Mungkin mantra kejombloan gue sudah kurang ampuh. Semakin banyak sahabat dan handai taulan yang menemukan belahan hatinya. Seperti hari ini, gue terlibat dalam percakapan macam ini:
Orang Lain: Ehh, loe tau ga, si itu udah punya pacar lho sekarang! Si dia juga awet banget, uda 4 tahun pacaran!”
Margie (didorong rasa penasaran dan setengah sirik): Oh ya, masa si? Pengen tahu, coba sini kasi liat pacarnya kaya apa!
Kami mengendap-endap mencuri pandang ke pasangan yang dimaksud
Orang Lain: Tuu..gy! dia aja laku! Masa loe kalah sih?
Margie (sewot, sombong): Halah! Kalau cuma yang kaya gitu sih, SEPULUH gue bisa dapet!
Okeh, gue terbawa emosi. Mungkin ga sepuluh *lima dhe!*, tapi humph…ngerti kan maksudku? Bukan maksud hati jadi perempuan yang picky-picky, tapi…tokoh yang ditunjukkan itu…humphh…mungkin ditakdirkan untuk bersama dengan golongan sosial yang lain…Kalau gue sabet, brarti kan gue ngambil jodoh orang…
Gue jadi keki sendiri. Emang punya pacar yang nilainya dibawah 5 itu lebih baik daripada jadi jomblo ya? Emang salah ya kalau gue kurang berminat menjambret SIAPA SAJA DEH cuma demi mengganti status di facebook? Harus ya gue menculik abang-abangs dan mas-mas joki jalan Sudirman supaya ada yang bisa diajak jalan dan nonton? Emang salah banget ya kalau gue mencari…the ONE?
Jaman memang telah berubah. Di masa lalu, perempuan yang menanti setia jodoh sejatinya dipuja-puja. Buktinya, dalam kisah dongeng Cinderella, Putri Tidur, sampai Siti Nurbaya, tidak pernah dikisahkan si tokoh wanita protagonisnya berpacaran berkali-kali. Mereka setia menanti pangeran impian tanpa pernah membagi cintanya kepada orang lain. Dan pada akhirnya kisah penantian mereka diakhiri..And they live happily ever after.
Tapi menjelang tahun 2009 ini, siapa perempuan percaya Putri Tidur? Sungguh tidak realistis, naif, dan hanya akan terjadi dalam dongeng. Jodoh sejati tuh ga ada! Tiada yang sempurna! Love is all about negotiation! Silakan saja menunggu jodoh impian, kalau mau berakhir jadi perawan tua yang ditemani kucing-kucing di umur 50.
Meng-claim sebagai bagian dari abad yang baru, gue juga kurang begitu sealiran sama Putri Tidur. Ga percaya ada Mr Perfect yang tiba-tiba dilemparkan Tuhan ke Kelapa Gading. Bluk gitu! Love will find you, if you try!
Realita itu penting banget. Sungguh maut jika ada yang seperti putri tidur, maunya Cuma sama pangeran ganteng. Itulah lambang ekstrim perempuan naïf dan hanya akan diganjar ketidaklakuan. Tapi jangan lupa juga, di ujung yang sebelah kanan, juga ada ekstrim lain: Sifat realistis berlandaskan ke-desperado-an.
Akhir-akhir ini gue lumayan sering mendengar kalimat: yaa..daripada ga ada lagi... Membuat gue rendah diri dan merasa bersalah. Makluk yang ngomong gitu cenderung lebih tinggi atau sama derajatnya dengan gue. Gue aja ga secemas itu, kok mereka sgitu takut ga lakunya sih? Emang gue jelek banget ya???
Didepan teman-teman gue yang mengucapkan kalimat itu, tentunya gue tersenyum bijak dan berkata, “Iyah..semoga langgeng yah..” Meski dalam hati protes berat! (dan gue curahkan kesini). Pasalnya gue merasa, alasan –alasan realistis itu lebih ke arah tindakan menghibur diri.
Misalnya alasan: I’m a huge pile of love, I just need to share it with whoever, whatever! Well, if you are a huge pile of love, pergilah ke panti asuhan. Masih banyak anak yatim piatu dan terlantar yang mendambakan kasihmu.
Alasan lain yang cukup sering dipakai adalah: I suffer a terrible break-up. I just need SOMEONE to distract me. Humph… Patah hati memang menyakitkan, tapi kok ga tegar banget sih? Okeh, putus, berarti ga jodoh, tapi bukan berarti kita jadi ga jodoh sama siapa-siapa. Justru karena udah tau mana yang ga jodoh, pencarian seorang yang memang diciptakan untukku saja itu harus dilanjutkan. Lagian, emang butuh-butuh banget ya punya pacar? Emang nyebelin banget ya untuk menghabiskan waktu bersama sahabat sejati seperti GUE?
Agak ganggu sih kalau mendengar gossip-gosip, iihh..si itu kok belum punya pacar lagi sih? Ga ada yang mau lagi ya? Apa cinta mati? Ihh..kasian banget sih hari gini masi cinta mati? Tapi menimbang dan memikir, nampaknya itu sama aja ganggunya dengan mendengar omongan orang-orang seperti gue: Ihh…setelah putus jadiannya sama orang kaek gitu…segitu despo-nya…ternyata Cuma segitu tho standardnya… PLUS ditambah rasa sesak dan tidak puas mengingat yang telah berlalu mempunyai karakter diatas yang kini digenggam….
Dan alasan terakhir yang terdengar bijak meski intinya tetep cuma nyeneng-nyenengin hati adalah: Love is all about compromising, gie, cinta sejati tuh ga ada…semua harus dinego supaya langgeng… Ya udah, cinta itu ga ada, but how about chemistry? Kalau ga nyata, masa bisa masuk kurikulum SMP-SMA? Seorang teman putus dari hubungannya yang sangat traumatis dengan lelaki beda agama. Kini syaratnya Cuma satu, asal seiman, sedangkan hal yang lain bisa dinegosiasikan. Tampang ga penting, harapan bisa diturunkan, sifat bisa ditolerir, perilaku bisa diubah.
Semboyannya: Cinta itu ga ada, Cuma ada kompromi. Masalahnya, sebagai saksi sejarah, gue pernah melihat sparkling-sparkling di matanya, ketawa lepas, dan don’t know what it’s called yang menghubungkan dia dengan mantannya itu. Sekarang gue ga ngeliat itu lagi. Kalau cuma semata kompromi, kok bisa ada unsur yang ilang?
Dan ketika teman gue itu berencana meresmikan hubungan atas dasar realita itu dalam jalinan pernikahan… gue akhirnya angkat bicara. Menjerit frustasi ke temen gue: BOOWWW…INI KAWIN LHOOOOO…SEKALI SEUMUR IDUP!!
Bulu kuduk gue merinding, tangan gue keringet dingin, membayangkan..berarti gue bakal ngeliat orang yang sama setiap bangun dan sebelum tidur setiap harinya selama 50-60 tahun kedepan…kalau gue bernegosiasi, gue harus bernegosiasi selama 50-60 tahun kedepan. Jika hidup gue datar…gue bakal datar selama 50-60 tahun kedepan…Kalau pasangan gue yang just not that into me, gue bakal bersama dengan cowo yang ga suka-suka amat sama gue, selama…50-60 tahun kedepan! Itu 3x panjang hidup gue sekarang!
Gue cukup sering gue mendengar pernyataan, “If I weren’t married yet..I would’ve…” melemparkan gue pada fakta pahit: ga ada ketidakcocokan itu bukan brarti cocok loh! Dan banyaknya perceraian, perselingkuhan, pernikahan tidak bahagia telah membuktikan betapa ternyata..well…butuh lebih dari sekadar ga ada ketidakcocokan untuk mencapai kawin emas.
Bahkan seorang kenalan yang been there done that pernah menasihati gue:
yang akan muncul sebagai soul mate adalah yang mengalami hal hal sama dengan kamu sewaktu kecil, know the same lullaby’s, eat the same cookies, the same bubble gum, and watch the same movie series and read the same books. Until you find him, dont do anything.”
Meski mungkin ga se-extrim itu, tapi intinya, bakal ada kok, satu. Satu dan bukan sepuluh atau lima muka, yang ga akan membuat gue muak meski gue harus melihatnya setiap hari selama 50 tahun.
Tapi loe tau darimana gy kalau dia bukan the ONE kalau loe ga coba? Mungkin aja seiring waktu perasaan itu tumbuh…dan klo loe lewatin gitu aja, loe kehilangan jodoh loe!” Begitu teman gue protes setelah mendengar repetan nasehat gue.
Gue diem. Mana bisa gue membaca masa depan. Feeling gue cuma bilang, sesuatu yang tumbuh pun harus pake benih. Kalau dari awal aja udah ga bisa ngebayangin, apa kabar nantinya? Yang tadinya saling cintah aja bisa luntur kalau 60 tahun! Dan kalau ternyata setelah menunggu 50-60 tahun gue ga menemukan the ONE itu, mungkin itulah jodoh gue! Berjodoh hanya dengan diri sendiri!
Humphh..bijaksana banget gue! Sejujurnya muka gue juga langsung ga enak mendengar opsi tua sebatang kara ditemani kucing-kucing. Suka kucing pun tidak…but at least I’ll be with someone I know and I love: myself. Dan tentunya, there’s only ONE me, bukan sepuluh, bukan lima.