Teman satu dekade: Renungan hangover di Kaliage

Gue berkhianat. Setelah selalu menghabiskan susah dan duka dalam tahun baru bersama teman-teman yang sama, dan mengklaimnya sebagai PALING BERMAKNA, pada 2011, gue membelot. Gue tergiur tawaran paket murah tidur di bungalow mewah di tengah private island yang berpasir putih dan berlaut biru, plus pergi naik yacht.

 

Gue memilih bertahun baru di Pulau Kaliage bersama sekelompok kenalan yang terbentuk berdasarkan prinsip multi-level marketing, semakin banyak mengajak orang, semakin murah harga paket, dan semakin untung bagi anggota.

 

Ganjaran yang tepat bagi pengkhianat tahun baru adalah tahun baru yang lebih basi daripada bermabuk-mabukkan di Jakarta coret sambil nonton trek-trekan motor bebek. Dan melihat hasil tabulasi grup peserta di hari keberangkatan, gue punya feeling ganjaran gue datang tepat waktu.

 

Sembilan orang, terdiri dari kelompok kecil satu-dua orang yang tak pernah mengenal dengan satu-dua orang lainnya. Tanggal 31 Desember 2010 itu menjadi hari pertama pertemuan kami. Padahal di pulau itu, bakal cuma ada kami, dan tidak ada kegiatan selain berenang, berjemur, memancing dan keliling pulau. Semua adalah kegiatan yang layaknya dilakukan dengan akrab.

 

Dan kami seakrab dan semengenal anggota grup arisan berantai: Latar belakang berbeda jauh, umur tak ada yang sama, hanya motivasi yang sama: termakan cita-cita ngerasain punya pulau sendiri.

 

Tapi harusnya gue tidak perlu khawatir. Teman-teman gue tidak membiarkan gue bersenang-senang secara terpisah. Melewatkan pergantian tahun  bersama teman akrab baru, gue malah terkenang-kenang teman akrab selama 10 tahun, yang di saat yang sama juga sedang kolaps dengan stimulan yang sama, di ujung Jakarta yang berbeda.

 

Di malam hari 31 Desember itu, terjadi mujizat. Berkat kemurah-hatian Changi Duty Free dalam menjual minuman murah dan sebuah permainan bodoh never-ever, sembilan orang peserta itu tiba-tiba menjadi best friend forever, berbagi rahasia yang mungkin belum pernah dibagi dengan siapapun sebelumnya.

 

Perilaku menyimpang yang hanya layak diketahui mereka yang terjebak menyebut kaul sehidup semati, kebiasaan jorok yang  bahkan tak ingin diakui alam sadar, atau kemampuan berpidato sentimentil yang belum dieksplorasi. Kami berakhir saling mengenal like nobody else before.

 

Keesokan harinya, kami sudah cukup santai untuk berenang-renang bersama-sama, mandi bersama, bahkan menemukan soulmate. Dan, menyaksikan bagaimana keakraban kilat satu hari terbentuk dengan stimulan alkohol membawa gue akhirnya memahami, how our friendship is formed.

 

Kuartet macan (and more)-ku itu baru saya merencanakan perayaan SATU DEKADE PERSAHABATAN.Tanpa disadari dan tanpa diinginkan, ternyata gue sudah berteman selama 10 tahun dengan orang-orang yang sama. Ada yang pergi ada yang datang, tapi formasi geng sekarang kurang lebih sama dengan ketika rambut gue masih belah tengah.

 

Masing-masing dari kami mempertanyakan mengapa oh mengapa kami tetap bersama selama ini. Kami bukan teman yang baik-baik amat, bergosip satu sama lain dengan kesadaran penuh yang digosipkan. Setia kawan banget juga tidak. Nggak makan temen lebih karena kita berbeda selera.

 

Gue meyakini,  ini karena kita tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, masih juga pecicilan, masih juga mabok secara tak bertanggung jawab, masih juga malem mingguan bareng…Nggak berkembang. Gue masih meyakini ini sebagai jawaban terbaik, tapi renungan tahun baru 2011 memberi gue jawaban yang lebih romantis.

 

Pagi hari, jam 10.30, grup tahun baruan bersalaman dan kenalan. Malam hari jam 12.00, grup tahun baruan terikat dengan darah menjaga rahasia. Yang mengubah status pertemanan antara dua fase satu hari itu hanya satu insiden, di mana setiap orang mengkonsumsi suplemen keberanian untuk jujur untuk membuka tentang siapa saya, tanpa peduli reaksi orang lain.

 

Tentu saja, ini bukan sebuah blog influencer untuk sebuah produk minuman beralkohol. Meski persahabatan kami banyak melibatkan keberadaan zat ini, bukan bahan kimia ini yang menyatukan kami selama satu dekade. Bahkan, sebagian dari kami pernah menjadi saksi hidup betapa alkohol membantu kami mengekspresikan diri sendiri dan ternyata, we don’t really like our true-selves…

 

Tapi yang membuat grup tahun baru menjadi akrab dalam sekejab, adalah hal yang sama yang melekatkan grup satu dekade: a screw-up moment.

 

Buku-buku kepribadian banyak menulis syarat-syarat sahabat sejati.Friends share secrets. Friends accept you for being who you are. Friends are there at the worst situation of yours. Friends know you.  Sayangnya, kesempatan untuk memiliki ciri-ciri persahabatan sangat langka di jaman beradab ini.

 

Manusia-manusia jaman modern menempatkan batasan akan apa yang dianggap layak dan tak layak. Yang tak layak belum tentu bisa bukan bagian dari diri seseorang, tapi patut disembunyikan guna pencitraan yang positif.  We just don’t let anyone know our secret, to be who we are, to let anyone appears in our worst situation, or even, to let anyone know us.

 

Kecuali jika…ada one screw-up moment… Entah itu dengan minuman stimulan kehancuran, atau karena terlalu sering bareng sehingga tak bisa menyembunyikan. Pada momen kekacauan pribadi ini, gue sudah tidak bisa lagi menyembunyikan hal-hal yang gue anggap tak layak jadi konsumsi orang lain. Atau mungkin, gue juga sudah merasa tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Gue sudah screwed-up.

 

Ternyata dibutuhkan satu screw-up event ini untuk memberikan gue keberanian jadi cuek membongkar diri sendiri. Dan jika subyek di sekitar bisa menerima gue di saat terhancur, seumur hidup gue bisa leluasa menjadi diri sendiri di dekatnya. Karena gak perlu pura-pura, gue jadi merasa nyaman. Karena nyaman, gue mau terus main bareng. Demikianlah mereka jadi…teman baikku…

 

Dan jika satu screw-up event di malam tahun baru sudah memberi gue sahabat-sahabat baru, bayangkan berapa banyak screw-up events yang gue lalui selama 10 tahun dengan orang-orang yang sama… We are friends because we screwed up together. Or at least, you were there when I screwed up, and vice versa.

 

Jadi gue rasa, it’s fine to screwed-up. Untuk menderita mental breakdown, mabok karena patah hati, menangis karena cerita cinta yang bodoh (atau bahkan jatuh cinta itu sendiri sudah bisa membuat screw-up), alienation, you name it. It’s those screwed up moment that makes us a true friends, with all those secrets, openness and understanding and cries and scream and frustration glue the ties.

 

Kalau selama ini momennya masih hepi-hepi , rukun tentram, tanpa kompetisi yang saling menjatuhkan, percayalah kawan, you’re still in the morning part of that December 31st….Tapi untuk teman-teman satu dekadeku, kita sudah melalui terlalu banyak malam 31 Desember, and that makes us stick together. DIRGAHAYU!

 

PS: Si Pulau Kaliage, di mana aku menemukan sahabat-sahabat baru…dan semakin mengukuhkan persahabatan lamaku, bisa dilihat di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *