Sirik Muncul, Dukun Bertindak

Siapaaa tuuu DIA!! Berani-beraninya! Gue cari tau! GUE CARI SAMPE KETEMU! Emang dia pikir dia siapa!! Demikian sebuah pesan dari mantan seorang teman muncul di layar.

“FYI yah, bentar lagi, loe bakal di-stalk sama dia di mana-mana. Dia pasti bakal nge-google nama loe, terus abis itu dia bakal cari tau social media loe.. terus dia bakal muncul dalam idup loe.” sang teman memberi preambule.

“Aduh, bro! Bilangin deh, nggak usah nyari-nyari gue di internet, bener deh!”

“Lah, loe aja yang bilangin, gue males banget ngomong ma die lagi!”

“Lah, gue urusan ape! Pernah ketemu juga kagak! Tapi beneran brooo.. gue tuh uda pernah disantet! Pokoknya bilangin, kalau dia mau nyari gue, DO NOT GOOGLE my name!”

Tentu saja, seperti sebuah kotak Pandora, pernyataan gue itu malah dilakukan sebaliknya. Dan dalam waktu cukup singkat, terjadilah histeria yang tadinya ingin gue hindari itu.

 

Ohhh ituuu orangnyaa!! Pantesan ya! Dia pikir dengan begitu dia bisa seenak-enaknya! Sedangkan aku…aku cumaa…blahblahblahblah

 

Gue menghela nafas panjang. Gue tidak basa-basi pada saat meminta tidak meriset via internet. Gue sungguh-sungguh. Karena gue tahu apa yang akan dibawa oleh kegiatan tersebut.

 

The mother of all evil. Yang membuat Kain membunuh Habel. Yang berada di tingkat teratas tujuh dosa utama. Yang bisa melahirkan kejahatan-kejahatan tingkat tinggi lainnya, seperti santet, bunuh-bunuhan, bantai-bantaian. Rasa Sirik.

Bukan karena profil gue segitunya meski memang harus gue akui yang ada di Google lebih baik daripada yang sebenarnya. Tetapi karena bentuk kegiatan tersebut, membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, siapapun dia, adalah sebuah kegiatan MENCARI PENYAKIT.

 

Gue nggak habis pikir. Seseorang bisa saja mengetahui tentang gue, mengenye muka gue yang nggak seberapanya dibandingkan wajahnya lalu menaruh rasa iba, ih, ditinggal gue cuma dapet yang kayak gitu aja. Ya iyalah sama cewe kayak Margie, masa kayak GUE? Lalu beliau move on, dapet cowo ganteng kaya raya, tinggal di rumah mewah dan lupa dengan gue sama sekali.

 

Tapi tentu saja tidak demikian. Mereka mencari jalan yang lebih berliku. Mereka ngulik. Membandingkan. Mencari kelemahan. Padahal, selalu ada risiko kalah ketika bersaing, dengan lawan yang paling cemen sekalipun.

 

Kenapa nggak memilih untuk selalu menang saja?

 

Apapun yang dipicu rasa sirik ini selalu membuat kalah. Yang dibandingkan pasti terlihat lebih baik. Gue dan Oknum R sering heran dengan para saingan yang dengan rasa iri berlebih mengirim berbagai gulungan gaib guna mencelakakan kami.

 

“Kita tuh apanya yang disirikin sih? Tabungan prusahaan udah kayak koprasi simpan pinjam, masuk 10 keluar 11,” keluh Oknum R. Sedangkan saingan, adalah perusahaan yang sudah puluhan tahun bergelut di bidang itu dan tidak tergoyahkan. Klien kami pun berbeda, dan daerah tujuan juga berbeda.

 

Padahal, you can only lose if you join a competition. Bukan berarti menghindari persaingan bisnis atau merebutkan trofi lelaki mana gitu, melainkan dengan menghindari momen harus membandingkan diri dengan orang lain.

 

Jika ngintip rekening tetangga bakal membuat sewot, then don’t do it! Jika melihat foto-foto liburan di Maladewa bikin kesel, then don’t see it!  Jika ngecek jejaring sosial bikin nangis, then block it! Ibaratnya, jika sirik ini sifat setan, then, do not feed the devil! Jangan menyerah pada rasa penasaran yang membuka jalan pada siti sirik untuk beraksi!

 

Para pesaing bisnis ternyata sirik karena membandingkan awal usaha kami yang menurut mereka lebih mudah. Bisa dapet barang dengan mudah dan didukung penuh para uda. Sedangkan mereka, di awal-awal pernah bangkrut dengan kesadisan ‘dagang’ penduduk setempat.

 

Mereka juga membandingkan buyer. Katanya, klien gue manis, meski barangnya dijampe-jampe saingan, tetap pesen lagi. Sedangkan mereka sering dimaki bosnya. Gue ditraktir kontainer. Sedangkan mereka, untung rugi harus bayar. Terus, salah gue? Salah temen-temen gue?

 

Gue pun bisa berfokus pada hal-hal yang membuat gue mengasihani diri sendiri. Mulai usaha modal minim. Nggak ada perusahaan turunan keluarga. Ditinggal kawin. *untuk alasan ini mereka berkata, bu, sudahlah, sering kali dipakai alasan itu untuk nurunin harga di Padang! Dan gue akan merasa dunia ini tidak adil, perusahaan lama tidak memberi kesempatan generasi muda tunas bangsa.

 

Tapi bukankah itu macamnya lomba lari sama cheetah di hutan. Cheetahnya lari ngejer makanan. Kitanya sok-sokan ngadu. Beda insentif. Jelas kalah. Mengapa tidak memilih untuk berfokus dengan diri sendiri dan bukan pada orang lain?

 

Karena jika gue selalu memikirkan sesuatu yang bukan milik gue, dan merasa seharusnya jadi milik, gue tidak akan pernah puas. Gue akan berusaha merebut. Gue mungkin bakal pake dukun seperti para saingan.

 

Gue tidak tahu apakah metode itu tepat. Gue memang selalu ditradisikan untuk menikmati apa yang ada di mata. Gue berasal dari sebuah keluarga Betawi. Suku yang terkenal menjual beberapa bagian dari tanahnya ketika akan ngawinin anak, beli motor BMW seri terbaru dan beli mobil, hingga habis dan pindah ke pinggiran Jakarta. Dan seperti keluarga Betawi lainnya, kami suka mengenang kejayaan banyak tanah itu.

 

Dulu.. Engkong lu.. Tanahnye se-Tenabang punye die semua! Dari jembatan situ ampe Pasar Kambing! Tentu saja tanah itu sudah nggak ada sisanya seujung-ujungnya acan.

 

Di momen tetangga kami menjual tanah terakhirnya, gue sempat memprotes seandainya tanah-tanah itu tidak dijual, coba bayangkan berapa banyaknya uang yang bisa didapatkan! Semeternya sekarang tujuh belas juta! Sedangkan motor BMW itu? Sudah remuk redam habis tabrakan.

 

Nenek dan Mamih mendengarkan hitung-hitungan gue dengan santai.

“Terus, sekarang duitnya yang triliunan itu di mane?”
“Ya kagak ada!” gue memprotes frustrasi.

“Pernah ada nggak?”

“Ya kagak!”

 

Lalu nenek dan mamih tertawa kecil sambil tersenyum santai, “Yaa… duit yang kagak pernah ada kagak usah dipikirin!”

 

Demikian cara hidup yang gue tahu. Segala sesuatu yang tidak pernah menjadi milik gue, berarti ya.. memang bukan milik gue. Gue tidak tahu, jika gue akan menjadi orang yang lebih kaya dan sukses jika gue diajarkan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Mungkin dengan merasa sirik gue jadi memacu diri.

 

Tapi yang jelas, seperti yang gue rasakan, dengan bersyukur dengan apa yang ada di tangan, gue jelas lebih bahagia. Dan dengan begitu, gue akan selalu menang. Kecuali tentunya, kalau gue harus hidup repot menangkis santet, sumpah dan kehilangan beberapa orang teman lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *