Ada cicak yang akan mati di rumah gue. Para cicak suka menjadikan kamar gue tempat peristirahatan terakhir. Dan tiga hari yang lalu, seekor cicak tua yang tak lagi lincah terseok-seok merayap masuk, lalu sembunyi di sudut dingin dalam kamar. Kadang di waktu malam, gue membiarkan cicak besar itu tidur dalam sendal bulu gue (ya…gue punya sendal bulu..)
Sesaat sebelum wafat, cicak menongolkan dirinya, seolah memberi ucapan perpisahan. Lalu gue memanggil bokap untuk mengambil badan cicak yang sudah memucat dan membengkak untuk dipindahkan ke tong sampah. Di sana cicak kan menutup mata untuk selama-lamanya.
Gue kadang bertanya, apakah perhatian gue pada seekor cicak yang akan mati membuat gue menjadi orang yang lebih baik. Bagaimana dengan orang yang rumahnya punya begitu banyak cicak sampai tak peduli lagi, lebih baik, atau jahatkah gue dibanding mereka? Lalu bagaimana dengan orang yang rumahnya tak pernah ada cicak? Haruskah mereka pindah ke rumah yang ada cicaknya supaya bisa jadi orang baik?
Lagi mellow aja.
Seumur hidup gue belum pernah merasakan jadi orang jahat. Gue anak pendiam dan tidak suka melawan orang tua. Ketika masuk sekolah, gue sering jadi juara kelas dan disayang ibu guru. Gue juga bukan teman yang suka membocorkan rahasia, atau klepto, atau sombong sampai membual.
Maka ketika ada rekan blogger yang begitu yakin akan kebusukan hati gue, gue merasa terganggu. Gue jauh lebih terganggu daripada yang gue perlihatkan. Gue lebih terganggu lagi ketika mengetahui isi essay pendek tentang gue yang ditulisnya, yang menyebutkan secara umum sifat gue yang dangkal dan jahat itu berasal dari latar belakang hidup gue sebagai perempuan keturunan Tionghoa dari keluarga kelas menengah di Jakarta.
Sama terganggunya ketika ada yang meminta gue berhenti menulis hal-hal yang ‘tidak penting’ dalam blog, semacam hubungan dan kehidupan metropolis. Sebaiknya gue mulai menulis hal-hal yang berbobot, seperti masalah kemiskinan dan ketahanan pangan. Gue tidak bisa menulis hal semacam itu. Apa sih yang gue tahu tentang pertanian?! Gue Cuma bisa sok tahu tentang apa yang gue lihat dalam hidup gue sendiri, dan ternyata…hidup gue itu tidak penting?
Apakah dilahirkan sebagai seorang Cina, middle-class, berpendidikan, di kota besar Jakarta menjadikan gue sebagai seseorang yang jahat, dangkal picik, sombong, palsu dan munafik? Sama seperti Hitler yang dilahirkan menjadi orang yang kejam dan pembantai?
Kalau begitu alangkah terkutuknya hidup gue! Tidak ada yang bisa gue lakukan untuk menghindari neraka karena gue terlahir jahat. Kecuali kalau gue menyangkal seluruh hidup dan identitas gue lalu lari ke desa untuk kerja social. Padahal gue tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana, ras apa, dengan fisik seperti apa.
Dalam keadaan membenci diri sendiri, gue membaca buku Candace Bushnell, supaya merasa bersyukur bahwa ada yang lebih kaya dari gue, thus, lebih jahat dan lebih dangkal dari gue. Candace mungkin telah meraup sukses lewat cerita-cerita pendek Sex and the City dan menjadikan banyak wanita seperti gue pengikutnya. Tapi saat menulis novel disinggung, she sucks.
Gue bukan pengamat kesusasteraan dan bukan penulis, hanya seorang pembaca yang tak bisa mengikuti gaya berbahasa novel-novel Candace. Kebanyakan menyinggung kehidupan tak jauh dari sex dan bintang film secara shallow, lewat detail-detail panjang dengan bahasa Inggris versi kamus, seolah sang penulis ingin menjadikan chicklit sebuah karya sastra. Semua novelnya hanya sanggup gue baca hingga halaman 40, sebelum akhirnya gue menyerah dan menumpuknya dalam lemari buku.
Tapi seperti seorang pengikut setia, yang tak pernah pupus kepercayaan, gue kembali membeli dan membeli setiap buku Candace, dan menemukan, novel yang gue baca saat ini, One Fifth Avenue, gue baca sampai habis.
One Fifth Avenue sebenarnya masih berputar pada kehidupan maha dangkal dan maha ga penting ala socialite New York. Yang membedakan kali ini, Candace menjadi seorang penulis yang jujur. Ia menceritakan tentang sesuatu yang ia pahami dan dekat dengannya. Ia tidak lagi berpura-pura menjadi seorang ‘baik’ yang membela protagonis anti kapitalisme. Tujuannya hanya menceritakan sebuah New York, yang ia alami sehari-hari.
Hidup masyarakat modern di kota besar memang tidak dipenuhi oleh orang-orang berkepribadian ‘indah’. Ada gadis usia 20an yang begitu terobsesi pada status dan penampilan dan tak berdaya jika segala sesuatu yang artifisial itu diambil (=P). Ada juga yang rela mengumbar urusan rumah tangga lewat blog personal, yang berisiko menghancurkan hubungannya dengan orang tercinta PLUS menjadi bahan olok-olok sebagai wanita tak berotak, HANYA untuk menghidupkan karir jurnalismenya. (=P)
Tapi pengalaman Candace hidup dan jadi bagian dari masyarakat ini membuat para pembaca yang gak pernah tinggal di New York (let alone di fifth avenue!), bisa menerima bahwa para orang kota, yang sudah lupa dengan ribuan orang yang meninggal di peristiwa 9/11, dan punya apartmen seharga satu kompleks perumahan di Jakarta, pun juga manusia.
Lewat detail-detail panjang 10 baris (yang kini terasa perlu), Candace membawa kehidupan seorang penulis kolom gossip, seorang sutradara, seorang bintang film dan socialite sebagai hal yang nyata, tidak di awang awang macamnya Beverly Hill’s 90210.
Orang-orang sukses ini pun punya ketakutan, persoalan, perjuangkan perasaan yang tak beda dengan janda miskin dan anak terlantar. Kenyataan bahwa apa yang ditakutkan, yang disoalkan, yang diperjuangkan, dirasakan berbeda, disebabkan karena setting yang memang berbeda.
Candace sendiri lewat satu tokohnya mengakui bahwa apa yang ia diskusikan bukanlah persoalan ‘penting’. After all, this is just about a society, begitu kata Enid, sang jurnalis kolom gosip yang heran mengapa ia bisa begitu terhanyut dalam drama di apartemennya.
Tapi Enid kemudian menegaskan, bahwa komunitas sosial inilah awal sebuah peradaban, baik di desa, di kota, kaya, miskin, ada cicak, maupun ga ada cicaknya….Gue tidak berhak menuduh seseorang lebih tidak penting, atau tidak baik hanya semata karena lingkungan mereka berbeda.
Mungkin gue harus belajar untuk jujur akan hal-hal yang gue cintai dan mengungkapkannya seperti Candace. Gue akan lebih suka mencitrakan diri gue sebagai anak muda idealis yang punya hidup keras, membenci hidup kota besar dan rela meninggalkan segalanya bak murid Yesus untuk melayani sesama. Supaya menjadi orang baik. Sayangnya, itu bukan gue.
Gunung gemunung, hawa segar di pagi hari tanpa polusi di sudut pedesaan memang indah di mata gue. Tapi itu bukan sebuah realita bagi gue, hanya sebuah liburan. Kenyataannya, gue lahir dan dibesarkan di Jakarta. Sejak kecil terbiasa menghirup asap knalpot dan menjadikan rentetan klakson mikrolet musik di pagi hari. Gue menemukan nilai artistik dalam lekuk-lekuk mobil yang terlalu banyak, busway, mikrolet, dan seribu motor yang statis dalam macet total.
Gue tidak menutup mata akan betapa artifisialnya Pacific Place yang selalu sepi dengan barang-barang ber-tag tak rasional, atau betapa palsunya perempuan bermaskara waterproof di tempat fitness. Tapi itulah realita bagi gue. Segala yang begitu fake itu adalah kehidupan yang secara nyata gue lihat dengan mata kepala sendiri.
Di dalam universitas elite bermurid ambisius gue telah menemukan persahabatan sejati. Dalam kompleks perumahan yang rapi gue dihangatkan cinta keluarga yang utuh. Dan di hiruk pikuk Jakarta gue menemukan kebahagiaan yang tulus.
Mungkin memang nasib gue untuk dilahirkan anak perempuan manja malas yang mendapatkan segalanya terlalu mudah sehingga tidak pernah diasah lewat permasalahan yang berat. Dan kalau gue menyangkal identitas gue sendiri dan pura-pura tertarik akan hal yang tidak ada dalam hati gue, gue akan menjadi manusia yang sungguh-sungguh palsu. (dan palsu bersifat negatif).
Balik lagi ke One Fifth Avenue. Justru saat Candace tidak menjadi hakim untuk aturan Baik atau Buruk, dan Benar atau Salah, kritik sosialnya malah jadi semakin kena.Gue jadi bisa memahami betapa bergantungnya masyarakat dengan materi yang mendefinisikan status, bahkan ada yang sampai membunuh suaminya demi tetap tinggal di One Fifth Avenue, simbol kemapanan socialite New York. Bahwa dalam masyarakat seperti ini, hal yang tak krusial seperti absennya internet di pagi hari, bisa berbuntut penjara, kematian, dan krisis kejiawaan. Begitu rentan orang-orang kota itu!
Rupanya meski tinggal dalam masyarakat yang dangkal dan menggelikan, Candace masih bisa memberi sesuatu untuk gue. Lagipula, after all, we’re all somewhat a joke. Let’s hope we’re the funny ones….