“Ahh, mami nggak mau naik ah! Mau turun aja!”
“EHHH! Ga boleh gitu! Ayo naik!” Gue mendorong-dorong si Mamih dari belakang dengan tangan kiri, sambil tangan kanan menghalang-halangi sisi kanan undakan Borobodur supaya si Mamih yang sudah mengambil ancang-ancang putar balik tak bisa turun tangga.
Saat itu kami baru mencapai fase ‘Kamadhatu’, dan mendengar bahwa masih ada dua fase lagi yang harus didaki, si Mamih yang dari awal cuma ingin beli cobek di pelataran Candi Borobudur langsung berencana mundur teratur.
Dua hari kemudian, insiden yang sama kembali terjadi. “Kalau begini mah mending naik Borobudur sekali lagi!” protes si Mamih saat menuruni dan menaiki ke-1225 anak tangga di Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu.
“Abis gimana? Mau balik? Cobain aja ya? Nanti kalau nggak kuat telpon nomor darurat,” bujuk Kakak sambil menunjuk ke arah papan berisi nomor handphone untuk keadaan darurat.
“Emang kalau ga kuat diapain?”
“Ditandu, Bu,” jawab seorang petugas yang kebetulan lewat. Si mamih diam sesaat, seperti mencatat dalam hati.
Saat pulang ke Jakarta, si Mamih tetap protes merasa ditipu, “Kok pergi ke Solo banyakan naik tangganya sih?”
Si Mamih memang bukan tipe petualang. Atau mungkin sudah kehilangan hasrat bertualang. Kalau tahu harus naik turun tangga, ia pasti akan memilih tinggal di rumah Bu Broto, pemilik usaha batik Brotoseno di Sragen yang bernama asli Bu Parjan. Menikmati pisang goreng hadiah langsung setiap pembelian 10 lembar selendang sutra.
Bahkan kalau bukan karena tiket yang tidak bisa diuangkan kembali itu langsung dibeli tanpa persetujuan 100%, keberangkatan ke Solo awal bulan ini bisa tertunda lagi. Padahal perjalanan ini telah tertunda 14 tahun, terhitung saat pertama gue bisa mengingat mamih dan papih membuat rencana tour ke Jawa.
Tentunya, durhakalah si anak yang suka memaksakan kehendak pada orang tua itu! Takdir di tangan Tuhan dan tidak semua orang ditakdirkan berjiwa petualang. Kalau si Mamih tidak suka bepergian atau naik tangga, siapalah ananda berani menuntut?
Kalau aku jadi batu di pinggir pantai, aku akan menyalahkan Amelie. Ayah dalam film Amelie punya cita-cita keliling dunia. Tapi hingga tua, ia tetap sibuk mengurus kebun kesayangannya. Amelie lalu menculik kurcaci hiasan taman dan menitipkannya pada teman pramugarinya. Setiap kali si kurcaci muncul setelah menghilang, selalu ada foto sang kurcaci di depan Menara Pisa atau objek wisata lainnya. Hingga akhirnya si ayah pun jadi juga berkeliling dunia. Kurcaci saja bisa jalan-jalan…
Sejak nonton film itu aku menyimpan tekad menjadi Amelie. Mamih dan Papih ingin melihat Candi Borobudur, namun bayangan pertama kali naik pesawat domestik berukuran kecil, berhari-hari meninggalkan rumah dan kerjaan serta road trip yang menguji tulang sendi meluluhkan keinginan melihat keajaiban dunia.
Ada orang-orang yang tidak pernah meninggalkan daerah tempat tinggalnya seumur hidupnya. Dari orang-orang itu, bahkan ada yang tidak pernah tahu ada daerah lain di luar tempat tinggalnya. Sisanya tahu, tapi tidak punya kemampuan untuk pergi.
Namun ada juga golongan terakhir, yang anggotanya paling banyak, adalah yang tahu, mampu, tapi tidak punya keinginan untuk pergi. Atau punya, tapi juga punya banyak alasan: Kan pernah liat gambarnya, kan tahun depan bisa kalau waktunya pas, emang buat apa kesana?
Dari dulu gue tidak pernah bisa muncul dengan jawaban yang valid, mengakibatkan rencana perjalanan keluarga selalu tertunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Tapi gue percaya, manusia mana yang tidak punya keinginan melihat atau merasakan sesuatu yang tidak ada di setting kehidupan normalnya?
Manusia hidup atas ruang dan waktu. Sekali ruang dan waktu terpakai, itu tidak akan bisa disinggahi kembali. Tapi apa yang terjadi dalam ruang dan waktu itu, diserap oleh indra, dan direkam dalam memori sebagai sebuah pengalaman. Ruang dan waktu setiap orang akan habis dan hal ini tidak punya keistimewaan apa-apa. Tapi bagaimana seseorang mengisi ruang dan waktu akan memberi definisi unik tentang setiap orang.
What we see, what we touch, what we feel, what we hear, what we smell with our own senses define ourselves. Dan dalam hal ini, I want to see things that amazed me, to touch things that make me startled, to know feeling I’ve never felt before. Untuk jadi budek karena bunyi yang asing di kuping dan muntah-muntah karena bau yang aneh. Sehingga hidup yang gue punya, bisa didefinisikan sebagai rich, extraordinary and happy.
Untuk satu alasan dan lainnya, keinginan memberi makna lebih dalam hidup itu terasa kurang mendesak. Gara-gara ada televisi, radio, internet, orang merasa tak perlu pergi langsung karena ada media yang membagikan pengalaman milik orang lain untuk dimiliki oleh penontonnya. Tapi pengalaman yang dimiliki seorang penonton adalah menonton TV, bukan bepergian.
There is always tomorrow, orang bilang. Sebagai yang tidak terlahir sebagai Benjamin Button, manusia normal punya keistimewaan untuk mampu memproyeksikan pengalaman berdasarkan jangka waktu. Bisa ngomong, suatu hari nanti…. ‘harinya akan datang’ sedangkan sekarang adalah ‘hari untuk yang lain’.
Tapi kadang, mengandalkan batas waktu untuk menjadwalkan hidup malah akan membatasi hidup itu sendiri. Seolah pengalaman tidak bisa dicicipi karena ‘waktunya belum pas’. Lalu tiba-tiba saja, that tomorrow will just never come.
Dan pantai-pantai yang telah diciptakan sedemikian indahnya itu, candi-candi yang telah diukir jauh-jauh hari, udara yang telah berputar tanpa terisi manusia, tak akan pernah melewati indra, tak peduli berapa lama mereka telah menanti untuk dikunjungi.
I don’t want to wait, because the time is never right. Sebaliknya, gue mau berkata seperti Benjamin Button, there’s no time limit, stop whenever you want. Bukan jangka waktu yang menentukan pengalaman yang diraih, tapi tempat apa yang ingin dikunjungi, siapa yang ingin ditemui, yang menentukan bagaimana waktu itu terisi.
Maka si Mamih harus dipaksa. Dipaksa naik sampai puncak supaya bisa sungguh mengalami Borobudur meski mengeluh belum minum obat penguat sendi. Setengah menipu, memberi info bahwa hotel dekat perkampungan batik, sehingga saat ditinggal promo Cruise on You di Musro-Hotel Sunan, si Mamih terpancing berjalan kaki dan mengalami Solo.
Nampaknya metode gue berhasil. Meski perjalanan diawali dan dipenuhi oleh paksaan, gue bisa melihat senyum sumringah si Mamih saat tangannya menyentuh tangan Sang Buddha dalam stupa puncak lalu bersaksi tanpa paksaan, “Harus lihatlah si Borobudur itu sekali seumur hidup.” Dan terpampanglah sebuah foto si Mamih bersama monyet-monyet di bawah papan bertuliskan “SELAMAT! ANDA TELAH MENDAKI 1225 ANAK TANGGA. SEMOGA TAMBAH SEHAT DAN SUKSES!”