This is a just for fun observation…
Ada gosip. Seorang kenalan diberitakan akan melangsungkan MBA alias Married by Accident. Dan gue menanggapi dengan komentar: “Kok bisa sih DIA yang hamil di luar nikah? Gue aja belum…”
Komentar gue tidak muncul karena gue adalah penganut seks bebas, atau karena gue iri dengki akan ‘musibah’ yang terjadi. Tapi akhir-akhir ini, semakin banyak tokoh yang sama sekali tidak terlihat sebagai figur yang diramalkan akan hamil di luar nikah justru menjadi objek gossip tersebut. Padahal, kasarnya, masih banyak, bahkan mungkin gue, yang berperawakan lebih wajar untuk berbaju tak trendi di atas pelaminan.
Bahkan ketika gue SD kelas 5, gue sudah diramal akan hamil muda. Saat itu gue bertandang ke rumah seorang teman. Melihat badan bongsor yang sepantasnya jadi milik siswa SMU satu namun dengan gaya pecicilan centil, sepupu sang teman berkomentar dengan suara lantang, “Hei kau! Kalau gaya kau seperti ini terus -menerus, kujamin kelas tiga SMP kau sudah hamil!”
Margie dan teman kecil saat itu langsung terdiam, selayaknya anak SD yang sedang membayangkan berbadan dua. Lima tahun kemudian berlalu, dan ketika lulus SMP, gue bersorak pada teman kecil gue itu, “We’ve break the jinx! Kita berhasil! Kelas tiga SMP dan tidak hamil!” Gue masuk SMA, lulus, kuliah, lulus, kerja, dan hingga kini belum hamil di luar nikah.
Sama halnya dengan seorang kawan perempuan yang lain, rekan berdiskusi di dalam kelas. Saat dosen sedang menjabarkan sosiologi di tingkat satu, percakapan kami akan berkisar seputar:
“I think he’ll make it as a good kisser,” gue berkomentar saat melihat murid baru berbibir memble bertindik.
Sang kawan yang sedang sibuk mencatat menghentikan pekerjaannya, menatap lurus, meremas tangan gue dan berkata tertahan, “Oh, Margy, more than that…”
“Screw you! He’s new in class and you’ve already tested it out? When?”
Percakapan sedemikian lebih sering mewarnai jam kuliah kami daripada diskusi pelajaran, terutama di hari Senin pasca weekend, hari Kamis pasca Ladies Night, dan hari Jumat pasca Ladies Night di klub Attica. Kini sang kawan bekerja di agen berita asal Perancis, dan belum hamil.
Demikian juga dengan kawan perempuan yang lain, yang menyatakan ia tidak pernah menyesal kehilangan keperawanannya. “Dengan menjaga keperawanan, berarti kita setuju bahwa nilai perempuan ditentukan cuma lewat selapis jaringan tipis yang bisa dijait ulang. Begitu batas itu dilewati, gue jadi bebas menikmati all the fun in the world!”
Bahkan dengan tindakan yang dilandasi pemikiran sebebas itu, kawan ini BELUM juga dihamili siapa-siapa.
Akan lebih mudah bagi orang untuk menerima jika gue (amit-amit jabang bayi) dan ketiga sahabat perempuan melahirkan bayi mungil yang lucu setelah baru lima bulan menikah. Penampilan, pola pikir dan tindakan kami lebih pas dengan bayangan orang akan pelaku MBA. Tapi kami tidak (atau setidaknya belum) pernah membawa berita tersebut.
Sebaliknya, dengan jumlah yang mencengangkan, ada banyak kasus dimana tokoh-tokoh yang tak terduga-lah yang terdengar telah terlibat pernikahan dini. Gadis pendiam yang rajin belajar, perempuan yang baru pernah berpacaran satu kali, dan Cinderella yang harus mendarat kembali di rumah sebelum jam dinding berdentang 12 kali. Sedangkan yang laki adalah pria yang manis dan tidak banyak omong, seorang geek yang berpacar kedua komputer, dan yang menjerit panik ketika kedapatan tak berhanduk oleh lawan jenis.
Gue berusaha menjawab kekaguman gue ini. Observasi pertama gue, adalah: anak bandel itu ternyata lebih pintar dari anak baik. Anak bandel membaca bokep, menonton Miyabi, membincangkan masalah seksual secara santai sambil minum secangkir teh. Dengan rutinitas semacam itu, sedikit-dikitnya, anak bandel tahu, bahwa bayi tidak dibawa oleh angsa terbang ke pintu rumah.
Menyadari bahwa tidak ada angsa yang terlibat proses pembentukan embrio adalah salah satu contoh bahwa anak bandel mempunyai pengetahuan sedikit lebih luas. Pengetahuan yang lain bisa saja mencakup pemahaman tentang alat kontrasepsi, teknologi menghitung tanggalan haid, hingga gratifikasi yang didapat sehingga meningkatkan kemampuan pengontrolan diri.
Sedangkan bagi yang baik, karena selalu menjauhkan diri dari hal berbau seksual, menjadi buta sama sekali akan hal terkait. Padahal, dalam keadaan yang tidak menguntungkan, kontak fisik tidak terhindari dan the point of no return (mengutip istilah pendidikan seks pada saat SD) tercapai. Jika point ini saja tidak dipahami, bagaimana cara menghindari dan menanggapinya?
Tapi ada kelemahan dalam hipotesa pertama gue ini. Jika katanya Tuhan maha adil, mengapa anak baik yang baru melakukan kelalaian satu dua kali itu dihukum? Sedangkan perempuan-perempuan residivis itu dibiarkan bebas berkeliaran menyebar penyakit?
Saat gue mengungkapkan kebingungan gue pada teman yang terakhir, dia setuju sambil menyatakan keheranannya, “Gue juga bingung, gue uda ML sama banyak lelaki, tapi kok nggak hamil-hamil ya?” Saat itu, gue secara spontan langsung menjawab sambil tertawa kencang, “No way, Honey, You’re not that lucky!” Enak aja loe, setelah sepanjang masa bersenang-senang dan bebas, lalu langsung bersuami dan membentuk keluarga bahagia! Gampang banget hidup loe!
Dan gue-pun tiba pada hipotesa berikutnya. Sungguhlah ternyata benar, orang baik akan dilancarkan jodohnya. Baik yang perempuan maupun yang lelaki, saat memilih pasangan hidup, ada begitu banyak pertimbangan. Kadang pertimbangan itulah yang justru menghindari seseorang melihat pasangan dengan cinta yang tulus.
Namun dalam keadaan mendesak, seperti saat yang wanita telah berbadan dua, biasanya, pernikahan akan segera dilangsungkan. Kedua pasangan tidak lagi dipusingkan akan pertimbangan yang mungkin memang tidak penting. Yang perempuan langsung menempuh hidup baru, mendapatkan suami yang bertanggung jawab (karena tidak meninggalkan begitu saja) dan bayi kecil yang lucu.
Seiring dengan kehadiran sang buah hati, kedewasaan bertambah, sehingga di masa datang, sudah tidak penting lagi bagaimana awal pernikahan itu. Dengan begitu, hamil di luar nikah, itu bukan hukuman, melainkan anugerah.
Sedangkan bagi yang bandel, jodohnya seret. Tanpa adanya alasan mendesak untuk memulai bahtera rumah tangga, godaan dari dalam dan luar bakal terus menghantui hubungan yang baru dibina, baik dari sisi yang pria dan yang wanita.
Anak bandel tidak akan diberi alasan mudah untuk segera menikah. Sebaliknya, kami akan ditakdirkan untuk terus menjalani siklus hukuman tanpa henti: Dikasih pacar…putus…patah hati…sedih…PDKT…dikasih pacar…putus…patah hati…sedih…PDKT…ditolak…patah hati…sedih…PDKT…Dikasih pacar…putus…patah hati…sedih… Demikianlah ujian datang bertubi-tubi hingga akhirnya kami bertobat dan jika beruntung, diberi jodoh sejatinya.
Tapi teman gue protes lagi. Teman-teman SMP kami yang mendapat cap nakal pada masanya, juga sudah MBA saat kami masih duduk di banggu SMA, dan kini hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Akhirnya gue menemukan hipotesa terakhir gue: Kehamilan tidak ditentukan oleh sifat seseorang. Anak baik dan bandel sama-sama punya probabilitas yang sama jika melakukan ‘hal-hal yang diinginkan’. Hanya mungkin teman SMP kami itu ternyata adalah sepuluh pembeli pertama yang beruntung…