What men want (to read)

Cowo itu suka baca apa sih?

Gara-gara sikap tamak gue yang gemar mengobyek, gue harus berkutat mencari jawaban atas pertanyaan di atas tersebut. Di tengah malam syahdu gue ditawarkan untuk menulis cerita bersambung, 13 episode dengan tema bebas. Gue bukan penulis fiksi, juga tidak bisa menulis fiksi, tapi mata gue langsung silau dengan gemerlap iming-iming uang tambahan.

 

Baru kemudian gue menyadari, bahwa yang akan menjadi target audience dari si novelet ini adalah: Kaum Pria.

 

Gue jadi agak cemas. Pengalaman menjajal nulis untuk sebuah majalah kebugaran pria boleh dibilang kurang membahagiakan. Tapi sekali lagi, gue gelap mata karena honor. Gue harus bisa membuat cerita yang berasas emansipasi! Untuk pria dan wanita!  Gue lalu berusaha menyelami pola baca kaum pria dan muncul dengan kenyataan yang lebih menyakitkan, men don’t read fiction.

 

Ketika  berdiskusi dengan rekan kaum pria, muncullah daftar bacaan mereka: FHM! PLAYBOY! MEN’S HEALTH! MEN’S FITNESS! JAMES BOND! FAST AND FURIOUS! STAR WARS! BATMAN! AMERICAN PIE! BOKEP!

“Tunggu sebentar….yang empat pertama dicoret yah, itu  non-fiksi, terus yang terakhir…itu bukannya film yah?” gue mengamati daftar di tangan gue.

“Diadaptasi dari buku kok!” temen A membela diri.

“Emang loe baca bukunya dulu?”

“Mmm…engga sih,”

“Yee…ga bisa gitu dong, buku fiksi yang loe baca apa? Macamnya chicklit gitu? ”

“Do men read fiction?! We don’t! Unlike you girls, we don’t spend time dreaming and fantacizing things!” temen A jadi jengkel.

“Except sexual fantasy…” gue menggumam.

“Even if we have sexual fantasy, we ACT on it, we DO it, while you, TALK about it, WRITE about it” ujarnya dengan muka mengejek.

“Enak aja! Liat tuh komik-komik bokep, dibaca juga kan sama cowo!”

“Yang nulis siapa coba? Novel roman picisan yang adegan seks aja ditulis sampe detail-detailnya, Cuma cewe yang bisa inget kayak gitu!” Temen A beneran sewot.

 

Gue sebenarnya agak tidak terima, merasa teman A telah menggunakan stereotipe yang merendahkan derajat kaum wanita, maka gue mencari teman laki yang lain. Setelah berbasa basi, tibalah pada pertanyaan yang mendasar, apa pendapat Anda tentang pria membaca fiksi…

“Errmmm..tergantung, mungkin kalau bokep kali ya? Yang jelas sih kalau chicklit engga banget!”

“kenapa?”

“Chicklit itu kan fokusnya tentang prosesnya, akhirnya sih uda pasti ketauan. Nah, yang suka perhatiin detail itu kan cewe, cowo mana suka baca detail? Cowo maunya yg cepet, rada to the point, skip sana skip sini, makanya ga ada yang baca novel.”

 

Gue masih tetap tak percaya, masa sih, masa sih, dari sekian banyak pembaca dan penulis pria di dunia, ga ada pengarang dan pembaca fiksi khusus lelaki? Teman B masih berbaik hati, akhirnya memberikan solusinya:

lad lit

n. A literary genre that features books written by men and focusing on young, male characters, particularly those who are selfish, insensitive, and afraid of commitment. Also: lad literature.

 

“Kok kesannya jelek banget sih?!” gue memprotes.  Sudah gue tidak terkualifikasi menulis lad lit, karena harusnya buku tersebut ditulis oleh pria, gue harus menulis secara hancur pula!

“Waduh, ga ngerti deh, ini market yang tidak terjangkau sih,” teman B tertawa.

 

 

Mungkin membaca fiksi memang bukan kegemaran mayoritas pria. Terpaksa gue menyusun tema-tema yang jadi daya tarik pembaca pria, hanya berdasarkan beberapa resensi judul lad lit yang ada, dan ‘karya sastra’ yang diajukan teman A, :

  1. Sex
  2. Sex
  3. Sex lagi
  4. Heroic character
  5. Loser, atau from loser to hero

“Ya udahlah, Gy, nulis bokep aja, seperti kata loe pasti ada yang baca,” teman A menyarankan.

“Gak, gak, tokohnya itu harus cowo pahlawan, yang ganteng, nyetir mobil sport, PLAYBOY, pinter, jago beladiri, tapi baik, dan setia kawan, terus..boleh lah abis itu jatuh cinta…” gue mencoret beberapa tema yang telah didaftar.

“Oohhh, jadi modelnya kayak…Mas Boy dari Catatan si Boy?”

“bener juga loe, uda pernah dipake ya idenya?” gue meringis.

“Kalau gitu ganti! Cowonya justru yang ancur-ancuran, anak kost, kuliah brantakan, muka standard, jadi loser dulu, terus akhirnya sukses karena bakat yang ga penting, misalnya…karena jago ngomong dia jadi penyiar radio…”

“Kok gue kayaknya pernah denger ya , gy?”

“Gue juga….Itu mirip sama novel dan sinetron Jomblo ya..”

“Udah lah, Gy, hidup kan barengan, cowo sama cewe, jadi pasti dong ada shared experience, ya loe tulis aja tentang hal-hal yang terjadi, loe putus kek, loe jomblo kek…”

“Yeee…klo beneran kayak gitu sih dari tadi aja kagak perlu nanya sana nanya sini! Gue bikin aja tuh, kisah percintaan, tapi seperti kata loe, cowo itu ga kayak cewe, kalau putus ya putus aja, ga pake berkhayal-khayal 10 tahun kedepan, kalau suka ya tembak, ga suka ya tolak, gimana bikin cerita?!”

“Ya itu dia, tentang kejadian yang ada, tapi dibalik, loe jangan nulis dari sudut pandang cewe, loe harus punya sifat cowo!”
“Yang mana tuh?”

“Yaa…kayak definisi ladlit itulah, sombong, egois, insensitif, takut berkomitmen…”

“Ini loe lagi menjelaskan tentang sifat gue apa cowo sih?”

“Klo gitu loe jadi diri sendiri aja lah…”

 

Nasib kurang mujur. Benar-benar mentok gue menyelami apa yang ingin pria baca (kalau mereka membaca). Nampaknya perjuangan emansipasi harus diakhiri di dunia fiksi…

 

Gue merasa gue bukan perempuan lenje menye-menye. Tapi tidak bisa dipungkiri, gue perempuan. Maka dalam tulisan yang terkadang lebih menggambarkan si penulis daripada objek yang dibahas, akan keluarlah itu cara pandang seorang perempuan, tentang hal-hal yang menarik seorang perempuan, dengan cara bicara perempuan. Tentunya sulit bagi pembaca pria untuk mengidentifikasikan dengan tulisan.

 

Ohh..laki-laki..aku berharap..aku salah…bahwa perempuan bisa menyelami pikiran kalian..dan bahwa kalian sungguh membaca cerita fiksi….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *