Wartawan (lampu) merah

Mengikuti gosip santer Christian Sugiono-Titi Kamal beberapa minggu kemarin sebagai editor yang bergantung pada content provider ibarat menyimak siaran langsung pertandingan sepak bola lewat radio. Meletihkan. Menegangkan. MenJENGKELkan.

 

Letih akibat emosi terus-menerus dipermainkan. Dikira sudah gol lantaran sorak-sorai sudah begitu keras terdengar, ternyata bola meleset di mistar gawang, yang tentunya ga keliatan juga mistar bagian mana. Giliran gol beneran, tahunya terlambat gara-gara gemuruh supporter menutup pengumuman terjadinya gol.

 

Tegang, karena tidak mampu melihat persis apa yang sbenarnya terjadi di lapangan. Jengkel,  karena apapun yang terjadi, pemirsa radio akan terus disuguhi suara komentator yang terus berkomentar tentang apa saja termasuk yang belum tentu benar.

 

Demikianlah adanya berita simpang siur Christian-Titi. Ke Australia…ke Singapura…Nikah…engga nikah…Pindah agama…engga pindah agama… Meletihkan. Menegangkan. MenJENGKELkan.

 

Meletihkan, karena berita masuk setiap 5 menit dan saling mengkontradiksi satu sama lain. Baru saja meng-upload satu berita, sudah masuk berita lain yang berisi bantahan dari berita yang baru di-upload itu, sehingga berita awal harus segera ditimpa berita yang baru.

 

Menegangkan, karena berita itu terjadi hari Jumat. Hari yang akan disusul akhir pekan yang relatif santai dan tidak banyak disisipi berita. Sebuah petakalah jika berita terakhir yang gue pasang di hari Jumat itu adalah berita yang SALAH, karena berita itu akan bertahan agak lama di akhir minggu…Mengecek dengan situs tetangga pun tidak ada gunanya, semua penyedia berita memberikan berita yang cenderung mirip dan bantahan yang mirip juga!

 

Menjengkelkan, karena segala keletihan dan ketegangan gue seharusnya tidak perlu terjadi jika kantor berita tidak asal publikasi berita yang belum lengkap. Apa engga kasihan sama para pembaca yang budiman?

 

Bayangkan emosi pembaca yang terombang-ambing karena berita yang saling membantah! Nyokap gue sempat ngambek ga mau nonton sinetron kesayangannya, Alisa, gara-gara mendengar Christian begitu mudah pindah keyakinan. Ketika akhirnya berita itu dianulir, nyokap gue sudah keburu ketinggalan satu episode. Juga bayangkan malunya pemirsa yang mengutip satu gosip yang ternyata sudah terbukti salah karena membuka website ‘terlalu pagi’.

 

Memang pada akhirnya, apa daya wartawan mengetahui berita bahagia yang sengaja disembunyikan, tapi yah, KOK GA PAKE DICEK DULU SIHH?? APA KABAR OBJEKTIVITAS BERITA? APA KABAR AKURAT TERPERCAYA? KOK CUMA CEPAT DOANG YANG DIUTAMAKAN?

 

Selamat datang di era warta digital.

 

Ketika dulu ditanya, lebih memilih kerja dimana, gue dengan mantab menjawab INDONESIA DONG…Iklim media di SIngapura sangat amat terkontrol. Sedikitnya perusahaan media dan ketatnya peraturan pers menyebabkan para wartawan agak megap-megap nyaris pingsan dalam berbahasa.

 

Postingan saya kemarin ini bisa saja membuat saya kehilangan beberapa ratus ribu dollar karena dianggap telah memberi pencitraan jelek Pemerintah Singapura. Saya bakal dilumpuhkan karirnya, sedangkan organisasi berita yang turut mengutip blog ini bakal dibangkrutkan sampai tersisa kentut dan angin.

 

Namun berada kembali di tanah air, ternyata aroma kebebasan juga tidak terlalu harum memikat. Jurnalis memang lebih leluasa menulis tentang apa saja, tidak terlalu khawatir dituntut. Dengan demikian, tidak heran jika dalam sehari, sebuah news-website bisa menghasilkan hingga ratusan berita.

 

Tapi coba ditilik lagi,dari misalnya 500 berita, berapa yang merupakan bantahan berita sebelumnya? Berapa yang merupakan titipan Public Relations perusahaan otomotif, dan produsen barang elektronik? Juga, berapa yang merupakan berita internasional yang meleset terjemahannya? Dari sisanya itu, berapa yang memberikan pemberitaan hanya dari satu sisi? Berapa yang diterbitkan tanpa dicek kebenarannya terlebih dahulu?

 

Gue juga ga tau, karena sebagian besar berita itu merupakan hal yang jauh dari hidup gue. Baru terasa ketika beritanya tentang  hal yang menyangkut diri gue. yaitu, ketika heboh tragedi NTU kemarin.

 

PENUSUKAN KARENA BEASISWA DICABUT. Gue dan temen-temen disini jidatnya langsung kerut-kerut.

Pak Djatmiko itu siapa tho…

Ga tau, emang KBRI ngurusin beasiswa ya?

Setau gue si engga, tapi gue kan bukan anak KBRI, loe gimana?

Gue cuma pernah 3x ke KBRI, pas audisi art festival, perbaharui cap bebas fiskal sama ngambilnya…Jadi setau gue ga segitu akrabnya kita sama KBRI, siapa lagi yang dikutip disitu?

Ga ada, cuma Pak Djatmiko doang. Yang mutus beasiswa kan bukan profesor, masa bisa salah orang gitu?

Kalau bisa salah orang gitu, ga bakal diterima di NTU. Udahlah, tunggu aja berita ralatnya…      

 

Kami lalu berusaha mencari kebenaran dengan melihat website berita negeri tetangga.

            Lha ini juga katanya gara-gara beasiswa

            Oh ya? Tau darimana?

            Mengutip situs berita Indonesia…

            Yee..gimana sih, mereka kan yang di negara kejadian, bukannya mereka yang investigasi malah nyontek tetangga! Mana yang dikutip juga kurang akurat!

            Ini lebih parah lagi, bilangnya orang tua David gak dikasih tau, tapi ga ada interviewnya.

            Halah, gue kenal nih yang nulis! Dulu pernah project bareng! Kadang kalau ga ada narasumber, dia suka bikin quote sendiri terus dia telpon sodaranya, disuru ngomong quote yang dia buat itu terus dimasukkin berita dhe!

 

Lalu sesaat kemudian dari sesama berita online gue sudah mendapatkan berita selanjutnya bahwa isu beasiswa itu praktis cuma dugaan yang kurang mendasar.

Ini gue baca poskota secara online ya?         

Yee..masi mending poskota, ini uda bukan jamannya Yellow Journalism, tapi Red Journalism, alias jurnalisme lampu merah!

            Tega banget sih, anak orang tuuu yang ditulis, perasaan orang tuanya gimana anaknya diberitakan kayak gitu! Di-double cek dulu kek sama orang lain, nanya gue aja bakal gue jelasin sistem beasiswa ASEAN Scholarship itu kayak gimana, bisa ngasih  berita yang sedikit lebih akurat kan!

 

Gue jadi mikir, kebetulan saja isu ini dekat dengan gue, sehingga sedikit bisa membedakan yang fakta dan rumor yang difaktakan. Jangan-jangan, selama ini setiap pemberitaan dibuat dengan metode yang sama…Berarti entah sudah berapa kali gue memasukkan berita dan mendasari opini gue atas sesuatu yang semi-akurat saja.

 

Kalau sudah begini, sebagai bagian dari penyedia berita dan bergantung pada wartawan, gue tidak mau menyalahkan kantor berita. Sebaliknya, gue mau menyalahkan, ANDA! PARA PEMBACA!

 

Yap, benar sekali! Sejak skitar 9 tahun yang lalu itu, gue sebagai pembaca sudah termanjakan dengan banjirnya informasi dari berbagai sudut berbagai media berbagai bahasa. Kalau ga suka sama cara bercerita yang ini, langsung pindah ke yang lain. Gampang.

 

Dari semua banjir media itu, lambat laun gue terbiasa menyantap berita dengan kecepatan tinggi dan dengan berita miring yang dasyat. Kalau beritanya telat 15 menit sekalipun gue sudah merasa itu basi. Kalau beritanya objektif sedikit, langsung terasa membosankan. Yah, kalau salah-salah dan keliru sedikit, gue ga ambil pusing. Toh gue ga bakal tau juga.

 

Dampaknya, guna memperebutkan ‘gue’, media berusaha sekencang mungkin ngebut update berita, sebisa mungkin pakai bumbu-bumbu skandal. Wawancara saja siapa kek yang bisa memberi kutipan sensasional. Kalau lagi ga ada berita, ya diada-adain! Ambil saja kisah artis main film lalu diberi headline yang syedap. Pasti gue akan baca juga karena tertarik headlinenya.

 

Media menjadi korban dalam hal ini. Demi memuaskan para konsumen berita yang haus akan kecepatan dan sensasi, terpaksa kehati-hatian dalam mempublikasikan sesuatu harus dikorbankan. Apa boleh buat, daripada ga ada yang baca? Berita yang ‘menarik’ seolah-olah jadi harga mati agar dapat berkompetisi.

 

Baru jika yang jadi objek berita itu diri sendiri atau orang yang dikenal, kode etik jurnalisme jadi terasa lebih penting.

 

Mungkin gapapa dhe beritanya telat beberapa jam, tapi ketika disajikan telah mengandung warna dari cukup banyak nara sumber, sudah di-cross check kebenarannya, sehingga lebih objektif. Mungkin gapapa dhe satu isu cuma dibahas 2 artikel dan bukan 10, asal tiap artikelnya lebih panjang dan lebih informatif. Toh ga bakal juga 10-10nya gue baca sehari. Mau ga kerja?!

 

Tapi kembali lagi, itu gue, dan gue satu orang pembaca. Apalah artinya seorang pembaca tukang nyela ini dibandingkan memuaskan selera jutaan pembaca lainnya. Dan karena ini semua salah pembacanya, media tidak akan berubah sebelum para konsumen mengubah pola baca.

 

Hayoo..jangan sampai nanti pas tiba giliran kita yang masuk berita, orang-orang mencap kita ini dan itu secara keliru karena mengandalkan berita online sebagai sumber pengetahuan utama dan pembentuk opini….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *