Seorang teman duduk di pojok dekat tangga darurat sambil menggenggam handphone. Ia nampak berbicara serius. Tiba-tiba suaranya meninggi, INI KAN JUGA BUKAN SALAHKU! Wajahnya merah padam. Sang teman masih terus dengan tegang mendengarkan lawan bicara. Setelah beberapa saat, ia mulai menangis.
Usai menelepon gue menghampiri penuh hasrat bergosip, “telepon siapa sih?”
“Customer Service.”
“Ohhh..pantes…” gue mengangguk-angguk penuh simpati.Bicara dengan customer servicememang bisa menguras emosi semacam bicara dengan pacar yang selingkuh.
Siapapun yang tinggal di Indonesia, pernah menikmati jasa layanan apapun juga di Indonesia, dan tidak pernah kepingin punya kekuatan transfer energi untuk melesat melintasi jaringan telepon dan keluar dari gagang telepon mbak/mas call center lalu menggetok kepalanya dengan gagang telepon tersebut boleh menyebut dirinya beruntung.
Dengan jawaban yang tidak menjawab, pelayanan yang setengah-setengah, serta penuh prosedur, hampir setiap orang di sekitar gue pernah punya niatan pendek bunuh diri dengan kabel telepon yang sedang dipakai menelepon customer service.
Customer service kan juga manusia, Gy, demikian gue selalu berusaha ditenangkan, saat fantasi liar gue mulai menyusun aksi kejam pembunuhan berantai, boikot hingga terorisme terhadap kantor customer service.
“Ya terus kenapa kalau mereka manusia?” gue menjawab sewot.
“Mereka punya perasaan, punya hati, gimana rasanya kalau loe yang dibentak-bentak kayak gitu? Jangan karena kemampuannya mungkin tak seefektif orang lain loe perlakukan secara tidak manusiawi”
“Justru karena mereka itu punya hati, punya OTAK! Mereka seharusnya memperlakukan pelanggan secara manusiawi!” gue malah memaki penasihat.
Maaf saja, gue memang tidak punya belas kasihan dalam hal ini. Bagi gue, permasalahan utama pada para customer service bukan karena kurangnya kemampuan ataupun intelektualitas. Penyebab layanan buruk dari customer service nampaknya datang dari para pelaku call center sendiri yang tidak memandang tinggi profesinya.
Seandainya setiap customer service bisa memandang profesinya sebagai setaraf, sepenting dan sebesar profesi lain, mereka akan menerapkan nilai-nilai profesionalisme yang juga merupakan kunci sukses pekerjaan-pekerjaan lain.
“Kalau emang sama kayak kerjaan lain, loe aja yang jadi customer service kalau gitu!” sanggah penasihat. Sebuah saran yang bahkan sudah pernah gue terima dari customer service itu sendiri. Karena masih kontrak dengan pekerjaan saat ini, gue memutuskan tetap jadi customer saja.
Tapi demi menunjukkan bahwa masalah customer service itu ada pada masalah ada alasan untuk pelaku pekerjaan untuk menyepelekan, gue mendaftar penyebab buruknya layanan oknum call center yang berpangkal pada: oknum tidak mencintai pekerjaannya.
- Kurangnya inisiatif
Cust Svc: Mbak, karena ATM sedang gangguan, maka Mbak harus membayar hari ini juga ke kantor Gramparan kalau ingin segera disambungkan lagi teleponnya.
Margie: Jadi kantor layanan Gramparan yang terdekat di Jakarta Selatan di mana ya mbak?
Cust Svc: Di Gandaria City, Mbak.
DUA JAM KEMUDIAN
Margie: MBAKKKK!!!! KANTOR YANG DI GANDARIA CITY KALAU HARI MINGGU TUTUP!!!
Cust Svc: Iya, Mbak, cabang Gandaria City hanya buka Senin sampai Jumat jam 9 sampai jam 5
Margie: KOK MBAK NGGAK NGASI TAU SAYAAA…SAYA UDA CAPE-CAPE KE GANDARIA! MANA MACET!
Cust Svc: Mbak kan cuma nanya kantor Gramparan terdekat di Jakarta Selatan, mbak nggak nanya hari ini buka apa enggak…
Karyawan yang ingin maju, akan terus berpikir bagaimana caranya meningkatkan performa kerja, memberi usulan yang konstruktif bagi perusahaan dan mencari pemecahan terbaik bagi klien. Yang melaksanakan kerjaan secukupnya saja, yang tak bicara jika tak ditanya, niscaya bakal jauh dari promosi dan naik gaji.
Jelas terbaca di mana posisi call center yang seolah ‘cape ngomong’, tidak berusaha sepenuhnya memenuhi kebutuhan pelanggan. Mungkin dilatarbelakangi kebencian terhadap pekerjaan,ataupun rasa malas yang luar biasa, customer service tidak sepenuhnya mengharapkan kepuasan pelanggan yang harus bermacet-macetan ke Gandaria di hari liburnya guna meluruskan kesalahan pencatatan telepon…
- Tidak menjadi bagian dari perusahaan secara utuh
Cust Svc: Maaf mbak, kami tidak mengetahui mengapa Anda tidak bisa mengakses internet.
Margie: Lho? Kok gitu sih? Saya kan pasang internet di rumah supaya bisa kerja setiap saat diperlukan. Kalau saya dipecat siapa yang tanggung jawab? Speedol?
Cust Svc: Yang jelas bukan saya, mbak, saya di sini cuma customer service.
Tentu saja, setiap ada kesalahan pada divisi lain, tiada yang sudi menanggungnya. Langsung salah-salahan dan angkat tangan. Namun sebagai satu perusahaan, dengan berat hati karyawannya akan langsung memikirkan bagaimana cara menanggulangi masalah ini dari divisi masing-masing.
Tentu saja customer service bukan yang menyebabkan internet gue mati, atau kartu gue diblokir karena kesalahan pencatatan pembayaran. Tapi sebagai bagian dari customer service, sudah tugas mereka untuk menghubungkan gue pada pihak yang berwenang! Sayangnya sering kali ada perasaan palsu bahwa pekerjaan tersebut tidak berguna dan tidak membantu…
- Berantem sama customer
Margie: Mbak, ini sudah kedua kalinya lho modem saya mati, dan dua-duanya nggak pernah mendapat perbaikan yang berarti, kalau begini caranya, saya berhenti langganan fastner aja!
Cust Svc: Ya udah kalau gitu! Saya putus sekarang ya!
Pelanggan adalah raja, sudah begitu slogannya dan akan selalu begitu. Tidak akur dengan klien, konsumen, dan sejenisnya akan berakhir pemecatan dan gagalnya usaha. Namun sekali lagi, entah karena merasa tak punya andil dalam perusahaan, oknum customer service malah bisa lebih galak dari pelanggan, membentak dan ikut mengancam!
- Melakukan kesalahan kerja lalu lempar tanggung jawab
Margie: Mas, saya mau pasang PIN di hp SEMEN saya, tapi tadi saya coba kok PIN error ya keluarnya?
Cust Svc: Ituuu… pakai feature di HP-nya dong, coba-coba masuk ke sini..terus ke sini..terus ke sini…
Margie: Iya, tadi juga saya ke situ, tapi nggak bisa
Cust Svc: Salah kali masukkinnya, coba lagi gih sekarang, ke sini, terus ke sini..terus ke sini…
Margie: *mencoba* tuuu kan mas! Nggak bisa lagi! Uda dua kali nih!
Cust Svc: Oh ya? Kok bisa ya, coba sekali lagi diulang, ke sini..terus ke sini..terus ke sini…
Margie: YAA!! KOK JADINYA KE-BLOKIR MAS!!!
Cust Svc: Waduh, saya nggak bisa bantu Mbak, kalau kartu ke-blokir bukan tanggung jawab SEMEN….
Kalau kejadian ini adalah di tahun 1998. Rupanya kinerja customer service sudah jelek dari jaman orde baru. Inilah masa kartu SIM masih mahal-mahalnya. Dan gue kehilangan kartu SIM gue, dua hari setelah handphone dibeli karena kesotoyan customer service di PT SEMEN itu.
Berbuat salah di dunia kerja adalah wajar. Yang tak wajar adalah jika salah, lalu tidak mengaku salah. Karena bau ikan busuk akan tercium, maka tindakan ini akan dianggap sangat tidak terpuji dan layak dihukum berat. Saat-saat seperti ini, gue berharap ada layanan pengaduan khusus mengadukan customer service!
- Bekerja cukup dengan membaca text-book saja
Cust Svc: Mbak, setelah kami cek ternyata ada gangguan jaringan sehingga internet mati
Margie: Oh gitu, kelarnya kapan, mbak?
Cust Svc: Kami tidak bisa memprediksi, Mbak
Margie: Kira-kira kalau gangguan seperti ini memangnya berapa lama mbak emangnya?
Cust Svc: Akan ada pemberitahuan lebih lanjut.
Margie: Iya, pemberitahuan lanjutnya itu kapan mbak…
Cust Svc: Ada pertanyaan mbak?
Margie: ITU TADI PERTANYAAN SAYA BELUM DIJAWAB!
Cust Svc: Baiklah kalau sudah jelas, terima kasih banyak telah menghubungi customer service kami dan jika ada pertanyaan silakan menghubungi kami kembali.
Margie: PERTANYAAN SAYA TADII….
Kadang yang gue rasakan, customer service cuma sekadar membaca dari lembar ‘tata cara berhadapan dengan konsumen’. Mereka tidak sungguh-sungguh menyimak keluhan. Bagi gue, ini menunjukkan customer service yang melihat pekerjaannya sekadar sebagai pekerjaan, bukan karir, bukan profesi yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, cukup dengan kemampuan mekanis robotik: membaca.
‘Surat pembaca’ ini bukan dimaksudkan untuk menghunus para customer service dengan pedang panjang. Tidak semua customer service punya pelayanan buruk. Lagipula, bagaimanapun juga, gue memahami beratnya harus berhadapan dengan manusia bertemperamen berang-berang seperti gue.
Tapi jadi tukang sampah juga berat, harus berhadapan dengan sampah yang membuat orang bertemperamen berang-berang. Jadi wartawan kriminal juga berat, harus berhadapan dengan para penjahat yang bertemperamen berang-berang.
Intinya, hampir semua pekerjaan punya tantangan yang berarti, dan hampir semua pekerjaan akan memaksa kita bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan. Bahkan pekerja kantoran pun berisiko punya bos dari neraka, setiap hari setiap menit setiap detik meladeni temperamen berang-berangnya.
But it’s not an adequate reason not to do a job well. Karena setiap pekerjaan, sekecil apapun, serendah apapun gajinya, jika dijalankan dengan hati dan berusaha dicintai, akan menjadi pekerjaan yang sangat baik dan sangat penting.
Sebaliknya, pekerjaan apapun yang dilakukan dengan mentalisme call center, bakal berakhir dengan pemecatan. Setiap karyawan diharapkan belajar dari pengalaman kerjanya, bukan dari sekadar membaca lembar training. Bisa meledak satu laboratorium jika ilmuwannya terlalu persis-sis mengkuti teori buku kimia SMA.
Demikian juga, mereka yang tidak bertanggung jawab, tidak mau mendukung usaha perusahaan, atau menjalankan tugas lurus-lurus tanpa inisiatif, bakal jauh dari kata promosi, apalagi naik gaji. Apalagi yang suka berantem sama konsumen!
Sebelum internet gue mati tiba-tiba dan gue harus berurusan lagi dengan call center, gue sudahi dulu postingan ini.