When The Time Comes

Ada masanya gue menjadi, yang disebut sebagai ‘peminta sumbangan’. Yaitu mereka yang datang pada berbagai pihak, tanpa kenal, tanpa sungkan, menawarkan sebuah proposisi yang sebenarnya tidak menguntungkan pihak lain tersebut, namun berharap mendapatkan sesuatu, berharap pihak tersebut akan merasa kasihan.

 

Orang bilang roda kehidupan berputar. Tapi gue pernah meragukan hal itu. Dari masa SMP hingga kuliah, salah satu tugas gue selalu, dan selalu.. adalah mencari dana. Mulai dari buku tahunan, pentas seni, hingga untuk sekadar mendapatkan poin agar bisa tinggal di asrama kampus.

 

Terkadang, gue bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh orang yang sedang dimintai sumbangan. Gue saja, yang minta, sadar penuh bahwa gue nggak punya penawaran yang OK. Proposal standar yang dibawa biasanya tidak ada ‘nilai jual’ untuk calon klien. Isinya standar, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan budaya, blah-blah. Tapi nggak pernah ada tuh ‘what’s in it for the reader’.

 

Sampai-sampai, guna mencoba memberi justifikasi pada pendonor, gue akan melemparkan temen gue yang unyu-unyu untuk meminta sumbangan (kalau gue yang minta, sudah jelas biarpun ingin menyumbang, buntutnya bisa batal!). Atau berusaha sedemikian mendekatkan relevansi.

 

Pernah satu kali seorang teman meminta dana dengan data bahwa calon pendonor punya istri alumni sekolah kami.

“Ya.. itung-itung kan bantu bekas sekolah istri oom..” demikian teman beralibi

“Enggak, siapa bilang istri saya alumni situ!” jawab si Oom dingin. Meskipun ia tetap menyumbang beberapa juta.

 

Usut punya usut, si Oom baru saja bercerai dari istrinya yang alumni sekolah gue itu.

 

Gue selalu penasaran. Sampai pada akhirnya, tanpa diduga, kesempatan itu datang. Dan ternyata, semua prasangka yang gue terka itu tidak ada yang terjadi pada diri gue. When the time comes, I don’t need reason to help.

 

Teman yang duduk di hadapan, pernah menjadi orang yang dengan sungkan gue mintai bantuannya. Berkat sumbangan ayahnya, gue bisa menerbitkan buku tahunan pertama di SMP gue saat itu, dan selamat dari malu sebagai OSIS yang paling kacrut pada masanya. Ia sendiri mungkin tidak ingat, tapi gue akan selalu ingat, bahwa ia selalu mendukung setiap acara yang gue adakan di SMA.

 

Akibat perputaran nasib, kini beliau berada dalam masa yang lebih sulit. Ayahnya terkena kanker pankreas yang baru terdeteksi setelah sekian lama. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dan sudah berusia lanjut, sedangkan adiknya masih sekolah.

 

Freddy, nama teman gue itu, butuh dana miliaran rupiah untuk pengobatan. Sebagai masyarakat kelas menengah, kartu Jakarta Sehat tidak bisa didapatkan, dan sayangnya juga tidak memiliki asuransi. Padahal dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Keluarganya sudah menjual segala harta, namun masih belum mencukupi.

 

Saat mendengarkan kisahnya, tangan gue masih tremor akibat serangan santet penasaran. Tapi dibandingkan dengan cobaan yang Freddy hadapi, cobaan yang gue hadapi terasa nggak ada apa-apanya.

 

Penyakit manusia, jelas pengobatannya, namun dengan biaya yang sangat tinggi. Tanpa pengobatan, efeknya akan jelas dan tentu saja makin membuat frustrasi korban.

 

Akibat santet juga, gue memang tidak bisa membantu banyak. Banyak nafkah yang lewat akibat pekerjaan yang terbengkalai dan harus dilepas. Belum lagi bisnis herbalife yang terancam gara-gara banyak yang menduga gue sakit gara-gara diet ketat. Nggak tau aja, ada cara lebih cepet untuk ngurusin badan.

 

Namun, mungkin yang juga bisa gue lakukan adalah menulis kisah ini, agar jika ada yang membaca, bisa ikut mendapat kesempatan untuk membantu.

 

Freddy adalah teman gue, nyata orangnya, dan masalahnya juga bukan hoax seperti yang sering beredar di media sosial. Ayahnya sedang membutuhkan bantuan. Berapapun yang bisa diberikan, akan meringankan kesulitan keluarga ini.

 

Freddy bertekad untuk mengembalikan uang yang dipinjam, meskipun mungkin secara bertahap. Kalau diperlukan perjanjian bermateraipun ia bersedia untuk memberi jaminan.

 

Bagi ada yang ingin ikut membantu, bisa mengirimkan bantuan ke:

BCA No Rek 4130289229

Atas nama Freddy Julianto

 

Dan untuk mempermudah dokumentasi saat pengembalian uang, bisa menginfokan berapa yang dikirimkan serta nama lengkap dan nomor rekening via ponsel ke 081514259997.

 

Mungkin ada yang heran mengapa juga gue membantu. Gue kan cuan oriented. Apakah karena sekadar gue sudah pernah ditolong duluan? Apa karena sekadar temen?

 

Gue cuma bisa bilang, karena gue pernah merasa ditolong. Baik oleh keluarga Freddy, maupun oleh orang-orang lain yang mungkin tidak akan pernah gue temui lagi. Alangkah menyenangkan dan melegakannya untuk mengetahui ada hati yang tulus, yang membantu orang yang tidak ia kenal dekat, tanpa ada motif apapun, tanpa mengharapkan imbalan apapun.

 

Namun meski rasanya melegakan, ternyata lebih menyenangkan lagi menjadi orang yang bisa menolong. Karena itu mengindikasikan gue punya hidup yang baik, yang punya banyak hal yang bisa disyukuri.

 

Gue mungkin tidak akan akan dalam posisi membantu yang lain, demikian juga dengan teman gue, tapi gue juga yakin akan ada orang lain yang diberikan, yang punya kemampuan menolong, saat loe membutuhkannya. Dan ketika orang-orang itu muncul, ada perasaan yang sangat menyejukkan.

 

Tidak ada paksaan di sini, tidak ada ancaman masuk neraka blahblah, tidak ada ayobantubiarjadiorangbaik. Gue hanya berharap, jika ada yang membaca dan merasa sebenarnya bisa membantu, setidaknya tersenyum menyadari betapa beruntungnya kita ada dalam posisi yang bisa memberi bantuan.

 

Sehingga jika kesempatan untuk menolong itu datang, be grateful.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *