Turning Back the Biological Clock

“Jadi loe mau ngambil paket yang mana? 5, 10, apa 15 tahun?” seorang teman bertanya sambil membolak-balik pamflet bewarna biru muda itu
“Maksimum 10 lah! Gila aja, 15 taon lagi loe udah 45, emang loe mau punya anak umur 45! Pas anak loe lulus SD loe udah pensiun!” Gue balas mencetus.

 

Mengawali tahun yang baru ini ada dua hal yang perlu kami antisipasi. Pertama, I’m turning 30, usia keramat bagi kaum perempuan. Kedua, pernikahan sepupu perempuan terakhir. Gue perlu menyiapkan solusi atas isu yang mungkin diangkat: Pembekuan sel telur.

Gue sudah mengantisipasi wejangan yang akan semakin sering didengar. Jadi perempuan itu harus ingat kodrat, kamu nggak selamanya bisa punya anak. Suatu hari nanti jam biologis kami akan memanggil dan saat itu kamu akan menyesal.

 

Coba kalau kamu nikah sekarang aja, belum tentu langsung dikasi. lalu punya anak umur 35, napasnya udah nggak kuat, susah ngelahirin normal, anaknya berisiko, bisa autis, bisa bego, bisa downsyndrome. Blah-blah-blah.

 

Membuat gue sempat berpikir, ya elah, kesian amat sih anak gue, belom keliatan wujudnya aja udah disumpahin macem-macem!

 

Dan kalau berkesempatan beranak pinak adalah satu-satunya alasan untuk memburu gue segera menikah di usia baru ini, let’s just solve the problem! Membekukan sel telur akan memberi gue kesempatan memiliki anak, tanpa perlu buru-buru menikah SEKARANG JUGA.

 

Tentu saja, ide gila ini langsung direspon dengan cibiran masyarakat Indonesia. Ah, itu pemikiran egois seorang perempuan modern. Dia cuma memikirkan pencapaian pribadinya saja. Mau punya anak pas karirnya sudah OK. Tanpa peduli anak itu tidak akan didampingi orang tua selama itu dan tanpa orang tua yang lengkap.

 

Lah, pegimana sih, gue merespon dalam hati. Justru karena gue sangat peduli dengan nasib anak gue nantinya, gue mengambil opsi ini. Denger-denger, setiap perempuan pasti punya mother instinct, selaki apapun dia. Gue yakin, suatu hari nanti gue akan kepingin punya anak.

 

Namun bukan semata kepingin lalu gue sanggup. Gue sadar bahwa akan lebih baik jika seorang anak lahir dalam keluarga yang tepat, dengan figur ayah dan ibu, makanya gue gak punya anak saat ini.

 

Karena gue belum ketemu calon bapaknya atau kalau ada, calon bapaknya nggak bersedia. Kan gue juga nggak bisa maksa hanya semata supaya punya anak di waktu yang tepat!

 

Di saat yang bersamaan gue mempersiapkan diri agar sanggup membesarkan sang anak seorang diri. Nah selama gue siap-siap itu, sang anak yang lagi dicita-citakan juga nggak bakal menerima risiko tambahan. Ia tetap akan berasal dari kesehatan seorang ibu berusia 30 tahun. Bahkan, bisa pilih profil bapaknya seperti di online dating.

 

Dan kalau soal usia pendampingan, itulah mengapa gue memilih paket 10 tahun, bukan 15 tahun. Jika gue memutuskan memiliki anak di usia 40 tahun, gue akan punya waktu 15 tahun hingga masuk pendidikan SMU sebelum gue pensiun. Sambil gue juga akan melengkapi tabungan pendidikannya hingga S1.

 

Lantas, apakah dengan demikian gue sudah bertekad bulat menutup diri? Tidak akan menikah dan berkomitmen terhadap dunia?

 

Pernyataan ini bagi gue sama seperti anggapan bahwa kita membeli asuransi karena berharap sakit. Atau menabung pangkal bangkrut. Padahal kita membeli asuransi karena tahu bahwa sebanyak kita nggak pingin sakit, kita juga tidak bisa menghindarinya begitu saja.

 

Gue tidak membekukan sel telur karena gue mantab tidak menikah. Gue membekukan, karena gue nggak tahu if there will be anyone out there who could move me to get married. Yang di saat bersamaan, that guy is crazy enough to marry me. Atau jika orang itu datangnya terlambat 10 tahun dari jam yang ditentukan.

 

Kalau ternyata hal-hal yang tidak diharapkan itu tidak terjadi, ya lebih bagus! Mungkin sel telur umur 30 tetap lebih baik daripada umur 35, dan masih bisa dipakai juga.

 

Tentu saja, tidak ada yang pasti di dunia ini. Yang kepengen punya anak aja belum tentu dikasi. Tapi gue akan punya kesempatan yang sama untuk punya anak ketika gue siap. Supaya gue tidak menyesal. Bukankah itu satu-satunya hal yang dikhawatirkan bangsa Indonesia?

 

Ah itu mah alesan aja, loe emang sekadar nggak mau punya anak!

Ya mungkin, gue berpikir, hanya gue nggak yakin itu kejujuran favorit masyarakat kebanyakan.

 

Suatu kali gue ditanya apa yang jadi impian gue di masa mendatang. Gue menjawab sebuah rumah di tepi laut, dengan ombak yang tenang dan pasir yang halus.

 

Gue setiap pagi bisa pergi berenang lalu membaca buku santai di pinggir pantai. Gue akan membuka penginapan kecil untuk penghidupan. Not much, but it’s enough. Lalu gue bisa memantau bisnis dari kejauhan sambil menulis yang gue suka.

 

“Lha trus anak loe gimana? Sekolahnya di mana? Mana bisa loe tinggal berenang, dia pasti ikutan berenang trus tenggelem. Trus pas loe baca buku, mana bisa tenang, dia pasti robek-robek majalah sambil lari-lari,” impian gue mendadak buyar mendengar komentar teman.

 

Mungkin benar, gue memang belum memasukkan unsur anak ke dalam rencana masa depan. Tiga hari tidak berhenti muntah hingga melewatkan malam tahun baru setelah berlibur bersama ponakan seolah mengkonfirmasi hal ini.

 

No, I love my niece. Dan gue yakin gue akan sangat menyayangi anak gue suatu saat nanti, atau saat kepepet. Tapi thanks to the frozen eggs, I don’t have to make that option now.

 

Karena sampai waktu tersebut datang, gue sudah punya jawaban pamungkas untuk pertanyaan dan tuntutan orang-orang. Makan tuh biological clock!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *