Kategori: Buku
Jenis Sastra & Fiksi
Penulis: Catherine Lim
Buku ini termasuk sebuah golongan khusus yang gue sebut “Hopeless Romance”, satu genre dengan The Leap Year (film tentang sepasang kekasih yang Cuma bisa bersua empat tahun sekali), Raumanen (novel indo tentang pasangan batak-manado yang berakhir tragis ketika si perempuan hamil dan meninggal sedangkan prianya jadi mandul dan ga bisa memberi penerus marga), Maria Cinta yang Hilang (telenovela tentang wanita miskin tak berkelas jatuh cinta dengan si kaya yang tampan) atau Romeo and Juliet yang sudah jadi inspirasi berjuta2 Hopeless Romance yang lain.
Dalam Hopeless Romance, pria dan wanita yang sudah tidak ditakdirkan bersama sejak lahir karena latar belakang yang sulit, jatuh cinta. Sepanjang buku/film menceritakan perjuangan pasangan itu membela cinta tulus mereka, against all odd. Jarang dijelaskan mengapa mereka begitu keukeh mempertahankan hubungan mereka, meski seseorang yang sama gantengnya, sama sexynya, sama pintarnya slalu menunggu jandanya.
Demikian juga dalam the Bondmaid. Alkisah seorang anak miskin dijual ibunya sendiri ke sebuah keluarga kaya untuk jadi pembantu. Dilahirkan dalam masa yang sama, anak itu jadi akrab dengan cucu laki2 seorang dan satu2nya keluarga kaya itu, yang setelah besarnya secara ketebak menjadi ganteng dan pintar, pewaris harta tunggal pula. Ketegaran, kecantikan natural dan kecerdasan si pembantu ketika dewasa membuat pewaris harta tunggal jatuh cinta. Bondmaid-Young Master; the unlikeliest couple terutama di jaman 50a itu, ketika status social sangat ditekankan. Apalagi pernikahan politik the young master dengan keluarga kaya lainnya akan menjamin kejayaaan keluarga tersebut. Tak heran sang wanita itu tidak banyak berharap, dia cuma ingin jadi ISTRI KEDUA dari kekasihnya. Ga peduli kalau suaminya tidur dengan wanita lain, yang penting ia dicintai, meski bukan jadi yg utama.
Biasanya, hopeless romance berakhir dengan either mereka berdua mati minum racun, atau kawin lari dan hidup miskin tapi bahagia. Gue dengan sabar dan bodoh membaca 330 halaman the Bondmaid untuk mengetahui akhir yang mana yg dipilih. The bondmaid tidak demikian ternyata. Cerita diakhiri dengan lebih realistis, si wanita mati dan si pria hidup, bahkan punya 2 anak. Tetapi supaya lebih dramatis, sang wanita ini jadi goddess, yang masih mewarisi sifat ngotot dan galak. Kedua keluarga kaya itu hancur berantakan kena kutukan sang dewi hingga harus mengungsi keluar negeri. Hanya sang pria, dengan penyesalan dan cintanya tetap tinggal dan mengabdikan diri kepada kuil sang dewi….
Sumpah, gue jarang baca novel roman beginian. Gue baca biografi the good women of China, pemenang the Bookers prize Life of Pi, dan buku2 Sigmund Freud, semuanya lebih berarti dibuat resensi. Ini gara2 temen gue, yang ketika di Bali nan romantis memilih duduk anteng di hotel sementara gue ngibrit clubbing sana sini dengan kenalan baru. Begitu asiknya dia ber “oohh,,” dan “ahh..” sambil sesekali mengerutkan kening dan menghela napas. Padahal beliau wanita modern yang anti roman picisan
Namun setelah membaca buku sampai tuntas, gue jadi paham, kenapa temen gue itu bgitu larut dalam buku ini. Well written, itu sudah pasti. Bahasanya puitis dan enticing, kelasnya adalah sastra, bukan Harlequin. Tetapi yang lebih penting, karena meski mengambil setting taun jabot, buku ini sebenernya berkisah tentang wanita2 jaman sekarang, dengan kekuatannya namun mempunyai sifatnya yang kadang orang bilang ‘bodoh’.
Han memang Cuma pembantu, tapi cerdas dan cantik. Belum lagi dengan kegigihannya dan akal2annya mengadali pria2 yang mendekatinya. Gampang buat dia untuk menerima pinangan orang2 kaya dan hidup makmur jadi simpanan. Atau jika mau kompromi, bisa jadi primadona di rumah bordil punya kakaknya sendiri, dengan jaminan perlakuan istimewa. Toh sama kekasihnya ini, dia juga Cuma ‘dipake’ sebulan sekali, tanpa ada harapan tanpa janji, bahkan dinikah kontrak pun tidak. Tapi kenapa Han tetep ngotot sama yang ini- yang begitu pengecutnya bahkan ga berani mengakui cintanya kepada orang tuanya? Menyerahkan keperawanannya bahkan bukan diatas ranjang?
Jaman boleh berubah, tapi perempuan tetep sama.
Baru kemarin ini dibahas di Koran gratisan Singapura, seorang wanita karier yang sukses dan cantik. Dengan gaya modisnya, bisa banget dia dapat jodoh pria sekantor, atau kalau memang suka brondong, bisa menyewa escort segar. Maklum, beliau bergaji cukup dan tidak bergantung pada siapapun. Tetapi daripada ‘menyimpan’, beliau memilih ‘disimpan’ seorang pria beristri. Memang pria ini kaya dan ganteng, tetapi of all the men..kenapa sih harus yang uda punya istri? Dan wanita ini, berdasarkan pengakuannya di Koran, sama sekali tidak berniat menghancurkan perkawinan pacarnya. Pokoknya sebagai simpanan sudah cukup, tidak perlu dikasi makan tidak perlu status.
Ada lagi kisah nyata, temennya temen gue. Masi tetap setia sama MANTAN PACAR, meski sudah putus empat tahun yang lalu. Ketika si mantan pacar masi single, dia bilang, pokoknya sampai dia punya pacar baru. Ketika si mantan pacar sudah punya pacar baru, dia bilang, dia akan tetep nunggu sampai mereka nikah, in case ternyata pacar baru ini bukan yang terbaik. Dan gue yakin, ibarat sopir angkot bilang selama janur kuning belum berkibar, die bisa jadi bakal bilang, selama bendera kuning belum berkibar ketika mantannya ini nanti nikah. Sampai mati aku tunggu kamu !
Mengada2 ? inget temen gue, si pengusaha indo yang selingkuh sama mantan pacarnya ? Jangan mengira kalau mantan pacarnya ini wanita pengombean nan murahan yang sgitunya hinanya nempel sama mantan pacar yang sudah beristri. Wanita ini juga seorang pengusaha muda ! Tegas dan praktikal, gue aja sempet jiper ketika pertama kali berpapasan. Diapun sudah punya suami. Dan gue ga habis pikir, kenapa sih harus cape2 selingkuh ? Butuh apa dia dari temen gue ini? Duit cukup, suami setia, buat apaaaa…..
Dan tentang temen ke Bali gue ini, si modern yang matrealistis, setiap hari dengan setia menanti telpon dari sang kekasih. Maklum, kekasihnya ini Cuma bisa menelpon malem2, lantaran sepanjang siang harus menemani..kekasihnya yang lain… Dan meski di kelas adalah murid yang kritis, temen gue nrima2 aja klo kekasihnya ga bisa mutusin pacar lamanya dengan alasan pacarnya ini sudah lama berjuang buat dia lantaran mereka beda agama dan beda ras (again?). Jika diputusin, bisa gila pacarnya, tentu beliau tidak tega. Dan teman gue pun dengan sabar menanti hari minggu, karena hari jumat dan sabtu direserved buat pacar pertama…
Tiga kisah. Tiga wanita yang meski modern, cantik, berpendidikan, mandiri memilih diduakan dan digantung seperti pembantu tahun 50-an. Moral aside, gue lebi tertarik buat tau, apa sih yang dicari? Cinta? Temen Bali gue langsung men-dismissed dengan sinis. Mengibaskan tanganya, dia berkata, “Nay…love is for the youngsters! Am not in love anymore! I just enjoy what I have now, why ask for more?”
Sex? Lalu bagaimana dengan mantannya temen gue yang uda kawin itu? Belum cukupkah? Bukankah uang bukan masalah untuk wanita2 ini?
Thrill and adventure? Selingkuh kata orang bikin enak, semilir2 ngeri. Tapi temennya temen gue itu gimana? Apa serunya nungguin orang pacaran dan dicolek sekali sebulan?
Dan herannya kenapa slalu wanita yang rela dijadikan selingkuhan? Seumur idup gue, bisa dengan gampang gue mencomot kisah wanita2 yang meski berkecukupan moral-materi, tetep mengejar ‘the one’. Tapi gue cuma bisa menyebut oom gue sebagai cerita the unfortunate man. Oom gue kabur ke Belanda pas umur 20 ketika pacarnya yang Belanda murni dilarang kawin dengan oom gue yang orang Indonesia dan Cuma kerja bengkel di VW. Pacarnya itu akhirnya menikah dengan orang Belanda asli yang membawa hidupnya makmur sentosa, sedangkan oom gue tetep men-jomblo dan cukup puas untuk hidup dekat sama mantan pacarnya itu. Ketika suami si mantan pacar meninggal, oom gue menerima mantannya, sekarang jadi tante gue, pada saat itu udah umur 50 tahun, dan sudah pudar segala kecantikan masa mudanya.
Satu diantara sejuta rasanya. Itupun dengan catatan bahwa oom gue dengan cermat berkalkulasi bahwa in the end, dia tetep ngedapetin wanita impiannya. Tidak seperti wanita2 yang gue ceritakan di atas, yang mungkin ga akan pernah bisa bersatu seutuhnya dengan kekasihnya.
Mikir setengah mati gue belum bisa menemukan alasannya. Barangkali hidup tanpa status tapi dengan jaminan kasih sayang adalah sebuah kompromi buat wanita2 modern, yang memuja kebebasan namun mengimpikan belaian. Barangkali status-less, adalah sebuat statement of protest dari wanita2 yang menolak masuk dalam kategori yang sudah ditempa masyarakat, menunjukkan bahwa mereka berbeda dan punya identitas sendiri.
Atau barangkali, sama seperti kisah the Bondmaid yang diinspirasi penghancuran sebuah kuil kuno demi pembangunan kawasan industry di Singapura tetapi dongengnya tetap bertahan, ada sebuah nilai wanita yang meski dikubur dalam modernitas, akan terus bertahan. Sebuah kisah kesetiaan, kesabaran dalam penantian, dan mungkin, keluguan.