Sebuah perbincangan di sore yang indah di sebuah kafe
“Aku tuh sebenernya pingin tahu calon suamiku itu bisa apa enggak?”
“Memangnya nggak pernah dites?”
“Tapi aku nggak mau gitu lho sebelum nikah!”
“Ga perlu sampe gitu juga bisa kok, yang penting kamu tahu bisa apa enggak!”
“Emang bisa ya kalau ga sampe gitu? Caranya gimana tho? Kan aku juga mau tahu dia bisa lama apa enggak..”
Duduk bersisian dengan meja pendidikan seks itu, duduklah gue, yang pura-pura terganggu dan mendekatkan muka pada bingkai laptop. Padahal sebisa mungkin kuping gue panjangkan ke belakang, sambil menjaga raut muka tetap netral meski sedang menahan tawa dan rasa iba. Ini dia nih korban rendahnya tingkat pendidikan seks di masyarakat…
Gue sebenarnya kurang begitu mengasihani si Mbak. Dengan segera, si Mbak akan segera mengetahui cara ‘mengetes’ lelaki. Sedangkan gue, yang mungkin sudah unggul beberapa bab dalam segi pengetahuan umum, tetap tidak bisa menggunakan ilmu tersebut dalam waktu dekat.
Tapi keluguan si Mbak telah membawa gue memikirkan satu pertanyaan yang selalu menjadi perdebatan, seberapa banyak dan kapan seseorang harus mulai tahu tentang seks?
Banyak kalangan, mungkin termasuk orang tua si Mbak tidak mempercayai kegunaan pendidikan seks. Alasannya, daripada membawa kebaikan, pendidikan seks lebih sering menjerumuskan generasi muda ke dalam pergaulan bebas yang tidak sesuai kaidah agama.
Dengan mengenalkan seks secara resmi lewat jalur edukasi, anak-anak baru puber itu bisa jadi salah memahami tujuan. Dikira inilah bentuk pelegalan hubungan seks, yaitu selama aman, berarti boleh! Hal ini didukung oleh penelitian bahwa di negara-negara yang punya pendidikan seks lebih awal, maka semakin cepat pula rata-rata usia anak mudanya kehilangan keperjakaan.
Maka sebaiknya segala jalur yang memungkinkan pengenalan pada seks ditutup. Apalagi merestuinya sebagai sebuah kurikulum. Dengan begitu kita bisa menjaga kepolosan generasi muda. Dan kepolosan identik dengan keperawanan. Maka bisa menjaga keperawanan generasi muda.
Masalahnya, di era semacam ini, can we seriously stop the flow of information? Gue mengambil contoh diri gue sendiri. Keluarga gue pun bukan yang tipe bersama mendiskusikan seks. Di jaman gue puber, pendidikan seks diberikan secara ‘malu-malu’ dalam roadshow merk pembalut. Internet belum jaman, TV masih RCTI.
Tapi gue mendapat pendidikan seks pertama gue di usia as early as 4 tahun. Margie kecil yang baru belajar membaca begitu haus untuk mempraktekkan keahlian yang baru ia dapatkan. Segala sesuatu yang berjilid ia lahap, termasuk koleksi komik City Hunter yang tak sengaja ditinggalkan teman-teman kakak yang berusia 10 tahun lebih tua.
Informasi mengalir deras lewat media, teman-teman, lokasi dan toko dewasa dan dengar-dengar. Jalur informasi tidak bisa ditutup hanya spesifik masalah seks saja. Yang mau meregulasi internet berarti tidak memahami sifat internet.
Internet adalah medium yang bebas. Nyaris tidak mungkin untuk mengontrol aliran informasi di internet. Selalu ada celah kecil yang terbuka. Di Singapura saja yang sistem informasinya super cutatz tidak mampu 100% menghilangkan pornografi.
Jika mau memblokade seluruh informasi seks, maka seluruh jalur informasi harus ditutup. Dan ini juga bukan opsi yang menarik bagi gue. Satu, gue akan segera kehilangan pekerjaan karena gue bekerja di media online. Dua, gue juga akan semakin bawel dan merusak ketertiban karena kebiasaan ngomel via blog dimampetkan. Semua HANYA KARENA masalah seks.
Mereka yang punya pemikiran untuk mengorbankan karir gue, kesempatan menulis gue, dan segala hal positif di internet demi mencegah info seks tersebar diizinkan untuk pindah ke Abu Dhabi atau Cina. Yang memilih tinggal diminta untuk lebih bijak melihat informasi seks ini.
Daripada melihat korelasi positif antara pendidikan seks dan kehilangan keperjakaan, gue melihatnya sebagai dua hal yang terjadi secara berbeda. Dengan atau tanpa pendidikan seks, usia rata-rata anak muda kehilangan keperjakaan tetap akan semakin cepat, karena jamannya juga berubah.
Lagipula usia puber dialami semakin awal dengan makanan-makanan bersuntik hormon. Secara natural, mereka yang telah puber punya rasa penasaran tersendiri terhadap seksualitas. Maka secara otomatis, eksplorasi seksual akan lebih cepat dilakukan, sialnya dalam bentuk hubungan seks.
Sekarang pertanyaannya, mau dengan cara apakah keperjakaan itu dilepas? Dengan cara yang didengar-salah, tidak aman, tidak tepat waktunya, tidak sungguh-sungguh dikehendaki? Atau dengan pemahaman yang benar atas konsekuensi, cara yang aman, sukur-sukur malah nggak jadi dilepas?
Alibi berikutnya adalah, anak muda itu belum siap. Kami belum tahu mau diapakan banyaknya informasi yang diberikan. Lebih baik dibiarkan saja mereka tahu sendiri, mungkin malah lebih siap memahami, yaitu saat benar-benar butuh seperti si Mbak.
Saat gue tahu sendiri itu, umur gue 4 tahun. Margie kecil tidak punya ide sedikitpun tentang seks, tapi mukanya bersemu merah saat membaca. Ia punya feeling kalau komik ini bisa membuatnya malu. Maka diselipkannyalah setiap edisi City Hunter ke dalam buku Sepatu Merah. Sebuah buku yang hingga kini tak pernah ia ingat betul isinya.
Apakah gue siap saat pertama kali membaca City Hunter? Entah. tapi gue somehow bisa memahami isinya. Dan mengetahuinya jauh lebih awal dari kebanyakan gadis tidak mempengaruhi perkembangan hidup gue. Gue tidak jadi kemudian ketagihan seks dan tidak konsentrasi sekolah.
Mengenalnya dengan cara yang benar membuat gue punya pandangan yang sedikit lebih positif tentang seks. Sejak saat itu, Margie kecil melahap habis segala bacaan yang memberinya ide apa yang terjadi antara pria dan wanita. Ia membaca rubrik konsultasi psikologi & seks di Koran Kompas, buku-buku kedokteran dan biologi, serta majalah Matra.
Rubrik itu nampaknya memberi pengetahuan secara benar, karena gue tidak mengingat perkenalan pertama gue sebagai sesuatu yang jorok atau membawa pemikiran demi kesenangan semata-mata. It’s just something that humans do.
Kalaupun ada kecemasan, hanya orang tua yang khawatir Margie kecil pendiam dan tidak pernah muncul dengan pertanyaan seperti ‘darimana datangnya bayi?’ atau ‘mengapa harus punya papa kalau mau adik bayi?’. Padahal anak yang kritis cikal bakal anak cerdas. Mereka tidak tahu bahwa Margie kecil lebih cerdas lagi. Bukan cuma menanyakannya dalam hati, ia juga mencari jawabannya sendiri.
Sex is a natural thing. Ketimbang mencitrakannya sebagai hal yang tabu, yang mengerikan, yang bisa membuat belatung keluar dari hidung, bukankah lebih baik dicitrakan sebagai hal yang indah pada waktunya? Something that we need to cherish and not cursing?
Gue bukan ahli agama yang bisa menjelaskan seberapa banyak diskusi seks itu disebut dosa. Tapi seberapapun pengetahuan tentangnya dikekang, setiap manusia secara insting akan mengetahuinya juga.
Dan di saat mereka terpaksa tahu, jangan ketakutan dan rasa bersalah macamnya si Mbak yang terlihat, atau kehinaan yang terpaku pada sebuah aktivitas. Like it or not, we’ll know about it anyway. So why don’t we get the knowledge right?