The RIGHT Time

“Gy, gue udah pacaran sebulan kok belom diapa-apain ya?”

 

Pertanyaan itu memecah keriuhan denting cangkir teh herbal di tengah kafe yang bangkunya semakin berdempetan sejak kasus pembunuhan legendaris di tempat itu.

 

“Loe tau nggak, di negara ini, banyak pasangan yang baru salaman di hari pernikahan!” gue memajukan badan setengah berbisik, sambil lirik kiri-lirik kanan di tetangga yang berjarak dua puluh senti.

 

“Lah ya bodo amat! Itu pasangan pada kawin umur 18 taon, gue mah udah umur segini, ga usah pake salam-salaman!” jawabnya, sekali lagi, dengan nada yang sama tingginya.

 

Gue tersenyum sambil memutar-mutar cangkir di tangan. Oh, ini pertanyaan klasik, dari perempuan-perempuan Indonesia yang lebih dari sepuluh tahun tinggal di luar negeri, dan kini sedang menghadapi proses ‘naturalisasi’ kembali hidup bersosialisasi dengan tatar budaya ketimuran.

Berapa lama waktu yang diperlukan dalam setiap level keintiman sebuah hubungan?

Bagi Nona Barat, seperti yang digambarkan di film-film Hollywood, proses ini tentunya berjalan instan. Bahkan ekstrimnya, it’s like you have sex first then you decide whether you want to continue into a serious relationship or not.

 

Jadi aturannya hubungan seksual menjadi salah satu elemen yang menentukan kompatibilitas pasangan, seperti ngobrol-ngobrol, kesamaan hobi maupun problem solving skills.

 

Tidak segera melangkah ke jenjang ini, bukan hanya menimbulkan ragu akan kecocokan, tapi juga merupakan sebuah bentuk penghinaan. It may indicate that he’s just not that into me, or at least, he doesn’t want to know me further, begitu perasaan Nona Barat.

 

Sedangkan di negara ketimuran, atau setidaknya di Indonesia, HAHAHAHAHA… kebalikannya. Justru kalau bisa tidak dilakukan hingga hari pernikahan. Melakukannya, adalah sebuah perbuatan di luar batas di luar norma sosial dan kemasyarakatan, dan ya tentu saja, dosa.

 

Maju ke tahap tersebut terlalu cepat justru merupakan bentuk pelecehan, bahkan sampai ada lagunya, dasar kau, keong racun, baru kenal udah ngajak tidur…

 

“Bukannya katanya kalau buat cowok itu the time is always right?” tanya Nona Besar menyanggah. Ya iya sih, gue menjawab, dan namanya faktor biologis, selama sama-sama orang, mau orang Asia kek, orang Arab kek, ya sama-sama aja.

 

Namun norma jualah yang kemudian membatasi dorongan biologis. Prince Charming yang orang Endonesah aselik itu dibatasi oleh pola pikir yang berbeda, di mana ia justru ingin menunjukkan penghormatan dan bahwa ia serius dalam hubungan ini dengan menunda level keintiman.

 

Sama seperti norma yang membuat Nona Barat untuk mengeluhkan masalah ini pada GUE dan bukan pada pasangan yang seharusnya. Karena ada aturannya bahwa perempuan itu harus jinak-jinak merpati: tidak agresif, tutur katanya halus, tidak blak-blakan apalagi ngomongin seks.

 

“Ya, jadinya kapan? Loe kan bisa lihat masa depan!” desaknya. Gue mengerenyit. Kalaupun bisa gue juga ogah melihat masa depan yang begituan.

“Yaa.. loe pernah juga punya pacar orang Indo! Pas loe SMA gitu?”
“NINE MONTHS??” Mata Nona Besar membelalak.

 

Gue kembali nyengir. Bukan karena pernah disantet, gue jadi mistis. Tapi berdasarkan hasil pengamatan, gue mengambil hipotesa sementara: Indonesians love magic numbers.

 

Angka yang dianggap magis dan dianggap sempurna untuk penghitungan level-level tertentu. Somehow, dalam hubungan percintaan, angka itu, rata-rata adalah TIGA, yaitu: tiga Bulan PDKT sebelum menyatakan cinta. Tiga hari setelah ciuman. Dikenalkan ke keluarga tiga minggu setelah jadian, melamar tiga tahun setelah pacaran.

 

Bisa lebih cepet bisa lebih lambat, tapi akan ada semacam aturan angka, yang biasanya bilangan ganjil. Dengan menemukan aturan itu, maka hubungan dapat segera diantisipasi.

“Gue belom jadian udah dicium,” kilahnya.
“Iya, tiga hari sesudah kenalan ya?” tebak gue.
“Minggu lalu gue diajak ke luar kota,” ia menghitung.
“Well, kalau begitu.. jenjang berikutnya.. moga-moga 2 bulan lagi ya..” gue menerapkan hitungan gue semacam pada deret psikologis.

 

“Oh well, kalau begitu, mungkin sebaiknya gue stok batre aja banyak-banyak!” Akhirnya Nona Barat mengambil kesimpulan, menuju ke supermarket bawah.

 

“Such a shame,” Gue nyengir, “when you actually have such an abundant free, environmental friendly, and renewable energy source available, you decide to purchase non-degradable energy that may harm the environment for the next 100 years.”

 

“Yeah! Because the renewable energy is supposed to be gentle, long lasting, and therefore must be preserved!” balas Nona Barat sewot. Ah pantes aja Indonesia belum dianggap sebagai negara yang peduli lingkungan!

 

*By the time this article is uploaded, Nona Barat has eversince broke up with the previous boyfriend, found herself a new man, and has ended her streak. It was before they pass the third month.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *