Tuhan yang suka menghukum

Sungguhlah orang sombong akan direndahkan. Prestasi di bidang gosip yang amat gue bangga-banggakan ternyata kalah dengan hanya seorang hansip. Zaenudin, atau Udin-lah yang dapat mengetahui dan punya pengaruh untuk menyebarkan siapa yang berselingkuh, berpacaran diam-diam, kawin siri, pulang pagi, atau beli kulkas baru di RT 010/ RW 002 yang termasyur.

 

Seperti pagi ini, Hansip Udin mendekati gue guna memberi update tentang gossip seputar rumah tangga orang.

“Bu, tau nggak, si Pak Imun sekarang buta,” Hansip Udin bicara bisik-bisik ala tetangga bawel.

“Oh ya? Kok bisa?” Gue menghentikan kegiatan membuka pagar.
“Dikutuk istri !”

“Masa sih?” gue semakin tertarik.

“Iya! Dia mengabaikan istri pertamanya! Ibu tahu sendiri, mulut perempuan itu tajam!”
“Emang butanya gimana?”
“Katarak”
“YEEEE..katarak mah bukan kutukan istri, atuh!” gue protes. Tapi Udin terus berusaha meyakinkan, bahwa kebutaan Pak Imun adalah akibat dihukum Tuhan setelah melalaikan istri pertamanya.

 

Di masa yang lain, giliran rekan Hansip Roberto yang jadi korban gossip pagi hari Hansip Udin.

“Ibu tahu, Roberto kalau meninggal nggak bakal diterima kubur!”
“Emang kenapa, Din?”

“Karena dia suka ngutang!” Emang Udin ga suka ngutang? Gue bertanya dalam hati. Tapi belum sempat menanggapi, Udin sudah kembali menjelaskan teorinya.

“Jadi gini bu, kalau orang suka ngutang itu, nanti kuburannya kan uda digali 2 meter, itu nggak muat! Digali lagi 3 meter, ga muat lagi! Pokoknya teruuuussss sampai puluhan meter, nggak akan bisa masuk kubur kalau belum bayar hutang!” Jelasnya sambil menggerak-gerakkan tangan menggambarkan kuburan seluas-luasnya.

“Yee..itu mah sekalian aja dijadiin kuburan masal!” Gue melengos pergi sambil membayangkan satu kelapa gading dikeruk untuk kuburan penunggak hutang.

 

Kadang, mendengar gossip pagi hari Udin memang membuat gue prihatin. Jika diperhatikan, gossip Udin selalu punya petuah moril sedikit mistis mirip sinetron seperti religi yang sempat marak di TV. Membuat gue gregetan dengan siapa lagi yang sok pintar melakukan pembodohan masyarakat. Tau nggak hansip kesayangan gue jadi korban!

 

Gue sempat merasa lega ketika sinetron  “Menantu Jahat Dimakan Belatung”, “Mertua menjual menantu”, “Azab Sang Pelacur”, “Kisah Ibu Kejam” hingga “Anak Durhaka Ditolak Kubur” ratingnya turun hingga tak lagi tayang. Berharap para pembantu dan gue tak lagi dibodoh-bodohi dan disiksa. Habis menontonnya saja membuat gue merasa seperti sedang dihukum Tuhan.

 

Tapi bahkan setelah dua tahun film macam itu tak lagi diputar di layar kaca, dampaknya masih bisa dirasakan di lingkungan tempat tinggal gue sendiri! Metode mengajar agama di bawah ancaman belatung rupanya masih dianggap paling efektif, sehingga banyak tokoh dan publikasi yang menerapkan kurikulum sedemikian.

 

Coba aja melirik trend ceramah masa kini. Gempa sebagai hukuman Tuhan. Gunung meletus karena Tuhan marah. Kiamat karena manusia jahat. Gedung runtuh karena takabur. Tentunya tidak mungkin semua itu terjadi tanpa sepengetahuan Tuhan. Tapi siapa yang bisa menebak maksudnya yang Empunya jagad? Mengapa segala tindakan Tuhan seolah cuma terbagi berdasarkan dua kategori saja: Hukuman dan Hadiah?

 

Bukan gue meragukan kemanjuran taktik sedemikian. Bikin takut emang paling bisa membuat orang taat. Akibat percaya bahwa Pak Imun buta karena dikutuk istri, Hansip Udin menjadi suami yang lurus dan tidak macem-macem. Dia takut karena percaya istrinya istri punya kekuatan menghukum jika dizholimi.

 

Gue pun harus mengakui pernah bersumpah menjadi anak yang baik selamanya di usia 5 tahun setelah membaca sebuah komik yang dibagikan perkumpulan doa seorang kawan. Dalam buku saku berukuran 10x 5cm itu digambarkan hidup seorang anak nakal.

 

Lalu…di halaman terakhir… tergambar anak tersebut dilempar ke dalam lautan api neraka yang menyala-nyala. Di dalam lidah api yang menjilat-jilat itu ada berbagai orang yang berjuang melawan derita, sambil menjerit… Panas..sakiiiit…AMPUUUnnn… Diakhiri petuah: “KINI, TAK ADA YANG DAPAT MENOLONGMU KELUAR DARI SINI!”

 

Ilustrasi panasnya api neraka itu terus menerus menghantui setiap mimpi buruk gue hingga masuk usia pubertas. Itu adalah persumpahan menjadi orang yang lebih baik terlama yang pernah gue lakukan. Hingga kini, tak ada lagi yang bisa membuat gue begitu bersungguh-sungguh.

 

Tapi, belasan tahun setelah gambaran api neraka itu padam gue jadi bertanya-tanya apakah sungguh persumpahan itu membawa gue menjadi anak yang lebih baik. Gue baik karena gue takut, bukan karena gue sadar bahwa dengan berbuat baik gue menyenangkan orang di sekitar gue, thus, the Lord.

 

Macamnya kata rekan kerja, membeli software asli karena takut disidak di bandara, bukan karena sadar bahwa software asli punya kualitas dan servis yang lebih baik dari yang bajakan. Jika kemudian angka pembajakan menurun, tidak bisa jadi tolak ukur meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Mereka cuma takut saja…

 

Mengajar agama dengan shock terapy itu memang mudah. Mertua jahat dimakan belatung. Orang ngemplang ngutang ditolak kubur. Rentenir bakal dibungkus perut sapi. Jahat-dihukum. Mudah diingat dan dipahami. Tapi, sejak kapan belajar agama itu harus instan, ada kelas akselerasinya? Jangan-jangan, karena mencari gampangnya, hal mendasar tentang agama itu jadi terlewatkan. Bahkan tentang siapa Tuhan itu jadi rancu.

 

Bukankah dengan cara mengajar instan tersebut citra Tuhan jadi tercoreng? Tuhan dalam film dan pengajaran itu menjadi Tuhan yang kejam. Tuhan yang suka menghukum. Kesabaran-Nya terbatas dan begitu dilanggar, Ia akan memberi penderitaan tiada tara.

 

Padahal, sebagai orang berdosa, gue tentunya kurang suka pencitraan macam ini. Kalau memang benar Tuhan semacam itu, tentunya gue sudah ditumbuhi bisul-bisul bernanah sekujur tubuh. Untungnya Tuhan, di jaman modern ini, yang bukan manifestasi dewa-dewi kuno, ternyata baik. Ia pemaaf dan suara-Nya lembut. Ia menegur dengan cara yang halus. Selalu ada kesempatan untuk kembali. Never is too late.

 

Gue khawatir, seperti Hansip Udin, dengan pengajaran system ancaman, gue menjadi taat, tapi karena takut. Padahal, siapa yang suka sama tirani? Jangan-jangan sanking takutnya, Tuhan jadi seperti diktator, pemimpin yang ditakuti tapi tidak dicintai.

 

Tapi siapalah gue ngomongin Tuhan. Mungkin setelah ini, gue berakhir menulis “Kisah Rumah Saudagar Kaya Dimakan Rayap” atau “Jeritan Kubur Wanita Murahan”. Atau lebih ngeri lagi, Tuhan justru sedang menyiapkan hukuman untuk mulut nyinyir gue ini. Lalu Hansip Udin langsung sibuk menyebarkannya ke segenap warga, anak Pak RT dihukum Tuhan karena suka ngomongin hansip….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *