Sapa suruh kawin lagi?

Apa rasanya punya tiga orang ibu?

Itulah pertanyaan yang terus menghantui gue setelah bertemu dengan keluarga seorang teman.

“Kenalin, ini nyokap…”

“err..halo…err..tante?”

Gue menyapa dengan canggung. Bagaimana tidak, perempuan yang disebutnya sebagai nyokap itu kira-kira usianya cuma sekitar 2 tahun lebih tua dari gue, padahal teman gue sebaya dengan gue. Berdasarkan pengetahuan, ga mungkin kan beliau hamil pas usia 2 tahun?

 

“Psst…Gy..itu istri bokapnya yang  baru…dia anak istri pertama…” seorang teman yang lain memberi jawaban atas kebingungan gue.

“ohh…jadi dia ga tinggal sama ibunya sendiri?”

“engga…dia tinggal di rumah istri kedua..”

“Lha! Ini emang istrinya ada brapa?”

“tiga..”

“Hah!”

 

Gue tahu, terkadang masalah ini jadi menyangkut isu SARA dan menimbulkan perdebatan. Paham! Gue juga tahu bahwa ini kan topik basi juga; mau dibahas seratus episode pun tetep aja banyak lelaki Indonesia yang berpoligami, dan ada aja wanita Indonesia yang rela dipoligami. Tapi humph…stelah berminggu-minggu dari pertemuan ini, kisah teman berayah satu beribu tiga terus menerus menerorku…sperti menahan pipis…Kalau ga dicurahkan…aku bisa gagal ginjal!

 

Stand gue terhadap masalah ini jelas. Sama seperti perempuan pada umumnya (kecuali satu teman seperkuliahan yang mengaku rela dipoligami), pandangan gue terhadap poligami adalah: AMIT-AMIT JABANG BAYI! Ketika melihat bokap teman gue itu, sejujurnya dalam hati gue langsung berdoa, Ya Tuhan…Jauhkanlah aku dari lelaki sedemikian

Maafkan saya Oom, Tante, gue memang bukan fans berat poligami. Menurut gue, poligami di masa sekarang, terutama di daerah perkotaan ini hanyalah manifestasi sifat egois pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan ini. Pertama adalah bentuk keegoisan suami terhadap istri (-istri)-nya. Mau dengan alasan apapun kek, jika ditilik intinya, poligami itu emang menguntungkan bagi pihak prianya.

 

Ada yang pake alasan untuk melindungi dan menafkahi istri kedua; tapi yang dikawinin artis dangdut umur 20an. Percayalah, wahai lelaki, perempuan masa sekarang ini sebenernya cukup mandiri. Dengan modal pendidikan yang cukup dan/atau wajah yang cantik, apalagi usianya masi muda, sangat mungkin kami mencari pekerjaan yang halal diluar pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.

 

Kami juga sudah tidak tinggal di gurun yang berbahaya sehingga butuh perlindungan dari rampok jahat yang suka memperkosa atau dari stigma masyarakat tentang perawan tua. Kebanyakan dari calon istri kedua itu bahkan sudah punya rumah yang nyaman dengan pengamanan 24jam, dan sanggup mencari perjaka yang bisa diandalkan, hanya, mungkin kurang kaya…Jika Anda tetap kasihan dengan kami yang tidak punya mobil BMW tapi takut difitnah zinah, Anda tetap bisa menyumbang lewat yayasan social ke nomor rekening sekian sekian. Tidak perlu dinikahi.

 

Jadi, unless yang dikawinin janda kolong jembatan beranak 9 umur70 yang uda menopause dengan organ vital uda kelewer-kelewer, tolong, jangan pake alasan ‘demi perempuan’! Calon istri kedua anda sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, kecuali, kebutuhan seksual.

 

Dan tolong jangan terlalu percaya diri bahwa sebagai lelaki di jaman sekarang, bisa menyamai keadilan seorang Nabi. Mendekati, mungkin. Atau mengikuti dan mempelajari untuk bisa menyamai keadilan yang sempurna. Tapi terlalu egois untuk menjadikan pernikahan ajang latihan meskipun pernikahan adalah tempat bagi kedua insan belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Jadi sebelum meraih sertifikat “SAYA TELAH BISA ADIL DENGAN SEMPURNA”, jangan lancung ke uji keadilan dalam pernikahan poligami…

 

Sebagaimana perkawinan normal, pernikahan tidak akan terjadi tanpa kesetujuan pihak wanita. Menurut gue, perempuan yang sudi dipoligami juga sama egoisnya sama suaminya. Duhh..mengerti dong kaumnya sendiri! Kalau kita bilang ‘iya’ itu artinya suka ‘engga’. Jadi biarpun katanya ikhlas, belum tentu ikhlas beneran. Harap bisa membedakan antara ikhlas ‘terpaksa’ dan ikhlas beneran.

 

Lagipula, biar kata suaminya memang beneran adil, perempuannya tetap aja manusia kan? Dengan segala kelemahan dirinya? Punya rasa cemburu dan egois sendiri? Salahkah jika seorang wanita ingin memiliki suaminya satu utuh tidak terbagi? Menurut sumber cerita, istri kedua dari ayah temen gue itu sejak punya saingan tambahan, jadi kejam terhadap anak-anak yang lain dan selalu perhitungan. Bukannya jadi kesal sama istri kedua, gue malah membela habis-habisan!

“Ya wajar aja! Kalau gue sih yang digituin, uda bukan itung-itungan, tapi gue santet-santet-in satu2!”

“Buset, ngeri banget sih gy!”

“SAPA SURUH JUGA KAWIN LAGI! Semua masalah termasuk istri kedua jadi sentimen ke istri ketiga ga akan ada kalau lakinya..ga kawin lagi!”

 

Masih dari cerita teman gue, sebenarnya dalam keluarga itu, seharusnya, poligami itu menguntungkan semua pihak. Soalnya tiap kali kawin lagi, usaha kost-kost-an sang suami bertambah satu, sehingga timbul istilah banyak istri banyak rezeki. Dengan empati yang berlebihan, gue jelas menentang prinsip ini. PERTAMA, ini adalah istilah yang sudah uzur dan ketinggalan zaman. Istilah banyak anak banyak rezeki aja sudah ditentang pemerintah, apalagi turunannya yang tidak memiliki semangat kesetaraan?

 

KEDUA, seperti yang selalu gue bilang, kesejahteraan tidak hanya dihitung dengan materi, tapi juga kebahagiaan. Dalam kasus teman gue itu, emang sih kost-kost-an-nya nambah, tapi kebahagiaan istri-istri tua jelas semakin berkurang. Istri kedua semakin cemas akan pembagian harta warisan yang kini akan dibagi 3 kelak, dan semakin irit dalam anggaran rumah tangga.

“Jadi kasian gitu kan Gy..”

“Lha ya emang! Wajar aja! Salah sendiri kawin sama lelaki beristri!”

Gue ga habis pikir aja, bagaimana istri ketiga bisa tidur nyenyak setiap malamnya disaat istri kedua was-was dan terbakar cemburu. Apa ya namanya sifat istri ketiga kalau bukan EGOIS?

 

Keegoisan ketiga menurut gue adalah keegoisan orang tua terhadap anak-anaknya. Terlalu beratkah berkorban untuk tidak menikah lagi demi memberikan waktu yang cukup dan berkualitas dengan anak-anaknya? Terlalu sulitkah untuk tidak menolong janda-janda cantik agar anak-anaknya mendapat teladan yang baik dan tumbuh sempurna?

 

Suatu hari Minggu ketika kami mau makan bersama, bapakku tiba-tiba bilang “Hal kaya gini ga akan bisa kamu rasakan kalau kamu anak keluarga XXX *yang menganut asas poligami”. Gue cengo. Ada banyak hak-hak yang  sering gue take for granted, macamnya hak untuk makan bersama setiap hari, hak untuk dianterin ke-mall bareng setiap saat, dan hak untuk rebutan kursi untuk nonton TV, yang ga pernah dirasain anak-anak hasil poligami. Berdasarkan pengamatan pribadi, bagi suami poligami, ketimbang rebutan kursi di rumah yang satu, lebih baik mengurus istri yang lain di rumah yang lain. Dan kesempatan ke mall di akhir pekan harus digilir.

 

Gue ga tau apa ngaruhnya hal-hal kecil itu buat perkembangan idup gue, tapi melihat gue dan ketiga kakak kami, kenyataan bahwa kami ga pernah digilir menjadikan kami sangat menghargai diri sendiri sebagai perempuan. Karena kami berharga kami wajib menjaga diri dan menentang diskriminasi gender. Karena kami tidak perlu bersaing demi perhatian seorang ayah kami bisa berkonsentrasi mengejar cita-cita. Dan dalam hal pernikahan, kami terlalu berharga untuk kawin dengan lelaki yang ga pas buat kami, atau yang bikin kami nangis. Apalagi kalau cuma jadi istri kedua/tiga/empat!

 

Bukannya bilang anak hasil poligami itu nantinya ga bener lho…Temen gue yang bokapnya beristri tiga itu sangat santun, ga banyak ngomong, rajin sholat dan puasanya ga pernah bolong. Konon di sekolah juga rajin belajar dan menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa pada masanya. BUTTTTT…it’s exactly because of his good behaviours he should’ve been granted his full rights as a son. Itu mencakup hak untuk tinggal dengan ibu sendiri, hak untuk tidak harus meladeni perlakuan buruk dari istri baru ayahnya, dan hak untuk mendapatkan perhatian sepenuhnya dari ayah sendiri.

 

Dan pastinya, adalah sangat egois untuk membiarkan anaknya berpotensi jadi bahan blog kaya gini. Gimana gue harus bersikap kalau anak gue jadi dibahas tuntas kaya gini dan bokapnya dicela-cela perempuan? Gimana gue harus menenangkan rumor bahwa ibunya adalah cewe matre dan bokapnya adalah lelaki buaya?

 

“Hussh gy! Kok loe tertarik banget sih!” teman gue menghentikan kesewotan dan protes gue

“Idihhh…mau mukanya kaya ferdi Nuril kek, mau dikasi rumah di Pondok Indah pake patung-patung kek, mau punya restoran ayam bakar kek, gue masi punya hati nurani!”

“Loe jangan gitu gy, yang ini juragan kost-kost-an! Salah-salah cetir…yap! Margie jadi istri keempat!”
“Oh iya ya, baru tiga, Yes! Masi ada kesempatan kalo gitu!”

 

Kami semua ketawa. Bokap dan keluarga teman gue sudah jadi guyonan semata. Hal ini, above all things, adalah hal terakhir yang ingin gue liat di keluarga gue, sebagai anak, sebagai ibu, dan sebagai istri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *