“Mau ngapain loe ke sana? Makan orang?”
Demikian reaksi teman-teman sekitar ketika mendengar destinasi terbaru gue: Sintang, Kalimantan Barat. Teman-teman gue, anak-anak kota Jakarta yang jarang ke luar kota apalagi ke luar negeri itu memang hanya mengandalkan stereotip dalam berwacana.
“Yee… loe jangan pada nyela! Loe uda pernah liat duit 1 Triliun belom!” Gue membalas.
“Ya kagak, lah broo…1 M aja belom”
“Asal loe tau ye, koperasi simpan pinjam yang mau gue datengin itu asetnya 1 T!”
“Wuee.. busedd bro… prusahaan kita aja asetnya blom sampe segitu!”
“Iye, udah deh gaya-gayaannya! Kita menang keren doang kerja di kota, duitnya kagak ada!” demikian gue memungkas, sambil kemudian kami mulai memikirkan hakikat kami kerja keren-kerenan itu.
Kita pikir kita keren. Anak gaoel ibukota. Kerja kantoran. Dari meja nengok dikit bisa ngeliat segitiga emas. Pulang kantor nongkrong di beer garden. Konsepnya rustic industrial. Jaga bodi dengan langganan nge-gym. Gaya hidup masa kini. Gaji bisa saingan sama yang di luar negeri.
Keren. Ya, kalau mainnya di Jakarta doang. Seorang bekas rekan kantor pernah jualan traktor ke satu daerah di Kalimantan Timur. Yang punya sih sudah punya cukup traktor, tapi kalau harganya murah ya boleh deh buat setok. Saat makan siang beliau bertanya kira-kira makan apa yang enak hari itu.
“Rawon setan enak kali ya?” Usulnya.
“Wah enak banget pak, emang di sini ada cabangnya?”
“Oh enggak, belum ada.”
Lalu terbanglah mereka untuk makan siang rawon setan di Surabaya dengan naik private jet. Setelah makan, mereka kembali dan lanjut meeting. Hari-hari aja.
Sedangkan gue, langsung mengkeret mendengar kekuatan Credit Union Keling Kumang, yang mengundang gue untuk sebuah workshop. Asetnya 1 triliun. Jaringannya luas mencakup hampir seluruh Kalimantan Barat. Mau ngasi workshop apaaaa…uda nggak butuh workshoppp… gue yang butuhhh…
Selama ini, berada di ibukota Jakarta, penduduknya merasa paling makmur. Angka pekerja professional memang tinggi di kota besar. Fasilitas juga banyak terpusat di Jakarta. Apalagi ketika merasakan jawasentralisasi di masa Orba. Makin ke-GR-an gue, meyakini tiada peradaban di luar Jakarta.
Namun melangkah sedikit ke luar Jakarta ke Kalimantan, langsunglah terlihat. The real economic power is in here. Kekuatan terbesar Indonesia adalah di sumber daya yang melimpah. Dan sumber daya itu, tidak ada di Jakarta yang miskin sumber daya, tetapi di Kalimantan, dengan hasil tambang, hasil bumi dan hutannya.
Puas dengan gaji puluhan juta rupiah di Jakarta, atau mungkin, bagi beberapa high level executive, sedikit di angka 100 juta rupiah? Itu mah untung sebulan kalau dagang jengkol. Perusahaan internet dibeli 1 T setelah investasi 500 M? Ada yang lebih cuan. Modal 200 M di tambang batu bara, penghasilan bersih per tahun sekitar 900 M.
Berjalan-jalan di Sintang, 14 jam jalur darat dari Pontianak, 1 jam kalau naik pesawat baling-baling, gue tidak menemukan tanda-tanda hidup susah. Mobil paling sederhana nampaknya Innova. Bahkan Avanza jarang nongol. Motor? Yang Ninja yang banyak diparkir di area motor gede di mal? Ada juga kok.
Handphone keluaran terbaru hingga laptop termahal kelas super premium bertebaran di sana. Di kedua penginapan gue, baik di Sintang maupun di Sekadau, 2 jam dari Sintang, tersedia wifi. Sebuah fasilitas yang di Starbucks aja kadang byarpet.
Kalaupun ada yang kalah dengan Jakarta, mungkin hanya dari kualitas jalanan dan sinyal yang byarpet. Itupun, salah pemerintah. Penduduknya,makmur sentausa.
Lalu apa menangnya kerja di Jakarta? Ngomong SDM pun bisa tertandingi. Aktivis dari CU Keling Kumang itu gesit bukan main. Acara yang diadakan modern, ada rundown yang rapi dan setelah selesai, langsung beres dengan kilat juga. Sekilas gue tidak melihat perbedaan kinerja dengan mbak-mbak Sudirman Jakarta.
Semua, didukung dengan kekayaan alam yang luar biasa. Sepanjang jalan menuju Bukit Kelam, bongkahan batu terbesar di Indonesia, terlihat melimpah pohon karet, kebun sawit hingga jengkol. Belum terhitung yang ada di bawahnya, emas, batu bara dan hasil tambang lainnya.
Memanjat akar pohon dua meter untuk menikmati air terjun dari bongkahan batu yang melicin sehingga bisa dibuat perosotan, gue bertanya-tanya jika impian bekerja di kota besar itu is soo overrated. Karena banyak daerah yang menurut orang kota ‘tidak terjamah’, tetapi ternyata punya potensi yang jauh lebih besar.
“Bro-broo.. jadi kita ngapaiin brooo masi kerja aja kayak beginii?” protes sang teman setelah mendengar cerita gue.
“Ya makenyee.. brenti sonooo! Pindah ke utan!!” gue mengompori.
“Brooo tapi loe coba bayangin doong kalau gue resign karena mau dagang jengkol, gila broo..gue belom kawin nihh!”
“Halahh.. udah kelar keren-kerenannya! Anak digital, era baru teknologi, duitnya adanya di utan!! Yang penting cuan!!”
Ah, mungkin bagi sebagian orang, tetap gengsi yang lebih penting. Syukurlah, daripada nanti banyak yang kepikiran, lalu pindah ke Kalimantan semua!