Pernah mendengar penyakit ‘alergi udara’?
Gue pernah. Atau tepatnya, gue pernah mengalaminya sendiri. Sesaat setelah kembali ke Singapur dari liburan di Jakarta, sekujur tangan dan kaki gue gatal-gatal. Bentol kecil-kecil ini semakin parah ketika gue pergi ke kampus dan hilang saat baru bangun tidur.
Gue menganggapnya sebagai tanda stress karena ketidakbahagiaan hidup si Singapura. Tapi bentol ini tetap muncul saat gue sedang belanja dan malah hilang saat sedang mengurung diri di kamar ngerjain tugas. Anehnya lagi, rasa gatal bisa menyebar ke bagian pinggang dan perut saat lagi pake baju ngatung.
Setelah seminggu diregayangi penyakit kulit aneh ini, gue akhirnya ke klinik kampus dan divonis: gue mengidap alergi udara. Saat gue bilang gue tidak pernah mengalaminya pas di Indo, dokter menjelaskan lagi, gue alergi udara Singapura.
Gue harus mengurangi kontak dengan udara luar dengan cara menutup jendela kamar hingga tak ada udara luar yang masuk, mengurangi bepergian keluar, atau kalau memang terpaksa, menggunakan baju serba tertutup, jarang pulang ke Jakarta, sampai tubuh gue bisa beradaptasi dengan udara Singapura.
Jika ada hikmah yang bisa diambil, gue berhasil mengungkapkan betapa gue membenci Singapura. Kulit gue saja berontak di negeri Singa. Tidak berlebihan jika gue mengatakan: I’m allergic to Singapore.
Gue benci Singapura. Gue benci akomodasi sempit berharga selangit. Benci setiap surat peringatan plus denda dari Ministry of Foreign Affairs yang membatasi tiap kebebasan berpendapat. Benci guru dan murid dan kolega dan pembersih dan tukang jual makanan dan supir taksi yang jutek berat. Benci cowo-cowonya yang jelek dan ga jantan. Benci semuanya.
Setelah bebas setahun lalu, tidak pernah terpikir gue akan berkata dengan penuh kesadaran: “I’m coming back to Singapore”.
But i did say that.
Perusahaan menyebutnya ‘promotion’. Gaji dilipatgandakan, Permanent Residency diurus, tanggung jawab lebih luas, ada kesempatan menuju jenjang karier yang lebih tinggi karena gue berada di head quarter South East Asia. Keamanan kerja lebih terjamin.
Jika ‘promosi’ ini dilewatkan, berarti kehilangan, bukan cuma kesempatannya, tapi juga pekerjaannya. Banyak orang memberi ucapan Selamat dan Sukses; berapa orang yang ingin jadi staff regional? Tapi gue tak bisa berhenti menangis saat menyampaikan lima kata itu pada orang tua gue.
Bokap gue menanggapinya ringan.
“Ya udah, berhenti aja.”
“Hah? Terus hidup sehari-hari pakai apa? Mana jarang nabung, mana… “
“Jangan takut miskin, takutlah untuk tidak merasa bahagia.” Bokap tetap santai.
“Tapi kalau ga dapet kerja lagi selamanya gimana? Jaman krisis gini siapa yang tahu?”
“Kamu percaya ga sama diri sendiri? Percaya ga bahwa kamu punya kemampuan? Kalau kamu percaya, lakukan apa yang kamu suka dan kamu mampu, bahkan jika sekarang kamu melakukannya tanpa bayaran, suatu hari nanti kamu PASTI berhasil. Anak muda kok takut miskin…”
Gue berhenti nangis. Bokap gue? Yang mengabdikan dirinya pada sebuah perusahaan selama puluhan tahun? Yang menganjurkan gue bergabung dengan perusahaan multinasional dan menolak pekerjaan jurnalisme idealis? Justru menganjurkan gue jadi pengangguran anti kemapanan?!
Tiba-tiba keputusan pindah ke Singapura tidak terdengar sebaik itu bagi gue. Inilah keputusan yang dilandasi ketakutan. Karena gue takut kehilangan pekerjaan, karena gue takut tak punya penghasilan saat bokap pensiun, karena gue takut karir mandek. Pendeknya, karena takut miskin. Tapi tak terpikirkan, dalam usaha gue mencegah kemiskinan yang belum pasti terjadi, gue sudah pasti mengorbankan perasaan gue sendiri.
Gue teringat saat dalam sebuah kelas, 20 calon jurnalis Singapura yang semuanya telah punya pengalaman menulis di media internasional disurvey tentang bagaimana bayangan mereka terhadap dunia kerja.
Sebagian besar merasa punya mimpi dan potensi jadi jurnalis kenamaan, namun memutuskan untuk tidak akan pernah mengejar cita-cita itu atas nama realita dan harapan orang tua. Mereka tak akan bahagia dengan pilihan hidup mereka, tapi mereka harus realistis, mencari pekerjaan yang paling menguntungkan secara ekonomi.
Sebagian besar akan mengkompromi kode etik, mengorbankan pembaca, menulis advertorial membosankan tentang produk fitnes jika diminta oleh perusahaan, karena takut kehilangan pekerjaan dan tak mampu mendapatkan yang lebih baik.
Profesor gue menjerit frustasi saat itu. Bagaimana mungkin orang-orang semuda kami, dengan potensi seluas itu, bisa punya ketakutan sebesar itu. Jika bukan kalian yang menjadi idealis, mengejar mimpi dan membela yang benar, lalu siapa? Dan jika tidak sekarang, saat masih muda belia tanpa beban, lalu kapan? Apa yang salah dalam sistem? Tanyanya sedih.
Sebagai anggota si ‘sebagian kecil’, gue menghina pilihan si ‘sebagian besar’. Gue kasihan dengan mereka yang lahir dalam sistem meritokrasi yang terlalu efektif, di tengah masyarakat yang tidak memaafkan. Kesalahan dalam memilih atau bertindak mempunyai konsekuensi yang terlalu besar, sehingga setiap individu tidak sanggup mengambil risiko, seberapa kecilnya itu. Kebahagiaan bukan hal utama, yang terpenting adalah keamanan ekonomi.
Jika gue kembali ke Singapura, gue akan menjadi sama seperti teman sekelas gue. Menjadi produk dari sistem yang gue selalu cela dan sangat gue benci itu. Orang yang hidup dalam ketakutan secara konstan sampai tak sempat memikirkan cara untuk jadi senang.
So, yeah, gue menyatakan pengunduran diri gue. Kali ini, gue tidak ingin menghina rekan sekelas gue dulu. Gue bukan seseorang yang idealis dan ksatria dengan keputusan yang gue ambil. Sebaliknya, gue adalah seorang pengecut. Seseorang yang tidak berani keluar dari comfort zone-nya. Anak manja yang takut menderita demi masa depan yang lebih baik. Orang yang terpaksa mengambil keputusan berisiko.
Lalu…tiba tiba…dua hari yang lalu bos gue memutuskan gue boleh tetap berdomisili di Indonesia. Gue melongo sambil bersungut, kalau begitu kan tak diperlukan drama satu minggu dimana pengangguran dan promosi seperti dua sisi koin yang menempel ini.
Tapi dalam hati gue bersyukur juga. Gue jadi berkesempatan memikiran yang sebenernya gue cari. Apa yang gue impikan memang kelewat sederhana. Gue sudah menetapkan kembali ke Jakarta sebagai tujuan hidup sejak hari pertama gue di Singapura. Mimpi gue adalah untuk jadi bagian dari tempat dimana gue merasa nyaman, dan bahagia disitu.
Gue juga terpaksa mengukur lagi prioritas hidup gue. Gue pengen kaya, pengen jaga gengsi, pengen keren. Bisa tinggal di Jakarta dan jadi kaya, itu lebih baik lagi. Tapi jika diprioritaskan, gue mau senang dulu, baru kaya.
Dan ternyata gue mendapat imbalan atas ke-ngotot-an gue untuk jadi hepi. Seandainya…seandainya…gue takut miskin, mungkin sekarang gue sedang digulung baju selam dan mengurung diri dalam rumah susun tak berjendela, berusaha membiasakan diri dengan udara Singapura…