In Search for That True Love

It’s a perfect proposal. Yang laki-laki, seorang pengusaha muda berwajah tampan yang tidak punya orientasi terhadap lawan jenis. Yang perempuan, wanita karir menjelang usia 30 dengan karir gemilang yang sudah dikejar deadline menikah.

 

Dengan menikahi yang laki-laki, yang perempuan akan terbebas dari pertanyaan yang ganggu setiap kumpul keluarga tanpa harus mengorbankan karirnya. Ia juga akan dapat mempertahankan gengsi di foto alumni bersama suami tampan. Belum lagi 50% harta kekayaan akan bertambah.

 

Setelah menikah, we’ll go separate ways, saran yang laki-laki. Yang perempuan tetap bebas mencari cinta (atau cinta-cinta) sejatinya.

 

Perfect, rite? Tapi Tince, yang perempuan, ternyata menolak lamaran ini.


“Kenapa?” gue bertanya.
“Karena…ternyata… gue gakpapa deh sendiri daripada kawin sama orang yang nggak suka ama gue!”

 

Gue langsung membanting tutup laptop yang sedang gue lihat-lihat sekadar bosan sambil memuji dan memuliakan Tuhan. “Terima kasih Tuhan! Akhirnya!”

 

Sudah sejak putusnya Tince dari kekasih terdahulunya sekitar setahun yang lalu, resah gelisah Tince tanpa pacar ini selalu mewarnai hari-hari ketemuan kami.

 

Kok gue nggak dapet-dapet lagi ya? Bosen ya sendiri… Kok nggak ada cowo yang suka sama gue ya? Kok si ini itu udah pada kawin ya, mereka tuh hidupnya gimana sih? Gue nggak peduli deh siapa, kalau masuk kualifikasi, gue sikat, yang penting duluan daripada mantan! blablablabla.

 

Lalu gue sibuk puk-puk. Menyatakan bahwa setiap orang itu nasibnya beda-beda. Buat si Mantan sekarang, tapi buat kita belakangan, tapi pasti datang. Mungkin sekarang memang waktunya bersantai dan fokes sama kerjaan. Bayangkan betapa bijaksananya gue. Padahal gue juga lagi jomblo. Huh.

 

Namun mau ngomong sampai mulut berbuih-buih, semua kata-kata gue seperti mantul saja di cantelan panci di pinggir wajah itu.

 

Hingga suatu hari berpapasanlah Tince dengan Yang Laki-laki. Seseorang yang di mata Tince nilainya 100 kalau nggak 110. The matching companion. Ini dia nih, yang layak jadi pendamping hidup.

 

Sebulan jalan, Tince menemukan hal yang ganjil. Yang Laki-laki t lebih suka jalan sama teman lelakinya daripada ngapelin perempuan. Jalannya sampai ke Bandung, sambil nonton berdua tidur-tiduran.

 

Meski selalu tampil mesra di depan umum, saat berduaan Tince boro-boro disentuh. Dicolek pun enggak. Padahal kalau lagi sama teman lelakinya, pake peluk-pelukan.

 

Dan ketika lamaran itu datang, segala keresahan Tince seolah jadi terasa remeh. Ternyata, ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan kesendirian: being in a relationship with no love.

 

Hah? Serius? Katanya wanita karir berpikiran logis, nyari laki pake perasaan banget nih?

 

Saat Tince masih galau, gue sudah galau duluan. Sudah setahun, lebih tujuh bulan, lebih tiga hari, begitu Tince suka membuat hitungan, mengapa belum ada gantinya? Berapa dong itungan matematisnya, biar pasti, ini kelamaan apa masih normal? Gue masih normal apa enggak?

 

Supaya terkesan normal gue akhirnya membuat target. Jika ketemu cowok yang kayak gono, dengan kayak gini, dan suka sama kita, this would be it!

 

Namun kenyataannya, ketika orang yang kriterianya kayak gono gini itu muncul di depan mata bak Mr Right, gue malah nyari-nyari alasan. Menambahkan kriteria-kriteria yang baru kepikiran. Mencari-cari kesalahan dan kelemahan yang tidak bisa ditolerir.

 

Jika mau jujur alasan sebenarnya, the feeling was just not there. Buntutnya gue cuma hanya membuat orang bingung. Semangat tapi belakangannya jadi nyebelin. Buang-buang waktu orang-orang yang sungguh punya perasaan.

 

Gue kapok duluan. Gue pernah disantet. Daripada bikin orang sakit hati, mending gue nyantai-nyantai di pinggir pantai. Gue akhirnya menerima bahwa ada faktor yang tidak bisa gue kontrol dalam sebuah percintaan.

Feelings.

Itu ramuan yang tidak bisa gue buat sendiri. I can’t force it to others as much as I can’t force it to myself. 

 

Sungguhpun pemikiran ini justru muncul lewat latar belakang rasio yang matang. Selain takut disantet, pemikiran ini juga sudah punya mekanisme untung-ruginya. Di saat gue menjomblo, gue mengalami perasaan yang sangat menyenangkan.  A happy and peaceful one. Gue tahu lagu-lagu I’m single and very happy itu dan betapa semua lagu itu terdengar seperti sedang menghibur diri. Tapi dari lubuk hati yang terdalam, gue mengamini semua lirik lagu tersebut.

 

Gue tidak merasa terganggu dengan status jomblo itu. Gue juga tidak merasa hidup kurang sempurna. Mengutip satu becandaan gue ke Tince, we might have more fun with guys than our married friends!

 

Perasaan semacam ini juga tidak bisa diciptakan begitu saja. Dan jika gue mau menggantikannya, itu harus sehebat bak lima bubble di candy crush soda saga meledak dan meluruhkan seluruh puzzle . I felt it before. It was great, and I can’t settle for anything less than that. Will it ever come? Mungkin. But it’s good enough even when it’s not.

 

Gue yakin Tince merasakan hal yang sama. It must be so great jika ia mau mengorbankan keuntungan yang akan didapat demi sebuah konsep yang tak pasti.

 

Karena seperti yang pernah gue katakan, at the end of the day, I will always win. You will always wonder how it feels to marry someone you love. I haven’t met him yet of course, but at least, I still have the chance.

 

Meskipun sebenarnya, kalau mengingat dana yang akan mengucur, jadi trophy wife itu menang banyak loh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *