Sebuah Perasaan Irasional Bernama Nasionalisme

“Kalau dulu kita yang menyeberang ke Timor Leste untuk foto-foto, sekarang gantian, mereka yang menyeberang kemari, lebih bagus di sini sih!” ujar seorang warga Atambua sambil tersenyum bangga, memamerkan sederet gigi putih khas senyum di pulau itu.

 

Pos perbatasan Timor Leste- Indonesia di Atambua itu memang mentereng. Bangunan masih berbau cat macam sofa yang belum dibuka pastik pembungkusnya. Satu kompleks menyerupai Jogja City Mall.

 

Jadi kontras dengan pos milik Timor Leste yang meski bangunannya layak, tapi bergaya tradisional sehingga lebih sederhana. Padahal, empat tahun lalu kebalikannya. Pos Indonesia lebih mirip tenda warung soto Lamongan pinggir jalan.

Di lain hari gue menyambangi perbatasan, para prajurit sedang mencanangkan siaga 1. Helikopter Indonesia berdengung di atas perairan patungan Indonesia-Timor Leste. Katanya sehari sebelumnya ada pesawat militer Timor Leste yang menerobos area Indonesia.

 

“Negara kecil berani main-main dengan Indonesia, kita marah sekali hilang mereka!” komentar seseorang dari suku Tetun, suku yang sama dapat ditemui lintas penyeberangan.

 

Gue sudah berkeliling berbagai daerah di Indonesia, dan gue dapat merasakan bahwa angin nasionalisme berhembus paling kencang di Atambua. Bukan karena daerah lain kalah nasionalis, tapi karena angin nasionalisme di sini harus menghantam tantangan yang jauh lebih berat.

 

Warga Atambua sebenarnya punya sejuta alasan untuk tidak mencintai negeri ini. Bertahun-tahun diabaikan pemerintahan sebelumnya sehingga pembangunan tertinggal bertahun-tahun dibandingkan negara lain. Pusat kotanya, kurang lebih sebesar pusat Kabupaten Singaparna. Hanya kalah rame.

 

Ada warga seumur-umur belum pernah lihat wastafel. Belum lagi kasus pengungsian pasca kerusuhan Timor Timur yang menyebabkan hingga empat tahun lalu masih ada warga yang satu rumah kecil diisi 40 orang.

 

Belum lagi punya perbedaan latar belakang yang cukup mencolok dibandingkan suku jawa, baik soal budaya maupun agama, membuat banyak kebijakan tidak sesuai dengan masyarakat setempat.

 

Namun bahkan semua perlakuan buruk republik ini tidak mematikan rasa cinta pada tanah air. Punya presiden yang memperhatikan daerah perbatasan sebentar saja sudah mampu menghidupkan rasa cinta itu hingga berkobar-kobar.

 

Dengan bangga mereka menunjukkan jalanan mulus menuju perbatasan, meski jalan ke area lain belum sempat diaspal. Atau ‘Gereja Jokowi’, rumah ibadah yang dibangun pemerintah berdasarkan agama mayoritas setempat. “Di sini Jokowi itu Santo, dia menyelamatkan kami,” canda seseorang.

 

Sebuah perasaan cinta yang tidak dapat mereka jelaskan. Tidak ada alasan jelas mengapa ‘Anak Joni’ memanjat tiang bendera untuk mengibarkan bendera. Di satu lapangan panas kering kurang air yang berlatar belakang Timor Leste.

 

Ah, cinta memang buta, termasuk sebenarnya cinta kepada sebuah konsep kebangsaan. Dilepeh-lepeh, diduakan, dikeruk semua hartanya, tapi kalau sudah merasa milik, ya tetep cinta. Gue tahu rasanya. #eh.

 

Ada yang lebih penting dari sekadar keuntungan ketika mengirimkan buah Indonesia ke negara-negara yang masih mengira Indonesia itu sebuah pulau di Thailand. Ada rasa gegap gempita di dada ketika mewakili Indonesia di berbagai kesempatan seminar internasional. Bahkan ada deg-degan ketika atlet Indonesia nyemes di lapangan bulu tangkis.

 

Ketika momen itu terjadi, gue tentu lupa di-Cina-Cina-kan seumur hidup. Gue tentu memaafkan bahwa pemerintah Indonesia pernah memaksa gue sekeluarga membuat surat bukti kewarganegaraan- yang bikinnya aja musti pake nyogok kalau nggak, nggak bakal keluar. Yang penting petani dan pekerja gue nggak ada yang begitu. Negeri ini pasti masih ada obatnya kok.

 

Bercermin dengan kondisi hopeless romance gue dengan negara bernama Indonesia, gue bertanya-tanya seberapa jauh rasa nasionalisme gue bertahan, dan apa yang akhirnya dapat melunturkannya. Apakah seperti warga Atambua, rasa ini tidak pernah lekang? Bagaimana dengan Timor Leste, pernahkah mereka memiliki rasa nasionalisme pada Indonesia, jika pernah, apa yang dapat menghilangkannya?

 

“Sebenarnya banyak rakyat Timor Leste masih mau menjadi bagian dari Indonesia,” ujar seorang warga Atambua lain yang sebagian keluarganya menjadi warga negara Timor Leste. Meski harus menghadapi militer yang sewenang-wenang, mereka mengakui bahwa kehidupan jauh lebih mudah di bawah pemerintahan Indonesia. Harga barang pokok lebih terkontrol, fasilitas dan sekolah baik. Apalagi sebagian besar terbiasa berbahasa Indonesia.

 

Hingga terjadi Pembantaian Santa Cruz. Seperti kebudayaan Portugis yang bercampur dengan kebudayaan lokal lainnya, warga Timor Timur saat itu sedang musimnya merayakan ‘hari arwah’. Mereka menyalakan lilin, berkunjung ke pemakaman Santa Cruz, yang kebetulan bertepatan dengan prosesi pemakaman Sebastiao Gomes, seorang pejuang kemerdekaan Timor Leste.

 

Rezim Jawa yang tidak memahami budaya lokal menangkapnya sebagai sebuah aksi protes, MAKAR, dan merespon dengan kekerasan. Banyak nyawa melayang malam itu. Sebagian besar adalah masyarakat biasa bersama keluarga mereka. Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam.

 

Tentu saja pemerintah punya pernyataan sendiri tentang apa yang terjadi di Dili tahun 1991 itu. Tapi kenyataannya, karena insiden itu peta Indonesia jadi buntung. Dan banyak warga Indonesia juga kehilangan sanak saudaranya.

 

“Jika bukan karena Santa Cruz, tentu Timor Timur masih jadi bagian dari KITA,” lanjutnya, “hanya ketika kemanusiaan disentil…,” kalimatnya terhenti. Gue meneguk seragup lagi bir impor Eropa yang merajai pasar Timor Leste dan membiarkan malam yang sepi nyaris tak berpenerang mengambil alih. Ya, hanya kemanusiaan yang dapat menghilangkan nasionalisme terhadap negeri secantik Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *