Kenalan seorang teman punya wajah persis seperti Apriyani. Di hari Xenia maut beraksi, ibunya langsung interlokal dari luar kota.
“ Ngaku! Di mana loe,” ibunya menghardik
“Di rumah, Mak!” jawabnya polos
“Bohong! Loe lagi di Jakarta kan? Lagi di jalanan kan?”
“Enggak mak, sumpah! Emang kenapa sih?”
“Nih tetangga-tetangga pada dateng ke rumah! Dikira loe ditangkep polisi, nabrak 8 orang!”
Sang Apriyani KW merasa keki. Masa ibu sendiri, tetangga dan orang-orang terdekat bisa meyakini kalau dia pelaku aksi maut? Atau.. mungkin reaksi keluarga dan handai taulan ini adalah justru reaksi yang paling wajar? Karena nasib naas si Xenia sebenarnya dapat menimpa mobil banyak orang yang besar dan muda di Jakarta, tergantung dari tahun chiong-nya aja?
Siapa sih anak muda, yang tidak pernah melakukan kegiatan gila tanpa mikir yang akibatnya bisa menghancurkan masa depan yang tak terulang lagi itu? Apalagi di Jakarta yang everything is legal ini, siapa yang tidak pernah berusaha merusak hidup dengan substansi berbahaya, atau melakukan tindakan yang di luar norma kesusilaan tanpa mikir panjang
Mungkin dalam skala keseriusan yang berbeda, tapi gue merasa tentu saja ada beberapa hal yang pernah dilakukan, akan disebut amit-amit-jabang-bayi, oleh ibu muda yang tengah mengandung
Sheila Marcia pernah hamil di luar nikah, sama lelaki beda agama juga. Di usia yang mungkin terlalu muda untuk berpikir baik dan buruk, bisa dinikahin apa enggak. Oke, itu contoh ekstrim.
Di kasus lokal, ada masanya gue menyetir mobil lawan arah di Kuningan dan terheran-heran ketika ada mobil melaju dari arah sebalik gue. Mungkin sekarang satu jalur jadi dua arah, pikir gue, lalu mengambil jalur TERKIRI (dari perspektif gue) agar aman. Hanya faktor ‘luck’ yang membuat gue tidak berpapasan dengan mobil lain yang melaju pol-polan dari arah yang benar, yaitu di sisi paling KANAN jalan.
Under different circumstance, gue mungkin akan berada di balik jeruji selama 18 tahun, dihantui rasa bersalah seumur hidup dan kehilangan momen berharga gue hingga 40 tahun. Gue, tidak akan pernah lulus kuliah dari NTU, bekerja apalagi nulis blog.
Tapi berkat sedikit nasib baik, gue, dan sebagian orang yang juga pernah melakukan aksi tanpa banyak permenungan diberi kesempatan kedua. Diberi waktu cukup hingga agak gede sedikit dan mulai sok-sok bijaksana lalu mikir dua kali setiap kali mau naik jetkoster.
Kita semua berkembang menjadi manusia yang baik-baik saja, terlihat normal, tidak terlalu nakal dan menjadi fondasi masyarakat kelas menengah Indonesia. Dengan hanya melihat pas foto,, tentu tidak akan ada yang mempercayai gue bisa jadi supir mobil maut.
Gue tidak bermaksud membela siapa-siapa. No. No. Mana-mana, kalau mencelakai orang lain itu salah dan patut dipenjara, kecuali anak menteri, eh. But all I’m saying is, it could happen to normal people, people who are not inherently BAD, aren’t I afraid being judged the way these normal people were?
Sejak awal, kisah tabrakan maut itu selalu membuat gue merasa gak enak dengan pengadilan social yang terjadi. Caci maki sampai bercandaan mengalir deras tuntutan penjara dibuat maksimal Semua tiba-tiba lulus S1 Hukum dan bisa jadi hakim buat orang lain yang ditontonnya.
Media dan penontonnya membuat satu kisah menjadi hitam dan putih. Benar dan salah. Apriyani itu salah (ini gue tetep setuju). Dan yang bener? Penonton dong.. penonton kan nggak ngebut-ngebutan. Korbannya? Tanpa sadar gue bahkan teralihkan dari korbannya. Gue nggak inget namanya, tinggal di mana. Gue tidak serius berempati kepada para korban, tidak sebanyak gue sibuk menghakimi yang salah
Semua dibuat tanpa sekalipun gue diajak berpikir gimana kalau gue ada dalam keadaan yang dibuat hitam itu? Oh ya tentu ga bisa dong, kan gue nggak ngebut-ngebutan, gimana jadi hitam… Gue seolah dibikin lupa bahwa untuk ngebut-lalu-nabrak-lalu-fatal, tidak perlu selalu harus narkoba dan mabok-mabokan dulu.
Cara mengadili yang sama terjadi, kita ada kisah mobil maut yang lain. Seperti kasus Xenia maut, gue juga sepaham dengan sebagian besar jika bukan semua orang kecuali keluarga sendiri. Yang nabrak salah, dan hukumannya ga adil
Gue memang bukan orang melek hukum tapi itung-itungan gue sederhana saja. Kasus A, menewaskan 8 orang, tuntutan 18 tahun penjara. Berarti setiap nyawa nilainya sekitar 2,25 tahun. Dianggap di kasus A pelakunya juga narkoba, jadinya mungkin sekitar 2 tahun. Jika Kasus B menewaskan 2 orang, maka tuntutannya minimal adalah 4 tahun penjara. Kok jadi nggak dipenjara?
Tapi sebanyak gue protes, gue juga dengan berat hati, mengerti gimana perasaan orang tua tentang anak kesayangannya dipenjara. Orang tua mana yang tidak berharap dirinya adalah seorang menteri sehingga bisa membantu anaknya yang ngantuk agar tidak dipenjara?
Tentu saja sebagai seorang negarawan, seseorang diharapkan dapat bertindak lebih penuh pengorbanan, mengutamakan nusa dan bangsa di atas kepentingan keluarga. Tapi jika kita ngomong soal manusia ke manusia, bapak mana yang tega?
Back again, gue tidak mau membela para supir maut. Buat gue kasus semacam ini penting guna memberi efek jera bagi anak cucu gue yang suatu hari menginjak masa remaja, agar setidaknya mikir sebelum bertindak, kecuali bapaknya menteri.
Gue hanya berharap konsumen media, termasuk gue, tidak selalu melahap tontonan kami seperti telenovela, ada Maria Mercedes yang malang, dan ada Soraya yang jahat. Lalu gue, karena merasa tidak sejahat Soraya, lalu menganggap diri gue Maria Mercedesnya.
Karena seperti apa yang sudah terlalu sering terbuktikan, merasa diri benar dan melakukan sesuatu atas panji panji kebenaran, malah sering menjadikan orang kebablasan lalu bawa bambu runcing. Lebih baik jadi antagonis karena bisa berkesempatan merenung dan memperbaiki diri.
Ngomong-ngomong soal Apriyani KW, jangan coba minta fotonya ya.. Tampangnya sudah beda, rambutnya sudah dikribo!