Waktunya Hamil, Girls!

“Keluhannya apa, Mbak?” tanya Pak Dokter simpatik pada Jeung Wi, seorang teman.

“Mual-mual, sama kadang muntah Dok,” jawab Jeung Wi

“Ohh.. kita tes kehamilan ya?” Pak Dokter menawarakan.

“Nggak usah Dok, saya nggak hamil kok,” jawab Jeung Wi yakin.

“Ahh, nggak apa-apa, sudah umurnya kok,” Pak Dokter meyakinkan.

“Ya tapi saya nggak mungkin hamil, Dok!” Jeung Wi ngotot.

“Ahh, nggak apa-apa, nanti kalau hamil saya bantu deh ngomong ke orang tua!”

“Dok, saya tuh terakhir ML 3 bulan yang lalu!” Jeung Wi makin kesal.

“Ahh, nggak apa-apa, kalau ternyata hasilnya negatif saya yang bayar deh tesnya..”
Tidak tahu mau berkata apa lagi, Jeung Wi menyerah pada tes kehamilan. Dan karena Jeung Wi bukan sebangsa hemaprodit, hasilnya negatif.

 

Ketika menceritakan pengalamannya, kami semua tertawa terbahak-bahak.

“Gue rasa ini gegara film-film Indonesia deh, kalau ada apa-apa, pastiii buntutnya hamil! It’s like you can’t miss a single intercourse without being pregnant,”  komentar seorang teman, mengacu pada referensi budaya. Hal ini menyebabkan dokter-dokter Indonesia selalu menawarkan tes kehamilan pada pasien perempuannya yang sakit mual-mual.

“Asia kali! Kasus gue kan di Singapur!” Gue menimpali. Dites hamil saat muntah-muntah? Checked. TIGA KALI. Ketiga gue pulang membawa semua hasil tes itu, dokter di Indonesia sampai heran. Ni di Singapur pergaulan bebas amat kali ya? Sampai dites 3 kali, komentarnya. Waktu itu gue baru berusia 20 tahun.

 

“Oh, kalau di Indo kalau di bawah 22 belum dites hamil Gy! Tapi kalau di atas itu mulai deh, kena maag sedikit dituduh hamil!” Timpal Yoshinoya, seorang temen yang lain. AHA! Jadi ini masalah usia lagi neh? Bahwa di satu range usia tertentu, semua perempuan harusnya hamil dong, lah udah waktunya…

 

Perempuan era milenial, bahkan yang milenial pinggir macam kami, jelas paham soal biological clock.Ya. Ya. Ya. Tidak seperti laki-laki, perempuan akan punya batasan usia  untuk prokreasi. Menyebalkan dan tidak adil? Ya sedikit. Tapi gue sudah belajar untuk menerima kenyataan ini dari puluhan tahun yang lalu.

 

Yang masih bikin kagok? Bahwa meski lahir di era informasi merajalela, perempuan dianggap tidak menyadari hal ini. Atau kalaupun sadar, tidak menyadari konsekuensi atas keputusan melewati biological clock tersebut,  sehingga harus diingatkan terus dan terus dan terus.

 

Makin nyebelin, ketika yang mengingatkan adalah para petugas medis, yang seharusnya bersikap objektif terhadap pasiennya. Yang seharusnya hanya memberi saran berdasarkan kondisi medis seseorang.

 

Tapi tidak, dokter hanya manusia biasa. Mereka terjebak dalam stereotip, dan memaksakan apa yang dianggap baik menurut masyarakat. Waktunya menikah lho… Waktunya hamil lho… waktunya punya anak lho…

 

Yoshinoya pernah diomelin karena setelah berusia 35 ia belum juga melahirkan. Suatu hari ia memeriksakan diri pada Obgyn, dokter spesialis kandungan, untuk mengecek dugaan kista dalam rahimnya. Dokter itu memeriksa dan memastikan dugaan tersebut. Solusinya? Kista akan hilang atau keluar sendiri saat Yoshinoya melahirkan.

 

“Lah kalau belum punya suami?” Yoshinoya bertanya.
“Ya buruan cari lah Bu, lagian gimana sih umur segini belum punya anak, makanya muncul yang aneh-aneh!”

 

Mungkin juga sih, tapiii… tapiiii.. apakah punya suami abusif karena buru-buru menikah lebih baik daripada bayar operasi pengangkatan kista? Apakah tidak mungkin perempuan menyadari waktu tubuhnya sendiri, menjaga diri dan memutuskan secara sadar dan bahagia untuk tidak menikah, tidak hamil dan tidak punya anak?

 

Saat gue mengira yang terburuk adalah harus melalui tes kehamilan 3 kali setelah muntah-muntah selama tiga minggu, atau diomelin karena nggak punya anak, ternyata ada teman lain yang dituduh dokter, bahkan untuk sesuatu yang menurut stereotip Asia harusnya bagus.

 

Setelah menyatakan keluhannya, dokter menyuruh Miss Vi, teman kuliah, untuk duduk di tempat pemeriksaan. Saat sedang enak-enaknya ngengkes, Miss Vi melihat si dokter sedang mempersiapkan alat yang modelannya kayak alat papsmear.

“Ehh apaan tuh? Saya mau diapain? Di-papsmear ya?” tanyanya.

“Iya,” sang dokter menjawab, seolah berkata, doech, emang apaan lagi deh ah..

“Papsmear bukannya bisa merusak selaput dara?” protes Miss Vi.

“Ya kalau masih ada memang bisa merusak,” jawab dokter tenang.

“Kalau gitu jangan dong! Saya kan masih perawan!”

“Mana mungkin sih? Umur segini masih perawan!” si dokter misuh-misuh.

 

Miss Vi Cuma bisa melotot-mendelik dalam keadaan ngangkang. Nyaris keperawanannya direnggut alat papsmear sama dokter botak. Ternyata, bagi perempuan bukan cuma ada usia untuk menikah, hamil dan melahirkan, ada juga usia untuk kehilangan keperawanan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *