Roma dan tuhan yang baru

Sebagai seorang Katolik (self-proclaimed) yang pernah menulis untuk majalah rohani (sungguhan), tentu Roma ada dalam salah satu daftar teratas rencana tempat yang wajib dikunjungi (kalau punya duit). Roma, kalau gue boleh menyebut, adalah simbol peradaban Katolik.

 

Caput Mundi, The Capital of the World, pusat penyebaran agama Katolik setelah usainya era salah satu peradaban termasyur dunia, Romawi. Berziarah ke Roma, seperti naik haji buat orang dengan pengetahuan agama terbatas macam gue.

 

Gue membayangkan bakal berdoa khusuk dalam Kapel Sistina, tepat di bawah gambar tangan Tuhan oleh Michelangelo agar doa gue langsung mem-bypass segala prosedur dan diterima langsung oleh Tuhan.

 

Tapi saat gue menjejakkan kaki di depan tembok Vatikan, ternyata gue sudah terlambat 400 tahun untuk naik haji ke Roma.  Saat gue tiba di sana, Roma sudah bukan lagi pusat agama Katolik Sama seperti kekuasaan Romawi tergeser kekuatan Gereja, Roma kini sudah punya Tuhan yang baru.  Atau gue benar sedang naik haji, tapi tanpa sadar sudah convert ke Tuhan yang baru itu.

 

Lingkungan Basilika St Pietro memang ramai dikunjungi manusia berbagai dunia, yang rela mengantri berjam-jam di depan pintu. Namun mereka tidak sedang mencari Tuhan. Boro-boro bisa berdoa dengan tenang dalam Kapel Sistina. Isinya penuh sesak dengan turis-turis yang melongo menatap ke atap, sambil berharap-harap cemas lukisan tangan Tuhan akan terlihat mendekati tangan manusia, supaya dapat berkat.

 

Kuil Pantheon memang sudah tidak lagi digunakan untuk memuja dewa-dewi Romawi. Vatikan yang pada abad pertengahan begitu berkuasa mengubahnya menjadi sebuah gereja. Namun jaman terus berubah.

 

Gereja Maria Pelindung Para Martir kini penuh sesak dengan pemuja Tuhan Kapitalisme, berupa turis-turis yang berkeliling interior sambil foto-foto dengan tangan melambangkan ‘peace’. Bangku untuk misa terisi penuh, tapi semuanya sedang makan, minum, menelepon, atau sekadar mengipas-ngipas melepas lelah.

 

Demikianlah seperti pada masa yang lalu ke-romawi-an dan ke-katolikan mewarnai setiap sendi kehidupan manusia Roma, kini ada tanda kapitalisme di mana-mana. Hampir seluruh kota dipenuhi turis, hingga gue bertanya-tanya apakah ada penduduk Italia asli yang tersisa. Restoran pizza dan spaghetti cepat saji, dipanaskan dalam microwave menjamur, sedangkan gelato buatan sendiri terpojok di sudut jalan remang.

 

Kekatolikan tinggalah remah-remah tersisa tersebar di sudut-sudut jalan, dalam bentuk bangunan gereja besar yang sudah kadung didirikan, atau foto Bunda Maria yang dipasang canggung di atas iklan jins Diesel, bergambar pria mengigigit pantat wanita.

 

Jins bermerk, pizza, hura-hura, inilah Tuhan yang baru. God of capitalism, materialism and hedonism. Tuhan yang dipuja-puja dan dijunjung tinggi. Tuhan yang dianggap memberi sistem terbaik. In which, I might also be a believer.

 

Gue suka yang besar, yang mewah, yang mahal. Gue mencari kenyamanan, dan dalam proses mendapatkannya, tidak terlalu peduli jika membuat tidak nyaman orang lain. Juga tidak merasa bersalah jika banyak yang hidupnya tidak senyaman gue.

 

Maka ziarah baru afdol kalau sudah sampai Roma, nggak cukup cuma beribadah di rumah. Ikutan rebutan air dari pancuran depan Vatikan, tidak peduli kalau airnya habis dan yang haus tidak kebagian. Padahal sebenarnya judul air itu cuma DRINKING WATER dalam bahasa Itali. Kalaupun berkasiat, lebih karena dekat tempat orang berdoa daripada air suci.

 

Gue rasa gue tidak sendiri. Seperti yang selalu terjadi,  Roma tetaplah jadi pusat peradaban dunia. Peradaban yang berkembang di sini, menjadi contoh peradaban yang menguasai dunia. Bahkan untuk mereka yang mengaku pengikut agama tertentu dan sedang dalam menjalankan perannya sebagai pengikut agama yang baik dalam acara ziarah.

Kebanyakan acara ziarah jaman sekarang memberi tingkat kenyamanan yang berbeda-beda. Yang bayar mahal bisa tinggal secara nyaman pada hari-hari tertentu di hotel bagu dan cepat pulang.Tur rohani Eropa akan menyelipkan PARIS di daftar, menunjukkan kunjungan dipilih karena tempatnya indah, bukan karena bernada religius. Pernak-pernik keagamaan dan air suci, harus dari daerah tertentu. Kalau perlu sampai langganan bulanan dengan biro tour agar persediaannya tidak habis.

 

Namun, meski batal ketemu Tuhan yang selama ini gue sembah, Roma tetaplah sebuah tetaplah a city of wonder. Seperti saat dengan ajaibnya gue selalu bersua dengan tembok Vatikan setiap kali nyasar. Bahkan di tengah hiruk-pikuk calo karcis masuk Basilika gue tetap dibuat berefleksi akan apa dosa gue hingga dihukum harus mengitari Vatikan 5 kali sehari…

 

Mungkin sepanjang gue mengeluh Tuhan sudah tidak berkuasa, Dia tetap ada di mana saja, seperti kata pepatah, Banyak Jalan Menuju Roma….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *