Face it. Gue Cina. Gemar berhitung dan menabung. Gue sering bertanya-tanya apakah jika gue dilahirkan sebagai manusia dari ras lain gue tidak akan menjadi pelit. Gue tak tahu jawabannya, gue rasa gue memang perhitungan dari bayi, tak peduli dari suku mana gue berasal.
Ketika mengeluarkan uang (kecuali untuk baju dan alkohol) gue gemar bertanya dalam hati, sungguhkah gue memerlukan hal ini? Lalu, akankah jumlah uang yang dikeluarkan sebanding dengan kepuasan yang didapatkan? Dan yang terakhir, dapatkah gue mendapatkan kepuasan yang sama dengan harga lebih murah atau lebih baik lagi, gretong?
Banyak pengeluaran yang tidak lolos proses berpikir tersebut. Konser musik, pastinya. Bagaimana tidak, biasanya ketika diajak nonton konser, respon pertama gue adalah: “Emang berapa duit yang paling murah?”
Tahap berikutnya, gue akan menimbang dengan biaya yang dikeluarkan dan gedung yang dipakai, akankah gue bisa melihat sang bintang secara jelas. Sekalipun jawabannya IYA, gue berdoa dalam hati supaya karena kondisi ini dan itu, konsernya dibatalkan. Lalu gue akan mendapatkan uang kembali plus voucher AXIS, malah untung! YESSS…
Lalu..datanglah Jamiroquai. Sesosok yang sangat ingin gue tonton.
“Gue pengen nonton Jamiroquai niii..gimana caranya dooong?”
“Tiketnya paling murah 750 rebong, gy, gimana dong?”
Aduh..gimana yah…harga segitu, melawan prinsip ekonomi nih…Mulailah dengan segala cara gue menyelidiki semua opsi gratisan: pura-pura meliput, jadi volunteer, ikut kuis…Gagal. Kalau gitu…paket buy one get one, diskon 15%…tetep mahal!
Waktu terus berlalu dan nampaknya gue semakin dekat pada keputusan TIDAK MENONTON. Gue berusaha menghidupkan kekikiran dalam diri dengan menancapkan bayangan Jason Mraz yang cuma terlihat dari layar proyektor pas Java Jazz. Kalau beli tiket yang paling murah, ga bakal keliatan orangnya…rugi…Lagian keliatanpun, apa pedulinya Jay Kay sama gue, dia juga ga kenal gue tuh, ngapain gue keluar duit buat orang yang ga peduli sama gue, ya nggak?
Tapi semakin gue merasionalkan hal itu, semakin pilu gue melihat iklan konser digantung dimana-mana. Tiap kali, gue seperti mendengar musik Jay Kay diputar dari radio Prambors yang mengisi masa SD gue. Kakak gue saat itu sudah ABG dan melihat mereka tumbuh diiringi musik Jamiroquai membuat gue pingin cepet gede. Dengan daya khayal yang berlebih, gue sering mencita-citakan bagaimana masa ABG gue nantinya, bahkan juga musik apa yang bakal gue suka nantinya.
Musik yang terngiang di telinga gue kemudian berubah, jadi lagu Jamiroquai yang mengisi kaset-kaset bajakan dan tangga lagu request ketika tiba giliran gue jadi ABG. Sepintas terlihat tumpukan topi-topi aneh, termasuk yang lebar dan berbentuk miring, yang secara sia-sia menyesaki kamar gue.
Dan tentunya…tadaaaa…wajah para mantan satu per satu, yang secara kebetulan dan aneh kebanyakan menyukai Jamiroquai. Jangan tanya kenapa. Pengalaman sepet dan pait, tapi juga telah mewarnai sebagian besar hari-hari gue. Secara lebay gue berpikir, apa jadinya hidup gue tanpa Bang Jami…
Mungkin gue perlu menggunakan takaran lain ketika menakar ‘kepuasan yang didapatkan’. Mungkin gue harus menghitungnya ‘kepuasan’ tersebut sejak gue pertama kali mendengar Jamiroquai di usia 13 tahun. Dan aksi menonton konser, lebih sebagai bentuk apresiasi gue terhadap sesuatu yang berperan terhadap hidup gue.
Gak masalah gue cuma bisa liat ujung topinya Jay Kay. Bukan visi secara fisik yang penting, tapi apa yang fisik itu wakili. Bahkan ujung topi itu telah merepresentasikan sebagian hidup gue, serta kenangan dan peristiwa konyol di dalamnya. Act of attending a concert isn’t so much about the performer, it’s more about me.
Juga ga masalah Jay Kay ga nyadar gue ada disitu. Yang penting adalah gue tahu gue hadir disitu, bahwa gue telah memberikan atribusi pada dedikasi tinggi bermusik yang bisa gue nikmati. Macamnya beli DVD asli Sex and the City. Tentunya satu DVD tak akan membuat penulis skenario tambah kaya, tapi itu memberi gue rasa positif bahwa gue menghargai karya mereka.
Gue teringat seorang teman yang bela-belain naik bus selama 5 jam ke Kuala Lumpur sepulang kerja di tanggal tua hanya untuk menonton konser penyanyi favoritnya, Erykah Badu. Alasannya, Erykah sudah mengisi hari-hari dimana dia kesepian, sudah menghiburnya saat lagi down, apa sih susahnya ke KL, begitu katanya. Erykah mungkin tak melakukan usaha khusus untuk temen gue, tapi dia telah melakukan usaha yang sangat besar sehingga sampai ke teman gue.
Gue juga tiba-tiba terbayang wajahnya Miranda Goeltom ketika mendengarkan konser Diane Reeves. Matanya terpejam sambil tersenyum menikmati nada-nada yang mengalun, seolah tak peduli Mbak Diane yang sekarang berbobot 2x yang di poster…Pastilah nada-nada yang sama pernah mengisi hidup beliau secara signifikan, sampai gue dibentak karena grasa-grusu saat ngambil potret Mbak Diane…
Maka, demi diri gue sendiri, gue memutuskan untuk membeli tiket Jamiroquai. Ohh…Leluhurku pasti kecewa padaku...Tapi engga kok, kalau kata facebook group, gue pasti bisa lihat Jay Kay, soalnya ruangan di Sentul itu berbeda, jadi gue tetep untung! *menghibur diri* Dan di saat gue telah mengambil keputusan untuk membeli tiket, seperti durian jatuh di siang bolong, dua hari sebelum konser, gue mendapat…GRETONGAN!! Horrayy!! Rezeki emang ga kemana! 😀 Ternyata Leluhur gue merestui keputusan gue nonton konser…
Ps: tapi gue sendirian nih nontonnya! Temenin gue kek!hehehehe…tiketnya masih ada tuu disini..