Siapa loe?

Mulai minggu ini saya, Margareta Astaman akan menjadi guest blogger untuk blog milik Kompas, Kompasiana. Reaksi pembaca setelah sebaris kalimat barusan adalah: Siape loe?

Gue juga bertanya hal yang sama ketika menerima account blog baru tersebut. Gue tuh siapa sih, sambil berusaha menyusun kolom kecil berjudul ‘About’ di bagian atas. Gue yakin para tamu lain tidak ada yang kesulitan menyusun resume: Wakil presiden. Dokter terkenal. Blogger senior. Fotografer kenamaan. Politikus dan artis.

Sedangkan gue, identitasnya selalu diawali dengan kata BUKAN: Bukan artis, bukan fotografer professional, bukan dokter, bukan politikus…

Ini bukan pertama kalinya kesombongan gue menjerumuskan diri ke dalam golongan yang tak selayaknya gue menjadi anggota. Sebuah bagian resume yang jarang gue sebut adalah, pernah menjadi jurnalis dan editor untuk sebuah majalah rohani berskala nasional…Habisnya malu… tiap kali gue mengakuinya, pasti banyak yang jadi ketawa.

Gue bukanlah tipe Putri Sakristi. Tidak hafal kitab suci maupun lagu rohani. Gue cuma pernah ikut Sekolah Minggu satu hari Minggu, itupun karena diiming-imingi bingkisan Natal dari Gereja. Ketika mengaku dosa sibuk menganalisa panjang antrean dan sifat pastor supaya bisa cepat pulang. Ketika ada perdebatan Da Vinci Code yang menyatakan bahwa dalam lukisan Perjamuan Terakhir itu ada 13 murid, gue bertanya, “Emang jumlah murid Yesus berapa sih?”

Dan akibat kesombongan gue mengklaim jadi wakil kaum muda harapan Gereja yang sayangnya, bentuknya mayoritas seperti gue, tercemplunglah gue dalam situasi awkward beredar di Katedral, mewawancarai Ayu Utami tentang pergerakan jurnalisme Katolik, menulis kolom utama dan dibahas dalam khotbah para Pastor….

Kini, sekali lagi, gue harus membayar kesombongan gue. Kalau gue rendah hati, sudah bakal dari jauh-jauh hari menolak karena merasa tak layak bergaya bak penulis professional dan kini tak perlu memikirkan apa yang bisa disandingkan dengan tulisan para ‘ahli’ itu. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Janji adalah janji.

Tapi sekali lagi, karena sombong itulah gue sanggup menebalkan muka dan memenuhi janji. Gue yakin gue mewakili satu golongan yang merupakan kaum dan profesi yang paling penting. Kaum yang membuat roda perekonomian dan roda yang lain terus berputar. Yaitu kaum…kamu.

Yap, kalian yang iseng-iseng mau melihat apa sih yang ditulis orang-orang. Gue yang hobby utak atik blog karena sedang tidak terlalu sibuk menyelamatkan dunia. Gue dan kalian, (jangan tersinggung jika bukan, kan mayoritas, bukan semua…) yang tidak terlahir sebagai putra raja, atau istrinya putra raja atau rajanya. Gue yang terjebak dalam kehidupan serba biasa dengan segala rutinitasnya yang membosankan.

Gue sombong, bahwa hidup ga penting gue ini tetap penting. Dari setiap remeh kekurangsignifikansnya hidup ini tetap ada sesuatu yang bisa disoroti, dipahami dan dimakna. Bahwa jika gue tidak bisa belajar dari hal kecil ini, gue gak bakal dikasi hal besar untuk belajar. Lha yang kecil aja belom lulus!

Hidup macamnya buku cerita ukuran A0. Dalam tiap fase hidup, ada banyak drama yang terjadi. Tidak ada hidup seseorang yang begitu membosankannya sehingga habis dirangkum dalam sebuah buku. Hidup akan selalu memberikan inspirasi yang berbeda-beda, karena meski dalam satu pribadi, gue mengambil peran yang berbeda di tiap drama hidup.

Di satu fase, gue adalah remaja, dengan permasalahan percintaannya. Di masa yang sama, gue menjalani peran sebagai anak, dengan problematika keluarga. Sesaat kemudian dilematika politik kantor adalah yang paling menyerap perhatian. Dari tiga fase itu, sudah bisa dituangkan 3 buku, 3 album kompilasi atau 3 pagelaran busana.

Dan coba tebak…ternyata yang lahir sebagai manusia biasa itu jumlahnya lebih banyak daripada yang lahir jadi tenar. Pengalaman sebagai orang biasa akan beresonansi pada lebih banyak orang. Dan karena itu, Anda, yang lagi baca, dan tidak lagi menulis, adalah dari golongan yang lebih penting. Termasuk gue.

Berbekal kesombongan inilah gue akan menge-post tulisan pertama di lahan orang itu.  Sudah ada perwakilan berbagai profesi dan golongan di situ. Kalau mereka yang mengisi beberapa persen di dunia ini punya representative, sudah waktunya kita si manusia biasa bersuara. Yah, seengga-engga gue bersuara, memanfaatkan bandwidth…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *