Ada orang yang menyambangi restoran yang sama setiap harinya, guna menyantap makanan yang sama. Kalau untuk gue, hal ini berlaku untuk penyakit. Pernah kena Hepatitis A empat kali hingga punya stok antibodi yang cukup untuk seumur hidup, minimal 10 tahun, kini badan gue juga nggak mau ketinggalan tren, koleksi ‘illness of the year’ (or of the decade) COVID-19 hingga tiga kali. Iya, badan aku sinkron sama hati; sama-sama suka mengulang kesalahan yang sama.
Pertama kali gue terduga terinfeksi, adalah dalam sebuah perjalanan ke Eropa. 14 hari setelah kepulangan, gue demam tinggi, ngilu-ngilu seperti patah tulang yang tiga kali lebih buruk dari DB, lemas yang dua kali lebih buruk dari hepatitis (dan lebih lama pemulihannya), dan batuk kering. Karena belum ada aturan karantina, si papih ikut ketularan. Gejala sama. Flu terburuk yang pernah kita alami. Ralat. Salah satu sakit terburuk yang pernah dialami, dan gue sudah banyak mengalami sakit.
Namun waktu itu COVID masih belum nge-trend. Pemerintahnya saja masih denial. Disuruh pakai kalung kayu putih. Begitu kasus pertama diumumkan, layanan PCR langsung antri mengular-ular. Rupanya banyak yang tunggu-tungguan seperti gue. Nggak mau jadi case pertama, takut dibully di media sosial lalu foto-foto gue pake bikini disebarluaskan. Ketika itu, demam gue sudah turun sehingga tidak masuk daftar suspek yang boleh ikut tes usap.
Mau swab mandiri di rumah sakit swasta biayanya 4.8 juta. Mengancam dana darurat. Karena kata dokter gue sudah lewat masa kritis, jadi ya sudah lanjut saja karantina mandiri. Selama enam minggu kemudian gue masih batuk kering dan merasa seperti tenggelam saat bernapas.
Pengalaman kedua, sekitar enam bulan kemudian, terindikasi oleh oksimeter yang berkisar antara 88-92 namun luput karena mengira gue psikosomatis berkat konsultasi sama dokter yang kurang teliti. Ya bisa saja sih gue terkena gejala MIRIP COVID kayak UAS. Tapi karena gue tidak punya beban sejarah, gue anggap saturasi oksigen menurun saat flu ya COVID. Ini akan dibahas di tulisan yang lain.
Sedangkan yang terakhir, beramai-ramai dengan gelombang satu di awal tahun, menyeret satu keluarga. Si papih yang masih harus ngantor, lalu mamih yang denial mengira minyak kayu putih Pulau Burunya palsu karena baunya hilang, kakak yang kebetulan lagi berakhir pekan di rumah, serta gue yang waktu itu lagi puasa nggak mau ke mana-mana lantaran sudah dua kali kena COVID.
Gue kembali mengalami demam yang nggak turun-turun meskipun minum paracetamol, nyeri tulang goyang patah-patah itu, dan kali ini bonus takikardia ketika denyut jantung mencapai angka fantastis 128 rata-ratanya. Pusingnya minta ampun. Diikuti enam minggu badan lemas lunglai seperti pada pengalaman pertama. Hingga kini denyut jantung gue ‘new normal’, dari 60an ke 80an saat istirohat.
Three times is a charm, kata orang.
Jadi apa pelajaran yang gue dapatkan setelah tiga kali COVID? Ya nggak ada. Sial aja. Tapi apa yang gue observasi lolos tiga kali COVID? Selain keberuntungan, berikut ini yang gue lakukan. Yang pernah COVID 4 kali boleh nambahin:
- COVID is real, as real as your prayer
Mari kita samakan persepsi dulu di sini. You can’t heal what you don’t admit. Gila aja loe, terus kalau ga nyata, gue kena apaan dong ampe 3 kali? Berkeliling berbagai daerah di Indonesia yang cukup beruntung berada di zona hijau antara periode gelombang 1 dan 2, gue sibuk bersaksi bahwa COVID itu nyata, bisa menular, menyakitkan, dan bisa menginfeksi berkali-kali.
Gak pernah kena COVID, bukan berarti gak bakal kena COVID. Jangan sombong. Tuhan tidak suka. Seperti kata seorang teman, loe bisa aja ga percaya COVID, tapi COVID selalu percaya sama loe! Pernah kena COVID, bukan berarti tidak bisa kena lagi. Gue saksi hidupnya. Tiga kali yha Lord.. Indonesia aja baru dua gelombang. Sudah vaksinpun bukan berarti 100% imun.
Tapi kena tiga kali juga mengajarkan gue bahwa ada banyak hal yang tak terduga dalam COVID. Penyakitnya juga baru. Ikuti standar protokol yang sudah ada, tapi juga sisakan ruang untuk berpasrah dalam doa. Kalau sudah ngendep di rumah aja, selalu pakai masker, tapi masih ketularan? Itulah nasib. Cara transfer virus yang masih belum diketahui. Take a breath, jangan panik, now deal with it.
- Stress = Kalah
Tidak bisa mencium bau. Sesak napas tapi nggak berasa. Ngilu-ngilu seluruh tubuh. Semua adalah akibat si virus yang mengganggu saraf-saraf kita, dan teorinya, semakin lemah saraf, semakin kuatlah ia membajak tubuh. Gue yang setelah operasi usus buntu masih bisa ketawa sampe takut jahitan lepas, bisa tiba-tiba mewek. Padahal PMS saja jarang. Dan di saat semacam ini gue merasa virus itu makin menjadi-jadi bikin macem-macem di badan.
I know it’s easier to be said than done: JANGAN SETRES. Bohonglah jika ada orang yang kena COVID nggak kepikiran tentang kematian. Guepun doanya jadi makin pendek. Yang biasanya minta jodohlah, minta kayalah, minta kurus tanpa perlu dietlah, tiba-tiba berubah jadi cuma minta sembuh bagi seluruh keluarga. Juga ya jangan lalu abai dianggap enteng. Tetap monitor saturasi-tensi-suhu tiga kali sehari.
Tapi bisalah kita kurang-kurang stress yang nggak perlu. Kurang-kuranginlah baca forward-an WA. Blok aja orang-orang yang suka nakut-nakutin, terus menghakimi bahwa orang COVID berarti jalan-jalan keleleran kebahak-bahak di kafe tanpa masker. Mereka tidak lucu. Baca yang lucu-lucu aja.
- Makan
Makan apa? Mpon-mpon? Jahe? Temulawak? Manggis? Minyak kayu putih direbus? Bearbrand? Tolak Angin? Pek Bo Ni? Segala jenis produk MLM? Oseltamivir? Obat cacing? Gue bisa bilang semua makanan yang pada intinya meningkatkan imunitas, bisa membantu melawan COVID pada gejala ringan. Bahkan, tidak makan semua jenis suplemen tapi istirahat cukup dan makan normal, gejala ringan akan hilang sendiri dalam waktu 14 hari. Jadi makan apa sajalah yang enak, yang nggak nyusahin, yang penting MAKAN. Tidak ada orang yang kena COVID, berdiet, lalu selamat. Tidak ada. Nggak napsu makan? Paksa. Muntah? Makan lagi. Makanlah yang disuka. KFC, bobba, ayam geprek, lebih baik daripada tidak makan. Itu penting guna meningkatkan kebahagiaan diri, yang tentunya, kembali pada poin 2 barusan.
- Bergerak
Iya lemes banget sih. Di fase ketiga gue, kami sekeluarga cuma bisa ble’e di meja makan. Lunglai. Sakit. Kehilangan harapan hidup. Si mamih juga sama, tapi dia lebih nggak tahan lihat debu dibandingkan COVID. Maka ia tetap mengepel dengan kondisi batuk parah, demam dan anosmia. Entah karena banyak gerak entah karena beliow makan manggis 20 butir sehari, mamih (69 tahun), satu-satunya anggota keluarga kami yang hasil PCR-nya negatif, lima hari setelah menunjukkan gejala.
Gue sih nggak nyuruh temen-temen sekarang mulai ambil sapu dan beberes rumah. Mamih ekstrim. Ngepel, nyapu, nyuci kamar mandi saat COVID itu ekstrim. Tapi faktor terlalu banyak tidur nampaknya berkontribusi terhadap lambatnya recovery tubuh gue. Gerak-gerak dikit seperti yang di video tiktok, chi kung, taichi, atau sekadar jalan ngiderin rumah kalau kuat di bawah sinar matahari, nampaknya malah bikin bodi lebih fit. Asal jangan pas sesak napas ya..
Apakah ini jaminan sembuh COVID? Ya enggak juga. Virusnya sama gue juga masih pinteran virus. Gue masih mikir, dia dah mutasi lagi. Yang hari ini manjur, besok dilarang. Tapi daripada repot-repot mengikuti anjuran-anjuran yang makin lama makin panjang, bervariasi, dan susah dituruti, mending back to basic. Makan-Gerak-Jangan Stres. Yang penting selesai COVID medical check-up lengkap. Dia suka ninggalin PR buat badan.
Dan suatu hari, ketika semua temen-temen kita udah divaksin, mungkin kita bisa hidup berdamai dengan COVID. Melihatnya seperti mantan pacar. Eksis. Ganggu. Mematikan, tapi kita semua bisa hidup di bumi yang sama jika bisa saling menghindar. And may we be given the chance to see that world.