Seorang teman mengumumkan ia sedang merayakan anniversary kejombloannya. Tepat hari itu, setahun lalu, ia resmi putus dari pacarnya.
“Ohh, gue dua taon, menurut loe?!” gue menanggapi pahit.
“Ini kan perayaan pertama gue!” teman gue bersikukuh.
“And then?!”
“Ternyata enjoy juga, hahahhaa!”
Kasihan temanku, dia pasti sudah gila setelah berpisah dari pria yang sangat dicintainya. Rupanya bekas luka yang ditorehkan belum juga sembuh setelah setahun berlalu, sehingga setiap harinya terus diingat. Gue berpikir sambil geleng-geleng kepala.
Yang bener aja, masa hari putus dirayakan macamnya hari jadian?! Jadian itu kan seneng, pake bunga, ketawa-ketawa, menandai dimulainya hari-hari indah, makanya dirayakan. Sedangkan putus itu kan sedih, nangis-nangis, menandai hari-hari penuh kesendirian…Lalu gue terdiam.
Gue merasa malu. Bolehlah gue menjadi duta kampanye Jomblo Bahagia (!). Sejak menjomblo lebih dari dua tahun yang lalu, jarang sekali gue menyesali kesendirian gue. Memang ada hal-hal dan kebiasaan yang berubah, tapi sejauh ini sih gue masih sehat bugar dan tidak gila atau depresi (meski sekali lagi, mana ada orang gila ngaku gila?). Lihat dari sisi positif, berkurang satu orang yang mengatur hidup gue. Mau nonton film ga perlu tunggu-tungguan, mau main ga perlu bawa buntut. Pulsa telpon terkontrol setiap bulan.
Gue bahkan bisa memprediksi dan menerima dengan hati lapang bahwa status gue di facebook belum akan berganti dalam tahun-tahun kedepan. Bukannya menolak jodoh, tapi kalau emang belum dikasi, gue tetap ngotot tak berprinsip yahh..asal ada aja dhe…
Tapi rupanya gue masih kalah dalam menghayati hidup jomblo ceria dibandingkan teman gue. Dalam dua tahun lebih itu, tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran gue untuk merayakan titik awal hidup jomblo gue yang menyenangkan. Tanpa sadar, hari keputusan seolah merupakan hari sial yang harus dihapus dari ingatan.
Emang gitu yah?
Saat putus bisa saja menjadi hari yang menyedihkan dan penuh isak tangis, tapi seperti yang gue yakini, hidup tidak menjadi kelabu dan sepi selamanya. Memang ada hari-hari peringatan tertentu (contoh: Valentine), yang membuat gue mengutuk hidup sebagai jomblo. Tapi banyak, sangat banyak piknik bersama, nginep dan mabok bareng yang mejadi hikmah dari kejombloan gue.
Sama aja dengan hari jadian. Hari-nya sendiri bisa jadi hari berbunga-bunga, tapi siapa bilang orang pacaran ga pake nangis? 50% waktu mungkin akan diisi hari-hari romanties dan sepiring berdua, sedangkan sisanya diisi pertengkaran, perngambekan, percemburuan, perselisihan, perselingkuhan, salah paham, dan sebagainya. Bahkan ada pasangan yang rasio mesra dibanding rasio berantem sudah kurang dari 50%.
Baik hari jadian maupun putus sama-sama menandai dimulainya masa baru, yang tentunya diharapkan adalah lebih baik dari sebelumnya. Mana ada yang jadian dengan tujuan untuk putus nantinya? Juga mana ada yang putus disebabkan karena hubungan berjalan begitu lancar, dan hidup begitu indah? Pasti diharapkan dengan putus, kedua pihak diberi kesempatan untuk bertemu pihak baru yang lebih pas. Atau setidaknya dengan jadi jomblo, rasio kebahagiaan bisa kembali menandingi rasio kesedihan.
Itulah sebabnya hari putus wajib dirayakan, sama seperti hari jadian. Keduanya adalah keputusan berani yang diambil manusia untuk menghentikan status quo dan meraih hidup yang lebih baik. Maka gue dengan bulat kembali memanggil teman gue, ingin ikutan memperingati awal ke-single-an.
“Gue ikutan dong! Mau merayakan hari jomblo juga!”
“Lha, emang loe putus tanggal berapa?”
“Aduhh..klo tanggalnya gue uda ga inget, tapi kira-kira dua tahun lalu, September kalo ga salah, apa Oktober ya? Yahhh…pokoknya dijadikan hari ini saja lah!”
“Masa sih? Taon baru 2008 loe bukannya bareng…”
“Ya udah! Ya udah! 1.5 taon lah! Dari taon baru 2008!”
“Gimana klo diitung dari cowo terakhir yang deket sama loe? Yang sangat dekat secara psikis ATAUPUN fisik!”
Muka gue langsung berubah, “Yaa..itu mah kurang dari setaon dong!”
“Klo gitu loe belum bisa merayakan, Gie! Nanti aja ya, taon depan!” teman gue tertawa.
Sial! Sudah semangat merayakan, gue dianggap belum eligible sebagai jomblo sejati. Tapi rekapitulasi kehidupan single gue selama dua tahun itu semakin mengingatkan betapa ‘bewarna’ dan menyenangkannya hidup gue ketika menjadi jomblo.
Ternyata gue tidak jomblo-jomblo amat ketika mengaku single. Juga tidak ada seorang ‘in a relationship’ yang bisa 100% berpasangan. Pasti ada saat yang harus dilalui sendiri, minimal ketika pipis… Dan semua itu membuat gue semakin bersemangat merayakan hari jadian jika diizinkan, dan hari jomblo dalam waktu beberapa bulan kedepan. Whichever comes first….