Sapa Suruh Dateng Jakarta, Cina!

“Ini apa hubungannya sih demo penistaan agama sama ngejarah Indomaret di Pluit?”
“Ya emang kagak ada, yang satu alasannya rohani, yang satu sih duniawi! Itu mah bagian dari kontrak aje!”
“Hah? Kontrak apaan?”

 

Ketika aksi damai menuntut proses hukum Ahok berlanjut ricuh, seluruh jejaring media sosial, whatsapp, dan media dipenuhi teriakan protes bernada kebencian. Gue memilih pasif, jadi pengamat penerima semua pesan, baik pro maupun kontra.

 

Alasan pertama adalah karena semua opini gue sudah tertuang sempurna oleh tulisan lain. Alasan kedua, gue sedang mau menghayati ‘peran’ gue sebagai seorang keturunan Cina yang tinggal di Indonesia.

Isn’t it consigned in that unwritten contract? Ada perjanjian tersirat yang harus disetujui oleh setiap manusia keturunan Cina yang memilih untuk tinggal di Indonesia.

 

Dalam kontrak itu, gue dapat menikmati segala kesempatan normal warga negara, ikut PEMILU dan berkarya secara bebas. Namun sesekali di saat kondisi bangsa sedang guncang, gue harus mengambil peran gue sebagai KAMBING HITAM.

 

Di kolom hak, gue bebas bergaya apa saja, mengumpulkan harta dan berekspresi. Di kolom kewajiban , akan ada masa semua yang gue kumpulkan itu layak direbut paksa. Dan pada saat itu, gue harus banyak diem dan hidup dalam rasa takut.

 

Isn’t it always been that way?

 

Mau masalahnya penjajah Belanda curang bikin aturan kek, Orang Jawa pengen jadi presiden kek, pengalihan isu korupsi dan kesejangan sosial kek, yang diperkosa, dirampok, dihilangkan nyawanya, ya keturunan China.

 

Oh I even remember the drill. Jika ada demo anarkis, atau konferensi pers berbau kebencian, segera lepaskan atribut keagaman. Kalung Salib yang menggantung di dada biar disimpen dulu di risleting dompet. Lalu keluarkan alat make up, selendang pashmina serta tasbih yang selalu standby di dashboard mobil.

 

Buat mata lebih gede, kalau perlu shading biar kulit sawo matang. Lalu bungkuskan selendang jadi kerudung dan kalungkan tasbih di spion tengah.

 

Jika berada di tengah kota, jauhi tempat demo dan JANGAN BERANI-BERANI MENUJU ARAH PULANG! Curiganya akan satu jalur dengan massa yang merangsek ke daerah Pecinan. Sebaiknya tinggal saja di rumah kerabat atau teman di daerah Selatan Jakarta.

 

Dan kalau acara semakin rusuh, perintahkan orang rumah untuk mulai menutup gerbang-gerbang pintu masuk. Lalu sediakan pilox, coret-coret tulisannya MILIK PRIBUMI, tambahkan beberapa huruf Arab.

 

We’ve been here before. Couple times.

Yang paling dekat dan masih gue alami sendiri ya Kerusuhan Mei 98. Jadi kenapa kaget? What makes us think that it will never repeat? Lha wong pangkal masalahnya nggak pernah diobatin!

 

Keyakinan bahwa Cina itu kaya, kafir dan jahat nggak pernah diluruskan kok. Perkara 20 tahun lalu dibikin kurang kaya dengan dijarah-jarah mah nggak ngaruh. Tuh sekarang katanya pada kaya lagi, bikin kejahatan lagi!

 

Itulah sebabnya gue berkata, ya terima aja kontraknya. Kita orang kok yang memilih Indonesia sebagai tempat tinggal. Meski kontraknya kurang menguntungkan, Indonesia memiliki pasar dan sumberdaya yang luar biasa. Sebagian memang menyadari betapa strategisnya memiliki usaha di Indonesia. Cincay lah sesekali harus hidup dalam ketakutan.

 

Sebagian, seperti keluarga kakek yang tidak pernah bertemu lagi dengan sanak saudaranya setelah dipulangkan ke China, tahu bahwa kontrak di negara lain, bahkan ‘tanah air’ sendiri lebih nggak acih. Ternyata Cina perantauan ini mirip ya sama warga Palestina?

 

Sebagian lagi, mungkin punya alasan yang lebih sederhana. I could’ve escaped the country. Kerja yang bener di Singapura, siapa tahu setelah beberapa tahun bisa melamar jadi warga negara. Menikmati jadi bagian dari 70% etnisitas di Singapura.

 

But then I fell in love. Gue melihat keindahan sudut pantai Banyuwangi dan merasakan kebanggaan terhimpit dalam dada, cakep juga ya negara gue! Ekspor tersendat dan yang gue pikirkan ya ampun, kalau begini, kapan buah Indonesia yang kece dan enak ini dikenal dunia?

 

Dan seperti gue sering jatuh cinta pada lelaki yang salah, I might’ve fallen in love with the wrong country. But love is blind, they say, dan meski mengetahui segala konsekuensinya menjadi seorang Cina di Indonesia, gue tetap memilih tinggal di sini. Semacam frase ‘Ibukota lebih kejam dari Ibu Tiri’, tetap saja banyak yang datang, sengsara, mengeluh, lalu dinyanyikan ‘Sapa Suruh Datang Jakarta!’

 

Mungkin, hanya mungkin, itu juga yang dirasa beberapa aparat keturunan Cina yang tetap bertahan dengan gaji minim demi ‘memperbaiki negara’ meski dihujat dan dicari-cari kesalahannya.

 

Ketika gue mendengar Ahok mendapat dukungan mayoritas warga Jakarta berdasarkan survey, gue pikir kontrak kami sudah direvisi. Bahwa gue bisa membakar habis sisa buku Excuse-Moi yang gue tulis, karena isinya sudah tidak valid. Kolom hak dan kewajiban sudah ditambah! Gue sekarang bisa berpartisipasi aktif dalam politik!

 

Tapi ternyata gue keliru. It’s the same contract all over again. Gak masalah jadi Cina, mau jadi pesulap kek, gubenur kek, orang kaya kek. TAPIII.. kalau ada tugas ‘kenegaraan’ memanggil, harus siap kecinaan jadi kambing hitam. Pasti ada salahnya yang bisa ditunjuk-tunjuk!

 

Jadi gue mau bilang ke diri sendiri, keluarga dan teman-teman Cina gue, JANGAN CENGENG! Get used with it! Yang beneran kaya beli aja tuh tiket Singapore Airlines 45 juta buat kabur ke Singapura sesaat. Yang miskin? Ah banyak-banyak doa aja lah, siapa tahu masih hoki belum jadi korban. After all, isn’t it what we choose? To be Indonesian?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *