Seproduktif Ibu 15 Anak

Ibu selalu bilang kalau gue seperti hidup dengan tanggungan 15 anak.

Ada masanya gue menjalani tiga pekerjaan sekaligus. Yang pertama adalah pekerjaan tetap, sistem kerja pagi hingga sore, di sebuah perusahaan multinasional. Yang kedua adalah menulis buku, ditargetkan satu setiap bulan sebelum istirahat sedikit demi mengatur layout, editing dan cover. Yang ketiga adalah menjadi seorang penulis lepas atau sekadar memberi arahan editorial secara anonim.

 

Terkadang jika yang kedua atau yang ketiga sedang tidak ada pesenan, gue akan berani menambah beberapa pekerjaan tambahan lainnya, seperti memberi pelatihan dan seminar dan jadi kontributor di publikasi lain. Semua itu di luar pekerjaan ‘tetap’ lainnya, seperti punya pacar, tamasya keliling Indonesia dengan titel apapun, menjaga tali silaturahmi pertemanan serta nonton infotainment.

 

Di masa sebelumnya lagi, gue adalah salah satu mahasiswa yang berani teken kontrak akan menjaga nilai demi menambah SKS di masa liburan lebih banyak dari jumlah maksimum.  Di samping menjadi asisten dosen dalam beberapa riset, mengerjakan kampanye atas prakarsa kementrian kesehatan, dan bekerja sambilan di konferensi tingkat dunia Singapura.

 

Sesaat kemudian, gue mulai kerja profesional lebih awal dari usia sewajarnya, lalu menampung beberapa pekerjaan fotografi ataupun menjadi modelnya jika diperlukan, dan menerima kerja apa saja deh. Gue bahkan pernah ikut kontes kecantikan kampus berhadiah beberapa ribu dolar. Sayang ternyata dalam bentuk kursus dan kontrak modeling.

 

Wajar saja, ibu selalu meyakini gue sedang menghidupi 15 orang anak.

 

Ambisius, dianggap sebagai arti denotasi kiasan 15 anak sang ibu. Gue adalah sejenis manusia super yang bisa membelah diri bak amuba untuk mengerjakan beberapa pekerjaan berskala pekerjaan tetap di waktu bersamaan. Sebuah pujian yang menyenangkan, tapi sayangnya kurang tepat.

 

Maruk, sebenarnya adalah kata yang lebih tepat untuk mendefinisikan motivasi bekerja gue. Sebagai orang yang tahu diri, gue tahu betul sebenarnya tidak ada yang spesial dalam diri gue. Pintar segaris rata-rata, berbakat sebaris rata-rata, beruntung sebaris rata-rata juga. Tanpa kemarukan, gue  akan punya masa muda yang ceria : lulus tepat waktu, mulai kerja tepat waktu, punya buku suatu saat.

 

Tapi gue terlahir sebagai seseorang yang tamak. Gue paling tidak tahan melihat kesempatan bertaburan di sekitar gue. Nyaris tidak pernah gue menolak sebuah tawaran yang melintas. Jika bisa dikerjain, pasti bakal disabet ! Dan itulah yang membawa gue berakhir seolah lebih produktif dari kebanyakan orang: gue pantang menolak kesempatan.

 

Banyak yang mengidentifikasikan produktivitas dengan kemampuan mengatur waktu dengan baik. Tapi jauh sebelum punya banyak kegiatan sehingga waktu harus dbagi-bagi, produktivitas adalah tentang memanfaatkan berbagai kesempatan secara efektif.

 

Dalam sebuah wawancara gue pernah ditanya bagaimana caranya menjadi editor di usia muda. Jawaban gue hanya singkat, gue melamar, yang seusia lainnya tidak. Gue mungkin beruntung berada di tengah orang-orang yang memberi banyak kesempatan. Tapi kalau dilihat lagi, sebenarnya kesempatan itu adalah kesempatan yang sama yang dilihat orang-orang lain.

 

Sayangnya, justru terkadang kita sendiri yang membatasi diri terhadap kesempatan. Saat melihat kesempatan yang baik, sering merasa, bukan untuk saya, hanya untuk yang lebih hebat, mana bisa, mana sempat. Akhirnya, kesempatan yang terbuka untuk siapa saja itu menjadi bukan kesempatan kita. Padahal, jika dijalani, mungkin akan menghasilkan sesuatu yang baik. Atau jikapun ternyata memang bukan bagiannya, bisa saja melahirkan kesempatan-kesempatan lainnya.

 

Tentu saja, bukan berarti jika semua kesempatan diraup, produktivitas pasti lebih tinggi. Menentukan apa yang ingin diraih dalam beberapa waktu ke depan, sehingga bisa menyusun jadwal hidup akan membantu melihat kecocokan kesempatan. Jika kesempatan tambahan yang muncul bisa diselipkan tanpa mengganggu jadwal yang lain atau jika kesempatan ini memang sesuatu yang kita inginkan.

 

Seandainya seluruh manusia di Indonesia ini bisa melihat kesempatan sebagai miliknya lalu menjawabnya, bisa dibayangkan, betapa banyak hasil karya gemilang yang bisa dicapai dalam usia yang jauh lebih muda. Alangkah produktifnya jadinya bangsa ini.

 

Untuk mengetes, gue mengambil contoh sebuah kompetisi ide kreatif yang diselenggarakan di www.aksisemangat.com. Kompetisi ini adalah untuk merancang sebuah kampanye ‘Semangat Indonesia Produktif’. Entah untuk memotivasi orang-orang di sekitar kita, entah mengajak untuk kegiatan yang inspiratif, entah di online maupun di offline. Hadiahnya menggiurkan, totalnya 100 juta rupiah.

 

Kompetisi ini terbuka bagi siapa saja. Dan kegiatan inspiratif tersebar banyak di antara setiap orang. Kesempatan ini adalah untuk semua orang yang membaca blog ini. Sekarang ujiannya, berapa banyak yang setelah membaca pengumuman ini akan memanfaatkan kesempatan yang ada, mencari info syarat  dan ketentuan kompetisi lebih lanjut di http://www.aksisemangat.com/ atau follow @aksisemangat, dan FB fan page Aksi Semangat sebelum 19 Juni 2011?

 

Jangan bilang tidak kali ini. Jangan bilang hadiah total 100 juta itu bukan untuk loe. Karena ini adalah contoh kesempatan yang datang tanpa syarat dan hanya perlu diikuti. Tidak ada ruginya kalau ikut. Dijamin tidak bakal menjadi seperti punya 15 anak. J

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *