How to Train a ‘Dragon’

Apa yang harus saya lakukan? Saya telah melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya dengan pacar saya. Awalnya saya tidak mau, tetapi ia terus membujuk dan meyakinkan saya. Akhirnya karena ia menunjukkan perilaku baik, sayapun setuju. Namun setelah itu, ia menjadi berubah. Ia bilang ia tidak lagi menyukai saya seperti dulu. Saya khawatir, saya telah kehilangan keperawanan saya. Apakah yang harus saya lakukan?

Demikian sebuah pertanyaan seorang remaja berusia 16 tahun dalam situs Tanya jawab yang sekarang lagi ngetop di kalangan remaja ibukota. Gue, sedang menguliknya bersama seorang rekan kerja, biar updated terhadap perkembangan teknologi gitu…

“Wah.. masalah anak jaman sekarang banget..” komentar si Mbak.
“Anak loe bukan tuh yang nanya?” gue langsung menyinggung balik
“Bukan, gue udah tau ID-nya anak gue! Gue tau dia nanya apa aja!” si Mbak langsung membela.
“Yee.. ID resminya ada, ini bikin ID baru, buat pertanyaan yang kayak beginian!” Gue menakut-nakuti.
“Nggak-nggak, nggak mungkin!”
“Ya udah, kalau gitu gimana jawabnya?”
“Gue bakal saranin kondom sama pil KB,” jawabnya.
“Wah parah loe Mbak…”
“Lagian masalah kayak gini ditanyain di sini!”
“Ya kali, nanya sama orang tuanya langsung, yang ada dimaki-maki!”
“Orang tua sih, suka begitu, main larang ini itu nggak kasi alesan. Kalau nggak gitu kan mereka pasti curhat di tempat yang benar dan dapet info yang jelas juga!”

Ah, debat soal metode pendidikan anak yang mana yang benar, masih jadi perdebatan yang panjang, dan gue rasa masih panjang juga sampai gue bener-bener punya hak untuk mensahkannya. Masalah mendidik anak itu seperti aturan khusus melatih naga biar nurut. Lumayan tricky dan belum terbukti persis metodenya apa.

Namun dengan banyaknya pertanyaan sejenis yang muncul di situs Tanya jawab, gue jadi bertanya-tanya juga komunikasi seperti apa yang diutarakan nona X kepada orang tuanya.

Apakah berbeda dengan cara gue dibesarkan? Gue, dan juga anaknya si Mbak, sama-sama nggak pernah punya pertanyaan yang datang terlambat itu, apalagi di situs Tanya-jawab. Biasanya, kalau bertanya sesuatu boleh atau enggak, gue akan segera mendapatkan penjelasan rinci tentang sesuatu yang akan gue lakukan.

Gue bisa kebayang kalau pertanyaan sejenis diajukan si mamih, pernyataan yang akan keluar (dan pernah keluar) perihal kalau hamil di luar nikah, adalah:

Ya teserah, badan-badan kalian. Tapi asal inget aja, susu bayi tuh sekarang mahal. Sekaleng yang bagus 200 ribu, itu pun abis paling 10 hari sekali. Uda gitu, sekolah juga mahal. Tau nggak uang pangkal TK kemarin aja itu 15 juta, belom lagi uang sekolahnya sekitar 300 ribu. Padahal, gaji lulusan SMA itu cuma paling banter 1,5 juta. Kecuali kalau suaminya kaya, tapi yaa.. paling SMA juga kan? Ya kalau digabung 3 juta. Itupun kerja banting tulang lembur semaleman berangkat jam 5 pagi pulang jam 10 malem. Dan jangan ngandelin orang tua ya, mami tuh punya 3 anak perempuan. Udah bosen ngeliat anak kecil!

Atau tentang narkoba:

Teserah, mau pake apa kek asal jangan nyusahin! Ehh..tau nggak kalau mati pun pake ongkos!Peti mati itu paling polos aja 3 juta, belom lagi biaya kuburan, itu per taon! Kalau nggak dibayar bisa langsung digusur ditumpuk sama orang lain! Biarin aja di jalanan dimakanin anjing-anjing. Lagian, ada 3 anak perempuan, 1 rusak masih ada 2 lagi! Kecuali kalau 3-3nya udah abis, ya mungkin nanti dipikir-pikir…

Atau tentang putus sekolah:

Pokoknya biaya sekolah ditanggung sampai umur 22 tahun ya, masing-masing jatahnya sama Lebih dari itu, silakan tanggung sendiri. Kalau mau males-males, jadinya masa sekolahnya panjang, teserah. Kalau mau master, cari beasiswa. Tapi inget, kuliah 3 taon nggak lulus sama 1 taon biasanya beda gajinya cuma dikit. Lagian biaya kuliah itu tiap taon bukannya tambah murah malah tambah mahal!

Gue tidak pernah dilarang melakukan apapun juga. Yang ada, gue hanya diberi tahu segala konsekuensi menakutkan dari hal-hal yang biasanya dilarang itu, dan dipastikan jika melakukan, dapat bertanggung jawab atas konsekuensi tersebut.

Sudah kebayang, bagi ibu-ibu teman gue di masanya, atau bahkan di masa sekarang, gue sering dinilai sebagai anak yang dibiarkan bebas liar awur-awuran. Gue boleh melakukan apa saja, dengan siapa saja, sampai jam berapa saja. Jam malam gue cenderung lebih fleksibel dibandingkan teman sebaya masa itu. Gue bisa mencoba ini itu.

Tak heran, bagi ibu seorang kenalan, yang telah dilabrak di masa hidupnya, kami itu tidak diberi pendidikan yang cukup. Makanya jadinya keleleran sama orang yang nggak berbibit-bebet-bobot (baca: Ras dan agama yang beda), dan akhirnya jadi orang yang keleleran juga.

Namun anehnya, gue kok melihat anak-anak lain yang diberi jam malam, dilarang ini itu, dikekang sgala macam, malah banyak yang hamdun duluan. Dari sisi prestasi juga nggak bagus-bagus amat. Nggak yang jadi lulus kuliah lebih cepet atau lebih sakses.

Sedangkan gue, karena gue tahu bener emak kita bakal tega, jadi berhati-hati dalam memilih. Tetep bandel karena bisa mengatasi konsekuensi, atau tidak jadi bandel karena tahu konsekuensinya. Yah, jadinya 11-12 lah sama yang dilarang-larang.

Bukan congkak bukan sombong, gue tidak narkoba bahkan tidak merokok (karena mahal), lulus tepat waktu (setahun lebih cepat dan menikmati setahun itu leha-leha dalam biaya orang tua) dan sampai sekarang, belum ada pria yang menghamili.

Gue sih nggak bilang metode gue dibesarkan yang paling baik. Toh banyak ibu yang tidak mengharapkan anaknya berkembang menjadi semacam gue itu. Mungkin memang cocok metode tidak dilarang untuk keluarga gue, karena seperti kata si mamih, “anak-anak keluarga ini, dilarang melakukan, toh akan melakukan juga…”

Atau cocok metode penuh larangan untuk mereka yang nurut sentausa. Gue menjadi saksi mata teman-teman gue di jelang umur 30 masih punya jam malam di rumah orang tua. Jam 11 malam. Dan mereka nurut.

Katanya lagi, metode tidak melarang itu hanya sakses kalau orang tuanya TEGA. Kalau nggak tegaan, alamat dilihat lembek, lalu anaknya akan keleleran sesuka hati itu.

Apapun metode yang dipilih, gue melihat yg esensial adalah bagaimana seseorang melihat anaknya, sebagai hak, atau sebagai kewajiban?

Sangat sulit untuk tidak melihat apa yang keluar dari badan sendiri sebagai miliknya. Digedein dari nggak berdaya, meregang nyawa berjam-jam, bagaimana si anak itu tidak jadi hak?

Karena jadi hak, sudah pasti dijaga baik-baik. Gue boleh melakukan apapun yang gue mau karena gue ber-HAK. Gue akan menyuruh melakukan ini dan itu, karena itu milik gue. Gue juga akan melarang ini dan itu karena itu milik gue.

Sayangnya, yang dimiliki benda hidup. Makin lama makin pinter, makin jago ngeles dan bohong. Akhirnya berontak. Dan, seperti apa yang gue lihat, toh tetep berdiri bersisian dengan gue di lantai dansa.

Atau kebalikannya. Karena merasa hak milik, jadi sayang. Pengennya dirawat, dan dilindungi. Semua diturutin karena kasihan. Buntutnya anaknya jadi manja, nggak bisa jaga diri karena nggak dididik, macam di sinetron-sinetron anak orang kaya yang jahat itu.

Kenyataannya, gue dibesarkan, lebih sebagai sebuah kewajiban. Dan karenanya, penekanannya justru lebih pada apa yang harus dilakukan dibandingkan apa yang harus anak itu lakukan. Toh, kita lebih mudah mengabaikan kewajiban daripada hak.

Adalah kewajiban orang tua untuk mengajari anaknya yang baik atau yang benar. Perkara nantinya bener atau engga, sudah jadi urusan si anak. Adalah kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anak. Perkara nanti setelah lulus bisa jadi orang yang membahagiakan orang tua, itu mah bonus aja.

Itulah sebabnya maka sikap TEGA bisa muncul. Ketika masih kecil, kakak ingin punya orgen, seperti di rumah-rumah orang kaya itu. Kata mamih, kalau minta barang berarti harus bisa tanggung jawab. Harus bisa merawat, harus rajin latihan. Kami bertiga latihan orgen sampai SMA. Pantang absen tiap minggu.

Kami tidak pernah minta apa-apa lagi.

Kalau begitu, ada yang gagal dong. Semua orang tua selalu nyuruh anaknya cepet nikah. Tapi gue kok nggak kawin-kawin? Ah itu juga nggak pernah diminta. Kata si mamih, mending nggak nikah daripada buntutnya nikah sama orang yang nggak bener, ditabokin, miskin, terus nyusahin orang tua lagi.

Kali ini, karena sudah mulai tua dan bebal, gue cuek-cuek aja. Ya udah kan masih ada sudara. Santai aja, emang belum ada yg bener sich, katanya suruh nyari yang bener! Lalu suatu hari ketika gue pulang ke rumah, lemari pakaian gue sudah hilang. Seluruh pakaian gue berada dalam kantong plastik besar ditumpuk-tumpuk.

“Udah deh, kalian pada taroh di rumah sendiri-sendiri, jangan ngandelin rumah orang tua mulu! Mami umur 22 uda keluar dari rumah uda ngurus hidup sendiri. Masa sekarang mami ngurusin kamu sampe tua begini sih!”

Achh..konsekuensi! Gue harus mencari rumah yang bisa gue urus sendiri, padahal gue baru punya bachelor pad mini yang cuma jadi apartemen  hura-hura! Mana belom ada pula yang mau menampung gue di rumahnya!

Kira-kira, apa solusinya di situs Tanya-jawab, ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *