Ramalan Mama Margie

“Sorry, telat,” gue menyapa ceria, sembari merapikan tempat duduk di tengah kafe bergaya Perancis yang menjadi tempat pertemuan hari itu. Seorang teman, dengan seorang sepupu yang katanya sedang mengalami ‘masalah percintaan’.

 

“Nggak apa, Gy, mesen minum dulu,” ujarnya sambil menyodorkan menu. Gue melirik meneliti daftar minuman di hadapan. Sebelum menjatuhkan pilihan pada lemon chamomile hot tea dan langsung memanggil masnya untuk memesan.

 

“Kita udah pesen makanan, dicobain aja, Gy,” ia kembali menyodorkan makanan. Serantang pizza bertabur daun rucolla dan prosciutto, serta sepiring pasta pink sauce yang memamerkan potongan-potongan udang yang cantik.

 

“Oh iya, gampang,” gue menjawab, “Jadi, gimana-gimana, apa kabar?”

“Loe mau mulai cerita nggak?” sang teman menawarkan sang sepupu.
“Iya, boleh,” sepupu menjawab, lalu mulai membeberkan kisah asmaranya. Sebuah nomor klasik tentang pria posesif yang tidak nyaman dengan kekasihnya yang jauh lebih sukses, yang berakhir dalam sebuah perselingkuhan sekadar membalas kesal.

“Jadi menurut loe, dia bakal ngontak gue lagi nggak?” Tanyanya penuh harap.

 

Sesaat suasanya kafe yang memang agak remang gaya tahun 20-an itu berubah menjadi sebuah tenda sirkus. Gue di tengah, sambil memegang cangkir teh panas, dengan dua pasang mata menatap harap menanti jawaban.

Gue nyaris tergoda untuk menjawab, saya ambil kartu tarot saya dulu ya, namun melihat ekspresi di hadapan, jadinya nggak tega.

“Nggak,” gue menjawab tegas dan enteng.
“Hah? Beneran?” responnya kecewa, seolah melihat kartu mati di tangan sang juru ramal.
“Nggak, soalnya sebelum itu, loe yang bakal ngontak dia duluan,” gue menegaskan sekali lagi, sambil kemudian memberikan alasannya.
“Tuh kan,” teman mengimbuhi, “percaya aja! Margie tuh ramalannya selalu akurat!” sang teman berpromosi.

Gue mengangguk misterius, meneguk perlahan teh dalam genggaman. Pura-pura jadi cenayang.

Sebulan kemudian sepupu teman menelpon. Ia telah mengontak mantan pacar sebelum mantan pacar mengontak. Dan kronologi setelah itu, adalah sama persis dengan yang gue jabarkan satu persatu.

 

Can I really forecast things?

 

Seorang rekan kerja pernah bertanya curiga, ‘loe bisa ngeramal ya gy!’ Lantaran banyak kasus di mana gue asal goblek lalu tiba-tiba kejadian, persis hingga tanggal dan harinya.

 

Termasuk satu kali ketika gue berkata ke seorang kolega, “mbak, loe punya waktu 3 bulan buat cari kerjaan baru. Selama 3 bulan ini loe ga bakal dipecat, setelah itu, loe bisa dipecat bisa enggak, tapi sebaiknya loe udah punya opsi.” Surat pemecatan itu datang persis 3 bulan 3 hari setelah ucapan gue keluar.

 

Yang kepada rekan kerja itu, dan sejujurnya, gue jawab, ‘ya kagak lah, menurut loe aja sih!’. Gue sadar betul, gue tidak dilahirkan dengan kemampuan supranatural. Juga tidak dengan bakat matematis istimewa menghitung bintang.

 

Lahir 9 bulan 10 hari, di sore terik. Sabtu Kliwon. Nggak ada istimewa-istimewanya sama sekali. Eh, mungkin ada. Gue anak terakhir dari tiga bersaudara cewe semua. Selisih sama kakak pertama 9 tahun, sama kakak kedua 8 tahun.

 

Kebayang dong, nasibnya kayak apa? Gue jelas tidak punya suara di rumah. Alat musik yang dimainkan sudah diwariskan dari atas. Organ, yang gue pelajari hingga SMU. Mau cerdas di kelasnya, gue tetep aja anak kecil yang tidak layak diperhitungkan.

 

Dan kebiasaan kurang didengar ini menciptakan anak yang lebih banyak diem menonton daripada beropini. Lewat sekadar menyimak gerak gerik kedua perempuan jagoan itu, gue belajar memaknai hidup ini. Oh, kalau ngeluarin kasur dari kamar buat latihan tiger sprong di halaman, bakal dikunci di kamar mandi. Atau oh, begitu toh caranya ngebohong…

 

Tidak heran, secara mengejutkan gue jadi anak paling manis di rumah. Satu-satunya yang tidak pernah kena sambit rotan Sukabumi. Bukan karena perilaku gue paling OK, tapi lebih karena gue tahu apa yang harus gue lakukan untuk menghindari sang rotan.

 

Kebiasaan menyimak inilah yang kemudian terbawa hingga gue sudah punya suara dan kerajingan beropini. Hal-hal yang bagi orang tidak terlihat, buat gue semacam kasat mata. Kalau gaya tangannya begitu, ya jelas lah, orangnya nggak tertarik. Kalau cara ngomongnya begini, sudah jelas maksudnya begono.

 

Semakin lama semakin lancar. Prediksinya mencakup jangka waktu, sifat dasar, dan wujud fisik. Mendengar keluhan seseorang tentang bosnya, gue sudah bisa membayangkan fisik si bosnya, responnya terhadap sesuatu, pola pikirnya hingga kapan sang bos akan hengkang dari kantor.

 

Sehingga akhirnya, gue dituduh bisa meramal. Padahal, ilmu ramal yang gue punya sebenarnya ada tekniknya. Menyimak dan Memperhatikan. Sebuah kemampuan yang sebenarnya dimiliki seluruh dunia.

 

Gerak-gerik tubuh adalah jendela dunia. Orang bisa ngomong manis tapi mata nggak bisa bohong. Sekadar membandingkan bagaimana seseorang jika sedang bosan, bisa ketemu formulanya menebak orang bosan. Bisa mencocokkan kata-kata dengan raut wajah, kebaca rumus ketulusannya.

 

Sayangnya, kebiasaan ini semakin nggak trendi di masa sekarang. Semua mau jadi bintang. Semua juga maunya instan. Reaktif. Begitu dilempar bola langsung nyikat. Kadang, pada pancingan maut.

 

Padahal, dengan memahami orang lain, mereka bisa menjadikan kita bintang. Sejujurnya, waktu masih sekolah, gue bukan anak pintar. Gue gak paham tuh logika matematik. Tapi gue bisa menduga-duga soal yang bakal keluar. Lalu gue hafalkan cara menyelesaikannya. Gue jadi bintang kelas.

 

Sekadar diam sejenak, memikirkan konteks perkataan dan perbuatan, alasan seseorang melakukan sesuatu, bisa menghasilkan respon yang lebih menguntungkan.

 

Easier said than done, seorang teman nyeletuk. Gue mending nanya loe aja deh, menurut loe gue bakal balikan gak sama mantan? Dengan enteng ia bertanya.

“Ya tergantung eloe!”
“Kok tergantung gue sih?”
“Dienya mah pasti balik, lha loe nya mau apa kagak? Kalau mau ya balik, kalau kagak ya kagak!”
“Iya juga sih…” sang teman nyengir kecil.

 

Gue membalas dengan lirikan tajam. Pekerjaan ramal ini sebenarnya jadi lebih mudah lagi karena sebagian nasib sebenarnya ditentukan oleh apa yang kita lakukan sendiri. Sayangnya, gue juga mengakui, ini bagian yang paling berat.

 

Terkadang, yang terlihat saat memahami dan menyimak hati nurani adalah sebuah ugly truth. Dan lebih sulit buat gue menerima ugly truth tentang diri sendiri daripada tentang orang lain. Itulah sebabnya mungkin gue juga kurang jago menebak nasib diri sendiri.

 

Tapi apalah serunya nebak nasib sendiri. Tidak akan membuahkan gue makanan gratis saat ada yang mau konsultasi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *