I swear this kind of things only happen to me.
Saat gue mengetahui bahwa rancangan meng-‘umroh’-kan orang tua ke Eropa adalah sama dengan rencana seorang kenalan, whom I shared living quarter before, berbulan madu, gue tidak punya perasaan jelek sama sekali.
Bahkan meski ada peristiwa ganjil saat beliau menyatakan bahwa yang ia rasakan pada gue sungguhlah cinta, lewat messenger-setelah bertahun-tahun tak terdengar kabar- dua minggu sebelum pernikahannya, gue tetap positif.
Kegiatan beliau, pasti banyak ke tempat yang romantis, namanya juga honeymoon. Sedangkan gue, jelas sebuah perjalanan ibadah, meski kedua orang tua punya pikiran berbeda terhadap apa yang dianggap sebagai tanah suci (Ayah: Lourdes, Ibu: Paris). Lagipula, Eropa kan luas. Seorang bekas rekan kerja juga akan bulan madu ke sana. Semua orang bisa berbulan madu ke Eropa.
Namun saat berdiri di hadapan tembok Vatikan nan agung, berpapasan dengan pasangan pengantin baru tersebut, gue tahu gue salah. Eropa tidaklah seluas itu. Dunia tidak seluas itu. Bekas pemain drama, sontak gue langsung berpura-pura mengagumi tembok Vatikan as if gue belum mengelilinginya lima kali sehari lantaran setiap kali nyasar selalu ketemu kompleks ini.
Gagal. Maka terlibatlah gue dalam percakapan basa-basi terbasi dalam hidup, gue dengan baju siap ibadah diapit kedua orang tua dengan manis, dan sang mantan digandeng istri barunya yang juga manis, dengan baju romantisnya, if you know what I mean.
“ Hei! Whoa…Never thought we’d visit Vatican at the same day. Margie, this is my wife.”
dengan keramahan yang dibuat-buat. “Hi!”
“This is Margie. She was…mmmm…my schoolmate.”
Gue memberi tatapan yang berkata: you made it sounds as if we were primary school friends! Depan Vatikan ga boleh bohong lho!
“As in, close schoolmate, we were doing… well…some kind of projects together,” mantan meralat, sambil menghindari tatapan mata.
“That’s fascinating!” ujar istri baru dengan wajah berbinar-binar, mungkin juga dibuat-buat.
You won’t find it fascinating if you know what kind of projects exactly we were in, or what your husband said two weeks ago. Diam! Diam! Gue sedang dalam tur rohani, nggak boleh nyinyir ! Nggak boleh kayak setan ! Nggak boleh merusak kebahagiaan orang lain ! Gue berusaha mengalihkan pikiran.
“Are you on honeymoon too?” tanya istri baru dengan binar yang konstan.
“No, I’m, well, with my parents.”
“Oh, that’s fascinating too.”
“Yeah, that’s FAS-CI-NA-TING!” Gue tersenyum, lalu, berusaha menghindari kecanggungan atau menyebut kata fascinating 100 kali lagi, pamit.
Gue pikir hal unfortunate macam ini sudah tidak akan lagi terjadi lagi. Beberapa mungkin menyadari adanya rentang jarak yang jauh antara posting terakhir dan posting ini dalam blog. Seiring dengan reformasi diri, gue merasa blog yang banyak terisi oleh bercandaan Tuhan yang terpusat pada satu gadis malang bernama Margie sudah tidak relevan lagi.
Gue sudah bukan lagi anak pengangguran yang punya seluruh waktu di dunia untuk mencela dunia tersebut. Gue mendapatkan kerja kantoran, dan bahkan seseorang yang gue klaim sebagai my own. Sesuatu yang dulu selalu gue hindari dengan alasan, tiada yang lebih berhak mengaku milik daripada ibu yang melahirkan dia…
Pemikiran ini mulai muncul saat menghadiri sebuah pesta kantor dan mengamati beberapa rekan kerja mabuk lalu menyatakan hal yang disesali dalam lingkungan profesional. Saat itu gue cukup terkejut dengan perubahan dalam diri. Dua-tiga tahun sebelumnya saja, gue adalah salah satu dari mereka. Gue akan rakus minum dan pingsan dan bangun di kamar entah siapa dengan merepotkan satu kantor.
Tapi sekarang, gue hanya mengamati. Tentu saja, usia kami tidak jauh terpaut. But then again, gue berkutat melawan jerawat di usia 10 tahun. Saat anak kecil lainnya dianjurkan tidak bicara pada orang asing, gue keleleran di jalanan negeri orang dan menanggapi orang asing untuk melancarkan bahasa Inggris.
Mungkin, dengan perkembangan lebih dini, gue juga tua lebih dini. Sehingga di usia belia 25 tahun gue bisa berkata, this is it! This is the end of the wacky and wonderful life of Margie! Tidak ada lagi pesta pora dan kegilaan! Please welcome the new Margie. The wiser, more considerate, perhaps boring Margie.
Saat bergosip, gue takkan lagi mendengar cerita tentang hubungan satu malam yang menggaungkan nama kantor subsidier di jaringan regional, lebih dari prestasi subsidier negara. Kami akan berbagi tips sukses karir dan masa depan internet. I’m settling down.
Tapi saat menatap pengantin baru yang sedang saling foto, gue menyadari, that IS settling down. Punya pacar dengan nama yang sama selama lebih dari dua bulan, menikah, punya anak, mencari pekerjaan yang stabil. Sedangkan mencari kerja yang ekstra berisiko, ngeceng di bar financial centre hingga subuh, dan membawa orang tua pergi karena memang, selalu available, that IS NOT settling down.
Gue tidak habis pikir. Dengan masuknya gue dalam kehidupan yang rutin, bosan, dan normal itu, logikanya gue akan dijauhkan dari drama atau kejadian aneh yang tidak lucu seperti bertemu dengan mantan pacar yang dua minggu lalu menyatakan cinta saat bulan madu, dengan gue yang sedang tur rohani, di hadapan landmark semacam Basilika Santo Petrus. Mengapa gue tidak jadi tua dan dewasa?
Sesuai dengan tema tur rohani, gue mulai merenung dan berefleksi dan mendapati…bahwa sebanyak gue mengklaim dan mempercayainya, gue belum sepenuhnya ingin menjadi tua dan dewasa. Tentu saja, bukan berarti gue tidak menginginkan berada dalam posisi si istri baru sama sekali.
Gue si siti sirik, tentu saja sewot karena hingga detik ini, tidak ada tanda-tanda pria yang akan mengajak honeymoon ke Roma akan datang. Sengit karena meski sudah berdoa khusuk memohon dalam katedral Notre Damme de Paris, bukan gue yang menikah di dalamnya tahun ini. Keki, karena kesempatan itu, bisa saja jadi milik gue, jika gue menyatakan hal yang tepat, dua minggu lalu.
Tapi di sisi lain, saat melihat seseorang yang nyaris menjadi bagian hidup, bersama wanita lain, gue bersyukur gue bukan wanita itu. Karena jika iya, gue akan menjalani hidup berumah tangga, tidak berani mengambil risiko dalam kerja serta harus bersama dengan satu orang, till death do us part, di usia 25 tahun atau mungkin lebih cepat. Kenyataannya, I don’t want to grow mature and settle down.
Being old is relative. It’s not about how old are you, but how old do you feel you are. Seseorang bisa menjadi tua atau muda tanpa peduli berapa usianya, sesuai dengan bagaimana orang tersebut melihat dirinya. Memang ada usia di KTP yang mengindikasikan ketuaan secara raga. Tapi usia jiwa, ditentukan oleh spirit dan cara berpikir.
Itulah sebabnya terkadang ada kakak tertua, selisih umur nyaris 10 tahun, tapi terlihat lebih muda dibandingkan adik-adiknya. Atau terkadang seseorang berusia 40an, namun terlihat seperti 70 tahun karena memikul beban 70 tahun.
Seseorang yang berusia 35 tahun bisa saja menganggap dirinya sangat tua dan berkutat dengan rematik serta penyakit usia renta lainnya. Sedangkan orang lain yang sama-sama berusia 35 tahun, bisa menganggap dirinya ‘belum siap’ untuk hal-hal kedewasaan dan dinobatkan jadi Chief Entertainment Officer.
You decide on your age. Tidak ada orang yang bisa memberi tahu orang lain akan usia dan ketuaan yang dihadapinya. Gue mengklaim jadi tua, karena diberitahu virus campak, tifus, demam berdarah dan gangguan liver yang berpesta pora dalam momen yang sama di tubuh gue sebulan yang lalu. Tapi dalam diri, gue tidak punya niat merasa tua.
Daripada menjawab Yes pada sebuah lamaran, gue menjawab santai bahwa ‘pernyataan Anda sudah kehilangan relevansinya dua tahun yang lalu’. Daripada tinggal diam di satu kerjaan, gue mengejar pekerjaan baru yang gue sukai.
I decide to be young. Tentu saja ada beberapa kondisi biologis yang tidak bisa dihindari, seperti liver yang terlalu keras bekerja sejak usia belasan agar tak lagi terkena gangguan hati untuk yang keenam kalinya. But I’m ready to embrace all the wonders of youthful life. Bahkan meski harus bertemu mantan pacar entah yang mana di tempat suci lainnya. Entah karena punya terlalu banyak mantan pacar, atau sekadar sial saja.