Ayam Kentucky tidak pernah terasa senikmat ini dan Senayan City tidak pernah terlihat seindah ini. Bahkan dengan kulit yang lengket karena keringat dan bau ikan yang masih menempel di tubuh, semua pemandangan terasa begitu spektakuler.
Saat itu gue baru satu jam mendarat dari liburan di Belitong. Sebuah perjalanan tiga hari yang membawa gue, pulang ke rumah.
I’ve been away for a while. Setelah seorang male species menyatakan bahwa dengan terus bersama kami menghalangi jodoh masing-masing, gue memantabkan sebuah perjalanan jurnalistik ke Laos dan I’ve never returned.
I fell in love with the concept of being a stranger. I indulge myself in the constant freedom. I am addicted to the sensation of being in an exotic new places. I enjoy the lack of attachment towards something. Gue menikmati menjadi seorang tanpa identitas, tanpa ada yang bisa mengetahui siapa gue. Gue haus akan pertemuan dengan orang yang belum pernah gue kenal dan yang tidak akan pernah lagi gue temui.
Kembali ke Jakarta, gue memutuskan perjalanan ini harus berakhir. Jakarta berarti rumah, keluarga, dan komunitas yang gue kenal. Tapi gue tidak benar-benar ingin pulang. Dan setiap saat gue selalu mencari kesempatan untuk kabur. Bahkan terkadang saat gue sedang menyetir sendiri, menembus belantara Jakarta, gue mengkhayalkan gue sungguh-sungguh sedang sendiri, membelah sungai Mekong menembus batas negara, tanpa ada satu tempat tujuan dimana gue akan menemui relasi.
Maka ketika seorang sahabat menawarkan ikut acara outing tim tempatnya bekerja ke Belitong, gue mengiyakan tanpa pikir panjang. Kota Jakarta selama dua tahun ini menjadi terlalu sempit, terlalu banyak hal yang monoton, terlalu banyak hubungan yang harus dirawat. And I badly want to escape.
Gue merasa telah melarikan diri dengan sukses. It’s a whole new place. Gue melahap semua pengalaman baru itu dengan rakus. Langit warna biru donker, rumah panggung dan jalanan kosong seperti Thamrin di saat Car Free Day. Sepanjang satu jam perjalanan menuju Tanjung Kelayang, pantai tempat kami menginap, bisalah terhitung dua kali kami berpapasan dengan mobil lain.
Guna meningkatkan nilai adventuris, gue berenang di laut lepas malam hari, sambil mata menengadah menatap bintang dengan jumlah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Meski kami berenang bertiga, seluruh laut tetaplah terasa tenang dan damai, dan indah.
Tanjung Tinggi, tempat syuting Laskar Pelangi juga sangat menjanjikan sebuah weekend getaway yang berbeda. Pantai berpasir putih dilingkupi batu-batu besar yang bisa dibuat main petak umpet seperti dalam film. Masih dengan rakusnya gue melahap batu-batu itu. Berusaha menjelajah ke batu-batu yang cuma bisa dijangkau orang pacaran (saat jatuh cinta nampaknya timbul energi lebih sehingga tumbuh niat bercinta di atas batu yang kasar…)
Gue tetap tamak akan pemandangan yang baru ini saat berkeliling lima pulau, satu demi yang lain, dengan pasir putih halus macam tepung, bintang laut berserakan sehingga tak berarti, dan bongkahan batu granit seperti dilemparkan Tuhan ke dalam laut dan nyangkut di pinggir pantai. Tapi batu tetaplah batu. Gue dan teman sempat ragu apakah kita sebenarnya dibawa ke satu pulau yang sama, tapi beda sisi, habis isinya sama semua. Menjelang siang, gue sudah mulai muak melihat batu.
Danau Kaolin, atau sebenarnya adalah ceruk bekas penambangan kaolin memang cantik dengan warna airnya yang aqua. Tapi setelah terkocok-kocok di atas tanah kaolin tanpa ada arah dan jalan yang jelas, gue mengharapkan atraksi lebih. Seandainya ada warung kopi serta perebusan telor di dalam air danau secara langsung, tentu akan lebih berarti.
Puncaknya adalah saat malam. Mungkin karena harus membawa senter kalau mau jalan di atas jam tujuh, mobil atau makhluk hidup jadi malas lalu lalang. Dengan keabsenan radio dan TV, tinggalah gue dengan bunyi debur ombak dan jangkrik (dan buaya, tapi buaya tidak mengeluarkan suara). OHHH!!! Alangkah ganggunya sepi itu! Gue dan teman bahkan tergoda untuk menyalakan saja mesin mobil kita, supaya ada bunyi-bunyian yang familiar.
Maka akhirnya keluarlah pernyataan itu: I never mind you know, living in Jakarta,
Gue tidak akan menyangkal, pernyataan ini sebagian dipengaruhi oleh kemanjaan anak kota Jakarta. Tapi lebih dari itu, di Belitong, di tempat yang baru dan indah dan dengan kombinasi orang yang baru dikenal dan yang telah dikenal lama, gue merasakan kerinduan atas sesuatu yang akrab dalam hidup.
Rutinitas, menjadi statis dalam satu tempat menciptakan kondisi yang disebut comfort zone, yang ‘memenjarakan’ manusia. Seyogyanya manusia dipaksa keluar dari lubuk yang nyaman itu, mencari pengalaman baru dan mengembangkan diri agar bisa sungguh menjadi manusia yang ‘merdeka’. Bebas untuk menentukan arah hidup tanpa terikat kewajiban pada orang lain.
Gue juga-lah pemuja kebebasan sebagai konsep yang hebat. Tapi jauh dari keluarga, teman dan orang yang dikenal, benarkah rasa senang yang muncul lebih besar daripada saat bermain di mall yang membosankan di Jakarta?
Tentu saja batu itu indah. Memenuhi kriteria akan tempat baru yang eksotis. Tapi tidak punya arti apa-apa buat gue. Meski formasinya menakjubkan, batu tidak akan bergerak. Dan ditinggal seminggu-pun, batu itu tetap akan terlihat sama. Seberapapun rutin dan monotonnya interaksi gue dengan manusia di sekitar, mereka bergerak. Dan jika diperhatikan, akan tampil beda setiap harinya. Merekalah yang membuat reaksi dalam diri gue, membuat gue tertawa, kesal dan sebal.
Gue tinggal di gank yang semua warganya menyalahgunakan HGB sebagai Rumah Toko. Di masanya, jalan ini bahkan sempat jadi trayek mikrolet. Tengah malam-pun ada radio kayu manis diputar Hansip Udin. Tidur tanpa kericuhan, membuat gue justru tak bisa tidur.
Seperti yang gue rasakan sebelum perjalanan Belitong, gue tidak tahu apakah Jakarta adalah tempat yang tepat untuk menetap. Atau apakah gue harus menetap at all. Gue bosan berada di lingkungan yang dikenal. Sisi antisosial kadang keluar karena letih menjaga hubungan baik dengan orang lain. Karena jika tidak dijaga akan timbul perseteruan yang berbuntut susah hati. Jika dijaga kadang membuat makan hati. Berinteraksi dengan orang lain mengaduk-aduk emosi, bahkan yang negatif seperti dendam dan sirik hati.
Tapi apakah manusia tanpa emosi? Bukankah gue disebut orang karena ada orang lain yang mengenal gue, mengingat gue marah, takut, sayang dan bisa menunjukkannya? Dan justru di tempat yang gue sebut ‘rumah’, gue bisa punya cukup sense of attachment yang memampukan gue untuk bereaksi, beremosi, mencinta, segala yang membuat gue menjadi seorang manusia.
Di sisi lain suka tak suka, rumah itu juga telah membentuk gue, tentang apa yang menarik perhatian gue, definisi gue akan keindahan. Istilahnya, saat ke Danau Kaolin ada pernyataan, jalanan menuju surga itu sulit, berbatu dan sempit. Jika banyak yang akan bilang Danau Kaolin indah bak surga, gue akan berkata, well then, heaven is overrated. I prefer to be in the Jakarta kind of Hell. Karena apa yang terasa ‘surga’ bagi gue berbeda dengan orang lain.
Disini, menampung air yang terasa payau bewarna cokelat karena kadang kalau sedang tidak beruntung, tanah naik bersama air-airnya ke bak, dilanjutkan dengan menguras kamar mandi yang airnya mengambang karena permukaan yang tak rata, gue justru tidak merasa bebas. Gue kangen PAM Jakarta, yang disaring dan terlalu banyak kaporitnya. Kulit gue pun demikian.
Perhaps freedom is not always about being away. Perhaps freedom is about to be able to choose our own home freely and to always look at the most ordinary thing, most mundane habit in that home as something new, something that excites me, something that I’ll always miss. And with being freed as such, I will always in a journey, in my own life.
Ada banyak orang yang pergi jauh meninggalkan tanah kelahiran untuk kemudian menetap di Belitong, dan menatap setiap senti bebatuan granit dan biawak sebagai rumah. Yang lain akan pergi menemukan tempat lain dan membangun rumahnya. Sisanya tak pernah meninggalkan rumahnya karena selalu yakin itulah tempatnya akan berdiam. Sedangkan gue, berkeliling jauh dan akhirnya memilih rumah gue. It’s called Jakarta.
Akan ada masa dimana gue merutuki lagi macet dan basa-basi sosial di kota yang penduduknya banyak gue kenal ini. Lalu gue akan menyelinap keluar rumah, mencari sensasi keterasingan. But I’ll know where I should come back. And for now, I’m home.
PS: Ini dia nih foto-foto yang bikin gue pulang: http://margarittta.multiply.com/photos/album/19/Belitong_yang_bikin_kangen_rumah