When Motherhood (hasn’t) Called

Raumanen tersenyum haru melihat bayi perempuannya.  Matanya berbinar-binar cerdas. Dibalut baju serba pink, bayi itu mulai mengucap-ucap, ma..ma..ma…ma… Raumanen dengan bangga memamerkan putri kecilnya pada semua orang. “Say something,” ujarnya, agar si anak mulai mengeluarkan gumaman-gumaman ala bayi.

 

Sekelilingnya tersenyum melihat bayi cantik itu. Entah berapa lama waktu berlalu. Tiba-tiba Raumanen panik, Tangannya pegal dan mulai bosan. Bayi yang terlihat rapuh itu menggeliat-geliat, sejuta hal bisa terjadi padanya, dan ia terperangkap dengannya! MAMIIIII MANAAAA…. Ia tiba-tiba menangis seperti bayinya.

 

Brak! Raumanen terbangun saat merasakan tetes air mata yang terasa nyata di lengan. Sekujur tubuhnya basah dengan keringat. Sesaat ia mengucap syukur itu semua cuma mimpi. Tapi mimpi itu sukses membuat perasaannya nggak enak dari pagi.

 

Saat mendengar kisah Raumanen, gue lansung mengangkat kelimat jari untuk memberi tos.Orang bilang, mimpi itu bunga tidur. Tidak ada artinya. Perasaan depresi dalam mimpi tak ada kaitannya dengan bayi yang diimpikan. Perasaan gue justru bisa jadi sebaliknya di kehidupan nyata, kalau berhadapan dengan bayi, akan merasa rindu, dan siap menimangnya.

 

Tapi gue, yang yakin bakal sama depresinya jika punya mimpi sedemikian, lebih percaya Freud, yang berkata mimpi adalah manifestasi segala represif yang kita pendam di alam bawah sadar. Apalagi gue juga pernah mengalami insiden serupa, versi nyatanya.

 

Akhir pekan ini yang jelas bukan milik gue, seperti bujang lainnya, gue bangun pukul 11 siang, hanya untuk mendapat kabar mengejutkan bahwa gue ditunggu satu jam lagi di selatan Jakarta. URGENT. Kaget, hanya sempat mandi, dan ngebut-ngebutan, gue langsung terserang sakit kepala. Bertambah parah karena tidak sempat makan hingga sore, dan masih harus terjebak macet setelahnya.

 

Tapi hal yang paling membuat kepala gue pecah adalah dua bayi mungil dan manis sepupu gue yang berseliweran di acara keluarga setelah itu. Gue buru-buru mencari Paramex dan menegaknya cepat-cepat. Kenapa, Gy, sakit? Tanya sang sepupu khawatir. Gue menggeleng, enggak kok, cuma telat makan…

 

Sepulangnya dari acara itu, entah karena efek Paramex yang luar biasa menakjubkan, entah karena sumber sakit kepala sudah hilang dari pandangan, gue langsung masuk ke dalam zen mode. Hati gue terasa damai dan begitu tenang. Macet luar biasa dan kesendirian terasa begitu indah dan menyenangkan.

 

Tak henti-hentinya gue bersyukur, Tuhan, terima kasih atas hidup yang indah ini. Terima kasih karena Engkau belum memberi jodoh padaku sehingga aku bebas dari kewajiban hamil dan mengikat hidupku dengan satu hal. Terima kasih atas kesempatan pulang malam dan bangun siang. Aku masih mau lihat Pulau Komodo, backpacking ke Myanmar dan road trip ke pantai selatan. Kau memang tahu yang terbaik untukku!

 

Entah mengapa,  di usia gue yang ke-25, memang tak sedikitpun terlintas keinginan untuk menikah dan punya momongan. Berada di sekitar wanita sebaya yang sudah punya si cilik kebanggaan mereka tidak sama sekali tidak membangkitkan rasa keibuan gue.

 

Terkadang gue, seperti Raumanen bertanya akan apa yang salah pada diri gue.  Ada yang bilang, itu karena gue anak bungsu. Sejak kecil gue memang tidak terbiasa merawat dan bermain dengan makhluk yang lebih kecil daripada gue. Apalagi gue tidak pernah punya hewan peliharaan, sudah pasti kegiatan mengemong itu tidak menjadi naluri gue.

 

Tapi masalahnya, gue suka anak kecil (selama bukan punya gue). Gue sangat suka bermain-main dengan makhluk polos yang bisa melihat dunia dengan cara berbeda, dan nampaknya anak kecil juga suka bermain-main dengan gue. Dengan wajah yang bisa berganti mimik dan suara, anak-anak kecil mudah menggelayut pada gue. Kadang tanpa gue sadari, beberapa anak kecil membuntuti dan seolah mengajak gue bermain di tempat umum.

 

Hanya bagi gue, suka anak kecil dan ingin punya anak kecil adalah dua hal yang berbeda dan tidak berhubungan. Kenalan teman, seorang guru yang berpengalaman selama 25 tahun ditanya tentang pendapatnya mengajar anak TK. Meski cinta anak, punya anak sendiri dan terbiasa mengajar, komentarnya tetap, mereka belum jadi manusia sepenuhnya…

 

Mengasuh anak adalah tanggung jawab yang besar. Waktu bermain-main dan bercanda-canda hanyalah sekian persen dari hidup sehari-hari. Sisanya adalah mengganti popok, menyusui, menenangkan dari tangis, memandikan, menjaga dan membawa ke dokter.

 

Sebuah kegiatan yang memakan banyak waktu dan perhatian. Dan gue cuma merasa belum siap untuk membagi waktu dan perhatian gue segitu banyaknya. Gue masih belum dewasa untuk tidak mencintai diri gue sendiri terlalu penuh.

 

Nah sekarang, mengapa kedewasaan gue itu datang terlambat? Mengapa gue belum juga terpanggil untuk merawat bayi itu?

 

Gue kembali mencari pangkal permasalahan. Mungkin ada di sisi biologis. Saat dalam kandungan, gue diduga adalah bayi laki-laki. Segala perlengkapan disiapkan untuk kelahiran si bocah cilik. Lemari bergambar grup band, pernak-pernik bewarna biru dan celana pendek mungil. Alangkah terkejutnya ketika bayi yang lahir, kembali perempuan, setelah dua kakak pendahulunya.

 

Konon, pengharapan akan anak lelaki itu mempengaruhi kondisi biologis gue. Beruntung tidak lahir dengan kelamin ganda atau ketertarikan yang tidak biasa, gue punya hormon testosteron jauh lebih tinggi daripada perempuan kebanyakan. Akibatnya, gue memiliki masalah yang biasa dimiliki orang-orang bertestosteron tinggi, seperti pada kulit dan bulu tangan.

 

Mungkin saja, juga mempengaruhi  sifat kewanitaan yang lain seperti….naluri keibuan! Tapi..masa sih sampai segitunya? Mau juga mempengaruhi siklus menstruasi atau kualitas sel telur, mana bisa mempengaruhi sifat? Terus apa yang salah dong? Kenapa dong? Masalahnya di mana dong?

 

Lalu saat gue sibuk dengan beberapa kalimat tanya itu, gue tercekat. Permasalahan utama tentang keibuan yang belum memanggil ini adalah karena gue menganggapnya sebuah masalah.

 

Masyarakat rupanya masih seksis. Ketika ada seorang perempuan, dengan usia yang cukup, berwajah cantik dan berprestasi tapi belum juga menikah apalagi punya anak, maka kesan pertama yang muncul adalah: Kenapa ya? Seolah-olah mengindikasikan, pasti ada yang salah jika seorang wanita yang laku tidak menikah.

 

Urusannya belum kelar sampai di situ. Ketika perempuan itu akhirnya menikah, lalu setelah beberapa tahun berumah tangga tidak dikaruniai momongan, kesan selanjutnya yang muncul adalah: Kok nggak bisa hamil sih? Lalu muncul tuduhan, nikahnya ketuaan sih, atau dulu keseringan ditunda sih!

 

Dan jauuuh sebelum itu, ketika seorang perempuan tidak punya keinginan untuk punya anak, atau tidak suka konsep kondangan, atau depresi setelah mimpi punya bayi, maka manusia di sekitar akan tertawa dan mengabaikan ‘keinginan untuk tidak menginginkan yang biasanya diinginkan’.

 

Adalah salah untuk seorang wanita untuk tidak menikah. Adalah salah untuk seorang wanita untuk tidak ingin menjadi ibu. Padahal, ada begitu banyak faktor yang membuat seseorang memilih akan menikah atau tidak. Gue mungkin akan segera berusia cukup dan masih belum ingin menikah. Dan gue tahu pasti, tidak ada yang salah dalam diri gue.

 

Demikian juga dengan panggilan punya anak. Ada begitu banyak pertimbangan yang diberikan untuk keputusan memiliki anak. Gue bersyukur orang tua gue cukup dewasa dan bersedia membesarkan anak semacam gue. Tapi jika gue belum bisa mengikuti jejak orang tua gue, bukan berarti ada yang salah pada gue, tidak secara sifat, tidak secara hormonal, tidak secara apapun.

 

Dan kenyataan bahwa ada orang-orang lain seperti Raumanen  yang punya keresahan seperti gue, menunjukkan, gue tidak sendiri. ‘Keanehan’ pada diri gue juga terjadi pada banyak perempuan dengan latar belakang mirip. Hanya, kami berusaha menyembunyikannya. Kami berusaha mempercayai bahwa ‘kami aneh’ seperti pemikiran orang-orang yang tak memahami fungsi Paramex saat berhadapan dengan bayi-bayi.

 

Dan karena ‘kami aneh’, gue harus mencari penyebab keanehan kami lalu menghilangkannya, menjadikan ‘keberbedaan’ gue sebagai ‘masalah’ yang harus dipecahkan. Padahal, mungkin yang salah pada diri gue, gue hanya berbeda.

 

Rasanya sudah waktunya untuk gue dan orang-orang berbeda untuk berhenti merasa jadi masalah. Kami mungkin memang tidak dewasa, manja, matrealistis, tidak pengasih dan segala atribusi negatif yang melekat pada mereka yang terlahir tanpa naluri ‘kewanitaan’. But we’re still women, with our own rights.

 

Si Mas-nya tertawa mendengar reaksi gue terhadap anak-anak. Gue pingin tau, gimana kalian pas nanti punya anak, nanti gue ingetin kalian pernah bilang kayak gini. Gue menyanggah. Mungkin saja suatu hari nanti gue akan mendambakan seorang buah hati. Dan saat itu, tentu saja gue akan menyayangi anak gue dengan segenap jiwa raga. Tentu gue akan berusaha menjadi ibu yang baik.

 

Tapi itu adalah nanti. Untuk sekarang, motherhood just hasn’t called yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *