“Tipe cowok loe yang kayak apa sih, Gy?” Seorang teman lelaki membuka pembicaran suatu sore.
“Apa aja deh, asal nggak minder,” jawab gue cepat, sambil meneliti beberapa proposal.
“Maksudnya?”
“Maksudnya!” Gue menatap lurus, nantangi.
“Ohh! Ngerti-ngerti, ya abis loe terlalu mandiri sih Gy, cowo-cowo jadi pada takut! Kurang-kurangin lah, bisnis loe, ngejer karir, nggak usah terlalu sukses lah!” ujarnya sok bijak.
“Eh loe nyuruh gue nggak kerja, terus siapa yang mau ngasi gue makan? Beliin gue tas? Nganterin gue jalan-jalan? ELOE?” gue menjawab sewot sambil kembali menekuni proposal di tangan.
Dia nggak tau aja, I’ve been pretending dumb and unsuccessful since junior high school. Sejak cinta gue ditolak seorang pria karena rapor gue yang rata-rata nilainya 9. “Ketinggian,” begitu komentarnya.
Sanking naksirnya gue dengan pria ini, gue pun mengubah imej menjadi perempuan yang kurang pintar. Kebetulan gue pindah ke SMA yang persaingannya lebih ketat sehingga cukup mudah terlihat nggak pintar di sekolah itu.
Segalanya berjalan dengan mulus hingga di akhir tahun pelajaran gue tidak sengaja punya nilai yang sama dengan si juara satu. Sejak itu, banyak gesekan dan permasalahan yang muncul entah dari mana dan entah kenapa baru muncul kemudian, hingga akhirnya berujung duka.
Insiden itu mengajarkan gue sebuah pelajaran pahit: Guys love smart girls, but not the ones that are smarter than him. Dan jika gue ingin berhasil dalam percintaan, gue harus menjadi perempuan yang level kepintarannya medium saja.
Sejak saat itu, gue selalu berpura-pura tolol. Gue mempelajari tatapan mata berbinar-binar kagum yang akan gue lemparkan pada setiap cerita kepahlawanan, padahal dalam hati gue sudah pengen menoyor, YA ELAH BROO.. KAYAK GITU JUGA GUE TAUUU…. Gue belajar untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang cukup bodoh, dan membuat analisa yang dangkal.
Begitu pandainya gue pura-pura bego, sampai bahkan setelah pacaran setahun pun, gue pernah ditanya, “kamu tuh katanya jurnalis, tapi kok nggak suka baca buku? Biasanya anak komunikasi suka baca buku, biar ada inspirasi, biar suatu hari nanti bisa jadi penulis gitu, emang kamu nggak kepengen punya tulisan YANG DITERBITKAN?”
Kepadanya gue tersenyum tolol dan menjawab,” Ihh.. baca kokk… majalah-majalah cewe gitu aku sering baca, ada Cosmopolitan, Vogue, Elle, baca kok!”
Kalau dilihat dari track record gue setidaknya selama kuliah, kepura-puraan gue itu cukup berhasil. Gue jarang menjomblo. Atau mungkin gue memang bodo beneran. Namun kisah cinta itu, seperti yang sudah-sudah akan berakhir dengan pertikaian yang entah mengapa muncul pas-pasan dengan transkrip nilai yang keluar atau penghargaan/ bonus/ pencapaian bulan tersebut.
Maksudnya, berapa lama sih gue bisa pura-pura jadi orang lain? Gue tetap harus kuliah benar-benar, dan harus bisa cari duit, kalau nggak, pacar sih punya, tapi orang tua nggak mau ngaku anak.
Gue pikir, mungkin gue memang masih songong tersembunyi, makanya dicarilah perempuan lain yang nggak seberapa pinter yang penting rendah hati. Tapi baru-baru ini gue mendengar kisah patah hati seorang teman, koki kelas dunia, diputusin tanpa alasan yang jelas, dugaan terkuat, karena insecurity.
“Kalau gue udah nggak pura-pura goblok lagi, gue emang udah jadi goblok beneran,” cetusnya gahar. Betapa tidak, dibuntutinyalah lelaki itu separuh bola dunia, dibuangnyalah karir puncak koki demi membuka restoran bersama, diusahakannyalah semua agar restoran ini jalan dan membawa nama sang lelaki. Lalu ketika jadi juri master chef, kenapa tiba-tiba jadi mundur?
Guys, how much dumber do you want us to be?
Dalam kesempatan sore itu, sang teman telah melemparkan beberapa suudzon yang mungkin ada dalam lubuk hati orang lain hanya tidak terungkapkan. Misal:
Suudzon #1: perempuan sakses itu suka lupa kodratnya sebagai perempuan yang dijajah pria sejak dulu. Nanti dia tidak akan bisa menghormati suaminya.
Gue tidak tahu sikap yang mana yang mengindikasikan hal ini. Kalau misalnya karena gue suka nyela, itu bukan masalah gender. Baik lelaki maupun perempuan, kaya miskin, hitam putih, semuanya pasti bisa jadi obyek nyinyiran gue. Itu bukan karena gue rasis, sok kaya ataupun tidak menghormati pasangan.
Bukankah orang yang sukses dalam dunia kerja itu professional? Mereka yang professional biasanya selalu berhasil memisahkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan. Kalau dalam hal kerjaan aja gue professional, gimana dalam hal pribadi? Tentu masalah status pekerjaan blahblah tidak akan gue bawa ke dalam hidup pribadi. Kerja ya kerja, di rumah ya, gue bukan siapa-siapa.
Kalaupun yang sering terjadi, adalah tiba-tiba muncul sebuah insecurity yang begitu besar dari pihak lelaki sehingga menuduhkan pihak perempuan tidak menghormatinya. Mbak Koki dituduh terlalu sibuk bekerja dan mengabaikan rumah. Padahal bekerja di restoran milik mereka berdua. Padahal restorannya atas nama Mas Koki. Padahal Mas Koki pulang lebih malam lagi. Padahal Mas Koki telat cuma karena nge-gym.
Suudzon #2: YA TAPI KAN… dalam hati loe pasti merasa nggak bangga sama cowo loe dan akhirnya loe memaksakan dia menjadi larger than life, seseorang yang bukan dirinya!
OK FINE! Kalau memang seperti itu gue bersikap, tapi bukannya harusnya itu dianggap sebagai keuntungan yang dapat dimanfaatkan ya? Tentu saja, dalam rangka menghindari keminderan si pacar, ada beberapa inisiatif yang dilakukan, berdasarkan pengamatan.
Si Mbak Koki, sampai membuatkan restoran seperti impian si pacar. Pokoknya my love doesn’t cost a thing, malah bisa mendatangkan rejeki. Kalau gue, selama hidup ini sudah pernah: membuat skripsi jurusan yang berseberangan total dengan jurusan gue, proposal, membuat website dalam waktu 48 jam, business plan, PR, email dan lain sebagainya. Pokoknya gue rela dan sanggup menguasai bidang industri yang berbeda dan menjalankannya dalam waktu bersamaan.
Tapi apaaa balasannya? Si Mas Koki tiba-tiba bilang membuka restoran bukanlah sesuatu yang ternyata diimpikan. Buat gue, ah, mereka lupa saja, jasa tulis ketik gratis bertahun-tahun itu. Mereka pikir mereka bisa tiba-tiba lulus tepat waktu, naik gaji tiga kali setahun karena kecerdasan dan kehebatan diri mereka sendiri.
Suudzon #3:TUU KAAN.. loe ngenye! Pasti dalam hati loe tetep nggak puas, nyari yang bener-bener setara sejajar! Standar loe ketinggian sih! Uda turunin aja!
Gue kembali mikir. Memang ada masanya gue merasa sangat muak dengan pura-pura tolol lalu kemudian keluarlah sifat asli gue, menganalisa dengan dalam, memberi kritik terbuka lalu ketika tidak diikuti dan ternyata benar, gue berkata ‘tuh kan gue bilang juga apa!’
Tapi masa selama gue berpura-pura itu tidak terlihat sifat gue yang sesungguhnya bahwa gue juga nggak peduli jadi ranking satu atau dapet A, B, C? Si Mbak Koki yang dari kecil sudah pakai LV tiba-tiba bisa dengan tulus berkata dia udah nggak suka lagi pake barang-barang branded. Superficial, nggak membuat bahagia. Karena Mas Koki bukan tipe yang bakal bisa beliin barang mahal.
Dalam lubuk hati gue bahkan pernah menyatakan bahwa rumah impian gue sekadar rumah mungil dua kamar asal bersama orang kesayangan. Cukup deh. Gue kan lumayan bisa nyari duit, ya udah, gue cari orang yang punya kelebihan di sisi lain. Sifat mungkin. Gue bahkan ga pernah menyatakannya pada orang lain karena tahu banget mereka bakal mengira gue jadi kurang waras.
Tapi intinyaa… kami SUDAH mengurangi standard secara sadar, rela dan drastis. Kalau memang kami naksir, masalah kayak ginian mah bukan yang dilihat-lihat lagi. Kecuali memang, kita nggak naksir, ya.. beda cerita dong..
Sang teman tidak membantu. Dia mengalihkan pembicaraan ke arah hal-hal yang lebih ringan seperti cuaca sore itu. Memang yang kayak gini gak usah dipikirin. Laki nggak dapet, pusing aja yang banyak. Mending berharap positif, bahwa memang I deserve the best, hanya saja, the next best thing is yet to come.
Seperti saran seorang pegawai magang pada Mbak Koki, ketika lagi tersedu sendu dalam dapur, mengeluhkan dirinya yang ditinggal Mas Koki.
“Aduh, gimana dong, Mas Koki tuh cakep banget… Gue nggak yakin bisa dapetin cowo yang se-ok dia lagi… “
“Ada lah, bos, tapi belum ketemu aja,” jawab pegawai magang datar sambil menggulung adonan di talenan.
“IYa, tapi yang se-OK itu pasti udah gak available bok! Dan kalau udah gitu, mana ada perempuan bego yang ngelepasin pasangan yang OK!” kilah Mbak Koki.
Saat itu, pegawai magang hanya menatap lurus sambil terus menggulung adonan, “lha, bos, die mutusin eloe…”
Sesaat Mbak Koki terdiam. Jika memang Mbak Koki yang katanya selebritas high quality aja diputusin sama lelaki yang nggak seberapa, mungkin ada orang yang kurang bersyukur lainnya yang melakukan hal yang sama, hanya beda gender. Who knows, the next best thing!