendiri.
Lalu mungkin, kemampuan tersenyum dan menarik simpati dengan perkataan-perkataan yang lincah. Lalu dugaan berikutnya, wajah yang terkadang terlihat sangat muda, sehingga begitu fragile, atau terlihat begitu dewasa, sehingga menarik hati.
Kini, gue masih tidak tahu rahasia hidup sukses itu, tapi perlahan-lahan gue telah kehilangan sebagian besar kebaikan hidup. Sedikit demi sedikit gue sudah tidak lagi mabok karena orang lain, hingga akhirnya, bahkan sudah tidak lagi mengharapkan minum gratis yang didapat dengan cara yang kurang ‘legal’.
Tahun ini adalah tahun pertama gue bayar untuk menonton Java Jazz. Sebelumnya, jika bukan karena presspass, akan selalu ada orang yang bersedia membayar untuk melihat gue mengapresiasi musik. Gue tidak pernah beli tiket sebelum hari H. Cukup berdiri di depan gerbang dengan tampang gelisah ingin nonton. Niscaya, lelaki baik hati akan menghampiri dan menawarkan tiket. Tidak selalu bermaksud ngeres, mungkin hanya malaikat lewat dan mengetuk hati.
Kenyataan pahit serta pertanyaan sang kenalan membuat gue bertanya-tanya, apa yang hilang? Apa yang berubah? Rasanya, gue masih sanggup memakai baju skimpy. Dibandingkan jajaran teman yang lain, gue masih tetap jadi yang bajunya paling adem. Senyum? Check. SImpati? Check. Buktinya karir marketing berkedok konten ini masih tetap aman digenggam.
Tidak ada yang berubah dari diri pribadi gue, kecuali umur, yang nampaknya merupakan faktor pembeda kondisi saat ini. If there’s a YOUNG girl, with a skimpy clothes, standing in front of the concert gate looking worried while offering a sweet smile, a male species might feel sympathy and would love to help this girl, while getting to know her better.
Coba bayangkan jika ada perempuan tidak terlalu muda lagi, pakai rok mini, sepatu keds dan tanktop berjaket, berdiri di depan gerbang konser. Disangka tante girang kali. Dan adakah lelaki muda yang berani mengambil risiko karir, dengan menawarkan minum gratis pada seorang wanita, yang mungkin di kantor akan ia panggil ‘bu’ atau yang akan ia sodori presentasi?
Sebagai perempuan yang mungkin akan dipanggil ‘bu’ tersebut, gue juga tidak akan mengambil risiko, dibayari minum oleh seseorang yang mungkin akan gue temui dalam lingkup professional, tanpa cekakak-cekikik dan…skimpy clothes. Gue bahkan mungkin tidak akan berani mengambil risiko terlihat dengan skimpy clothes oleh orang lain yang akan gue temui dalam kancah pekerjaan.
Dengan bertambahnya usia, bertambah juga pertimbangan, dan dengan demikian, berakhirlah masa seorang perempuan bisa menikmati begitu banyak hal, hanya dengan menjadi seorang perempuan saja. In that case, is that true? That there’s a prime time for women? An age gate, that once you passed, you’ll just going to darker era?
I would love to believe that this is not happening. Bahwa suatu saat akan tiba masanya, perempuan menua dan seolah melayu. Setiap usia pasti punya keistimewaan masing-masing. Saat masih muda belia, sebagai perempuan yang careless and free, mengejar cita-cita. Saat sudah kuliah, menjelang kematangan. Saat sudah bekerja, menjadi perempuan powerfull yang mandiri. Semuanya seksi dengan cara masing-masing.
Lagipula, coba lihat yang laki-laki. Tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi. Semakin tua semakin matang, semakin seksi, semakin diminati. Lihat saja George Clooney. Lihat saja Richard Gere. Dengan pemikiran semacam itu, gue menantang usia membesar dengan percaya diri. Namun kenyataanya, seberapa besar menentang, memang ada hal-hal yang berubah dan berbeda seiring dengan memasuki usia penuaan dini, kata produk kecantikan.
Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba si Mamih membawa kalender pakaian dalam dan berkata manis, ‘Dek, inget nggak? Kamu dulu juga pernah foto kayak gini. Sekarang? Apa masih bisa?” sebuah sindiran manis yang menyatakan bahwa gue sudah tidak lagi bertubuh bak model lingerie, dan sebaiknya berdiet. Metabolisme berubah. Dulu makan sepuasnya, gue tetap bisa menerima job pemotretan. Sekarang, untuk menjaga tubuh stabil saja harus tidak makan nasi setiap malam.
Dengan metabolisme yang berubah itu, bentuk tubuh berubah. Kesehatan kulit berubah. Meski pakai produk anti-aging berjuta-juta, tetap saja, setelah usia 25 yang katanya awal penuaan itu, wanita lebih sering dikira lebih tua dari usia sebenarnya. Dan berikutnya, masyarakat punya tuntutan sendiri. Sikap serta perbuatan harus menuruti tuntutan fisik, kalau tidak mau dibilang ‘nggak tau malu, ngaca dong!’
Perempuan beranjak dewasa (tua) harus berfokus pada hal yang kurang menyenangkan, versi anak muda. Mencari poin tambahan dalam hal karir dan bukan fisik. Settling down daripada keleleran. Buktinya, tidak ada George Clooney versi perempuan. Jika jadi aktris gaek, ya gaek saja, bukan berarti diminati. Mereka harus mengandalkan kemampuan akting.
Mungkin memang ada prime time untuk perempuan. Periodenya bisa berbeda-beda. Tapi yang jelas, periode itu sudah berakhir saat gelas gue tetap kosong jika tak gue isi sendiri. Sekarang, kerja sana! Cari duit buat minum!