Siti Nurbaya Vs Malin Kundang

Seorang teman telah bertahun-tahun mencintai seorang pria. Seluruh perhatian dan kasihnya hanya untuk sang kekasih. Sayang, takdir berkata lain. Orang tua sang teman tak merestui hubungan mereka karena perbedaan latar belakang. Dengan berat hati sang teman harus rela berpisah dengan pujaan hati. Ia  begitu menderita atas perpisahan ini. Tak mampu ia mencari pengganti. Setelah berbulan-bulan, akhirnya pria lain datang menghampiri. Pria yang bisa membantunya melupakan kekasih lamanya. Dibawanyalah pria yang latar belakangnya sama dengan pria pertama ke hadapan orang tua.

 

Dan sang orang tua berkata, “daripada yang sekarang, masih mending yang dulu, deh…” Temanku rasanya mau pingsan.

 

Yang bener aja? Masa disuruh balik lagi? Dulu ngotot sampe mati nggak dikasih, lha sekarang?! Terus apa gunanya dong banjir air mata dan ruam kulit karena setres itu? Mendengar kisahnya, gue tertawa terbahak-bahak sambil berkata DUDE! I FEEL YOUR PAIN!!

 

Sungguhlah Tuhan itu paling suka becanda. Rencana-Nya suka tak terduga. Mengapa urusan perjodohan tidak dibuat secara lebih sederhana dan sistematis? Sudah tahu gue Katolik, Tuhan selalu mengirimkan lelaki beda agama buatku. Selalu. Sejak aku umur 16,  mungkin sekali dua kali Ia berbaik hati pada orang tuaku.

 

Sungguh. Beneran. Bahkan dengan situasi yang kurang menguntungkan itu, gue dan teman gue tetaplah berusaha untuk menghindari kedurhakaan. Kami anak yang baik, berbakti dan tidak lupa kacang pada kulitnya. Setiap kali gue berdoa, yang memang tidak sering, selalu ada permohonan: Tuhan kirimkanlah lelaki untukku. Lelaki yang bisa kunikahi tanpa meningkatkan kadar kolesterol, darah tinggi, dan risiko stroke orang tuaku.  Aku janji ga main-main lagi, janji!

 

Gue juga sudah mengubah selera. Sudah tak tertarik lagi dengan kulit sawo matang yang terkesan macho. Mata sipit? Boleh lah, Richard Gere juga sipit. Mencari pergaulan se-glodok mungkin. Pantang makan masakan dari daerah tertentu, karena kata orang, ada risiko dari perut turun ke hati. Diharapkan dengan pergaulan yang tepat, gue akan menjaring tokoh yang tepat pula.

 

Hanya kadang, berkulit putih bermata sipit, juga merupakan karakteristik suku yang terkenal kental adat agama, yang di beberapa daerah masih berperang salib dengan agama gue..

 

Kata teman, gue dihukum Tuhan karena dulu pernah mempermainkan lelaki dari daerah tersebut. Loe akan diberi 10 cowo *A**N*. Saat gue bilang, sudah lewat 10, ia menjawab, Oohh, klo gitu hukuman loe diperpanjang gy…

 

Menghibur diri, gue berusaha meyakinkan bahwa Tuhan tidak suka menghukum. Dia cuma suka becanda aja…pada objek-objek ciptaan-Nya yang dibuat dengan selera humor berlebih, seperti gue dan beberapa orang teman gue. Maka gue tertawa saja setiap kali Tuhan sedang mengirimkan gurauannya ke muka bumi. Ha.ha.ha.

 

Sangking berusaha untuk berbakti, gue tidak pernah keberatan jika orang tua mencari jodoh yang disuka untuk kami. Namun ternyata itupun kurang sesuai dengan kehendak mereka. Seperti kata orang tua sang teman, “jangan gitu dong, kamu juga harus nyari, tapi nyarinya yang bener…”

 

Jawaban ini semakin melemahkan mental anak juara kami. Tentu saja kami mau berjodoh dengan lelaki tampan seiman setia pemilik perusahaan itu! Tapi mungkin justru kaum ini tak merasa selevel dengan kami. Jika dipaksakan, mungkin kaum inilah yang jadi durhaka karena orang tuanya tidak setuju atas pilihan anaknya (yaitu: kami).

 

Dan di tengah keadaan ini, setiap saat selalu timbul godaan untuk membangkang menyalahkan keadaan, keluarga dan siapa saja kecuali diri sendiri  dan serta timbul keinginan untuk…well..menjadi durhaka.

 

Jika gue anak angkatan Siti Nurbaya, tentunya keinginan tak akan muncul. Anak adalah milik orang tua. Mungkin tak akan terlintas di pikiran gue untuk sekalipun membangkang orang tua, apalagi dalam hal menikah. Lagipula jaman itu kita tak perlu mencari jodoh sendiri. Dan karena semua dijodohkan, tentu tidak ada siti sirik pembanding hati.

 

Tapi terlahirlah gue di jaman modern. Dimana nilai individualisme makin kenceng dan nilai kekeluargaan semakin luntur. Yang diberi judul keluarga makin lama makin kecil anggotanya. Di dalam keluarga-pun, ke-aku-an semakin kentara. Setiap anggota keluarga punya sifat dan pendirian sendiri yang harus diperhitungkan. Pemaksaan kehendak dan kekerasan dilarang berdasarkan undang-undang.

 

Di negara dimana gue berkuliah, mulai banyak yang memanggil nama pada orang tua sendiri. Di usia tertentu mereka keluar rumah dan bebas menentukan jurusan universitas sesuai minat dan bakat. Anak punya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri.

 

Dan sebagai anak yang mudah terseret modernisasi, gue pun mengikuti semangat ini. Bertanya mengapa, jika gue yang menjalani hidup, harus ibu bapakku yang menentukan bagaimana gue menjadi bahagia? Mengapa ibu bapakku boleh menyuarakan keberatan pada pilihan gue, ketika yang menikah itu gue, bukan orang tua?

 

Di tambah lagi alasannya hanya karena perbedaan latar belakang. Di jaman globalisasi sekarang ini, pengkotak-kotakan berdasarkan agama dan suku terasa sooo last year. Secara rasional, apa jaminan pernikahan seiman akan lebih langgeng? Dan mengapa harus keberatan dengan percampuran ras? Nggak masuk akal!

 

Lagian, gue tidak tinggal di Sumatera Barat. Juga rumah gue jauh dari pantai. Jadi kemungkinan gue dikutuk jadi batu di pantai Padang macam Malinkundang seperti yang selalu diceritakan sebagai peringatan/ancaman bisa dibilang, cukup kecil.

 

Dan di tengah semangat kedurhakaan, gue dan teman gue yang nyaris pingsan tadi menganjurkan setiap orang tua agar melarang dengan bertanggung jawab dan penuh perasan, karena kami tidak akan bernasib untuk menjadi pembangkang jika tidak dilahirkan sedemikian.

 

Katanya, manusia tertarik satu sama lain karena sifat yang menempel pada pribadi seseorang. Jika selama ini kami selalu menarik lawan jenis yang ‘salah,’ berarti ada yang salah pada sifat kami. Padahal, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Sifat yang menempel pada diri kami sekarang, adalah hasil perpaduan gen orang tua. Keluarga juga punya andil besar membentuk karakter dan selera setiap anak.

 

Berarti…sungguh tidak adil jika para orang tua menyalahkan sifat dan selera yang membuat kami gagal memilih jodoh yang benar. Ini bukan salah si anak malang 100%. Adalah juga tanggung jawab orang tua yang menurunkan dan membentuk sifat yang ternyata fatal attraction itu!

 

Saat sedang berdiskusi, tiba-tiba kami merasa sendi-sendi kami menjadi agak kaku.

“Coba loe liat! Warna kulit loe uda hitam keabuan belum?”
“Iye! Salah-salah loe ntar chatting sama batu!”

Maka perbincangan dua anak durhaka itu terpaksa dihentikan. Semoga saja Tuhan segera capek ketawa, dan mulai serius dengan rencana hidup gue. Kalau gue terpaksa menjadi batu, itu tidak akan lucu lagi buat gue dan keluarga…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *