2014. Seperti manusia lainnya, saya juga pernah buat salah.. salah pilih pacar di masa lampau. Dan saya terjebak dengan seorang mantan pacar yang hobi banget kampanye buat Bapak yang ‘ono’.
Whatsapp saya habis dibombardir oleh berita tentang paslon nomor sekian. Nggak ditanggapi, dikirim via FB messenger. Kalau nggak dibaca, dikirim via SMS. Nggak diwaro juga, saya dicurigai gagal move-on, pasti masih sakit hati karena diputusin.
Karena hayati lelah , saya jawab aja bahwa saya memang sudah berubah, jadi pilih paslon sesuai pilihannya beliau. Dalam pikiran saya yang dangkal, tentu dengan berhasilnya kampanye yang dilakukan, ia jadi bisa pindah berfokus pada target-target lain.
Taktik saya berhasil sementara. Ia kelihatannya senang dengan jawaban saya dan teror berita oborkompor itu berakhir. Saya bisa tidur tenang selama.. 1 malam.
Ya, hanya satu malam saja. Karena malam berikutnya, tepat pukul satu pagi, saya kembali dibombardir dengan kampanye, tapi kali ini bukan tentang mengganti calon presiden, tapi tentang.. mengganti agama.
Untuk pertama kalinya saya dikenalkan dengan nama Hj. Irena yang katanya mantan suster. Video pertamanya berdurasi 24 menit. Lalu disusul video berikut berdurasi 45 menit. Link itu dikirimkan berjarak 15 menit satu sama lainnya.
Sampai sekitar jam 3 pagi handphone saya bergetar tiada henti dengan link-link dari voaislam dan sejenisnya. Setiap hari. Sungguh saya gatel pengen nanya waktu itu, emangnya kalau saya jadi pindah agama, situ bakal ngapain? Soalnya saat itu orangnya lagi mempersiapkan pernikahan sama teman saya sendiri, kira-kira 3 bulan dari hari H.
Kali ini saya mati kutu. Taktik saya mengaku berubah pikiran tidak bisa dipakai di sini. Mana mungkin saya berani mengklaim pindah agama. Saya juga gak tega sama agama saya sendiri. Masa demi mengusir mantan pacar saya menjual agama saya?
Mau adu debat juga risih. Yang diomongin agama soalnya. Waktu itu istilah ini memang belum popular, tapi saya pun tahu, ke mana pun buntutnya, debat tentang agama mana yang paling benar akan membawa saya pada tuduhan PE-NIS-TA-AN- A-GA-MA
Biarpun sebenarnya kalau ngomong nista-nistaan, saya menang banyak. Habisnya yang dishare lebih banyak ngomongin agama saya daripada tentang agama baru yang harusnya saya dalami itu.(Ya, saya nonton semuanya karena berusaha terbuka terhadap panggilan).
Saat itulah saya disadarkan akan hal yang lebih mengerikan daripada fanatisme terhadap ideologi kebangsaan; fanatisme terhadap agama. Karena tidak seperti pilihan partai politik atau ideology kebangsaan yang bisa gonta ganti kapan saja, kita diharapkan setia terhadap satu agama.
Ketika pilgub ini dimulai, saya berdoa setengah mati supaya kesadaran ini hanya jadi milik saya seorang. Tapi ternyata para ahli kampanye itu pinter-pinter, mereka berhasil menemukan satu isu yang lebih greget daripada sekadar pilih-pilih gubenur. Mari masukkan unsur agama ke dalamnya!
Hasilnya adalah mimpi terburuk saya sejak 2014 jadi kenyataan. Unsur agama menjadi begitu kencang dalam pilgub kali ini. Gejalanya sama dengan yang dilakukan mantan pacar saya, hanya skalanya lebih masif.
Berita yang tidak kredibel, selama mendukung promosi yang dipercayai, adalah benar dan layak disebar. Sebagian banyak diwarnai kebencian dan tuduhan-tuduhan. Kalau dulu hanya whatsapp saya yang tercemar, kini seluruh social media saya seolah dipenuhi para mantan dari neraka.
Ideologi dan program sudah tidak penting lagi. Yang penting: SEIMAN. Baru kali ini saya mendengar terduga KKN dibela mati-matian, karena dianggap konspirasi PKI. Dulu mah kalau KPK nangkep siapa aja semua langsung sorak sorai. Salah bener itu mah belakangan.
Bikin saya sedih sih, apalagi ketika melihat video kampanye ‘menjurus’ salah satu paslon yang mengibaratkan memilih gubernur seperti memilih jodoh. Saya dilarang memilih paslon yang tidak seiman. Berarti saya nggak boleh milih paslon yang mengeluarkan kampanye tersebut karena beda agama. Padahal paslon itu tipe gue banget loh!
Ah, lagi-lagi cinta dan dukungan saya ditolak. Tapi apalah artinya suara saya yang cuma remah-remah rempeyek yang kalau disatukan sama yang lain tetap jadi minoritas itu baginya. Lebih sedih lagi, karena saya dianjurkan golput berarti. Mereka yang Katolik, Hindu dan Budha nggak bisa pilih pemimpin yang seagama. Gak ada opsinya soalnya.
Dan seperti di tahun 2014, saya tetap saja mati kutu. Agama bukan bahan diskusi. Kebenarannya harus mutlak. Seberapapun saya berteriak tentang fakta yang berlawanan, semakin membatu pihak seberang. Demikian juga sebaliknya. Yang milih A ya ngotot pilih A. Yang B ya tetep B. Bagi mereka saya gila, demikian juga sebaliknya.
Itulah sebabnya saya jarang berkomentar soal politik di PilGub kali ini. Saya tahu banget tulisan saya hanya akan menyenangkan segelintir orang yang sama pilihannya sama saya dan tetap akan mengundang sanggahan dari yang tak sevisi.
Tidak juga dengan tulisan ini. Oh, percayalah saya sudah berpengalaman dalam hal debat macam ini! Saya hanya ingin berpesan, di bilik pencoblosan nanti, tolong kembalikan pemilihan gubernur ini menjadi isu politik dan ideologi, bukan agama.
Gunakan hati nurani dan logika kembali, lihat programnya, lihat orangnya. Jika pembaca budiman merasa memang kesantunan menjadi hal utama dan satu-satunya yang perlu dimiliki seorang gubernur, go ahead, saya yakin Anda sudah tahu pilihan Anda.
Namun saya mohon, sejahat-jahatnya mulut saya, pandanglah saya sebagai sesama manusia dengan penuh belas kasih. Ingatlah akan ibu saya, yang setiap lima tahun (dan kemudian menjadi dua tahun lalu setahun sekali ) berenang sedada menggenggam rice cooker saat mengungsi di kala banjir, berisiko kena leptospirosis dan dipatok ular nyasar.
Seorang teman dengan keras hati pernah berkata bahwa semua itu sudah ada yang ngatur, demikian juga dengan banjir dan alam. Saya diminta percaya bahwa jika Tuhan berkata tidak banjir, siapapun gubernurnya, Insya Allah saya tidak akan kebanjiran. Lagipula, lebih baik kebanjiran daripada melawan Tuhan. God knows hukuman macam apa yang akan dikirim-Nya.
Saya hanya tersenyum. Saya tidak bisa memaksakan pendapat saya padanya. Bagaimana saya bisa menjelaskan pada dia yang rumahnya dua tingkat dan 5 meter di atas permukaan jalanan tentang dingin dan lengketnya air banjir di kaki saat saya harus tidur menggantung karena ranjang sudah jadi tempat ‘evakuasi’ lemari?
Dan bagaimana saya bisa melukiskan betapa traumatisnya pengalaman itu sehingga saya tidak berani mengambil risiko dipimpin oleh orang lain? Karena setidaknya 20 tahun hidup saya dipimpin oleh orang yang berbeda-beda dan ibu saya tetap masuk TV di atas truk TNI dengan sebotol Aqua dan biscuit?
Pastilah kefanatikan saya terhadap gubernur pilihan saya sama dengan kefanatikan para korban penggusuran terhadap gubernur pilihan mereka. Mana yang lebih tepat kebijakannya, ah, sudahlah adu programnya sudah dari kemarin. Toh tetap tidak mengubah pandangan kita.
Alasan nurani inilah yang membuat saya menuliskan satu-satunya tulisan tentang pilihan saya. Adalah sebuah kesadaran moral saya untuk menyatakan tentang gubernur pilihan saya. Mungkin juga nggak ngaruh. Tidak apa-apa. Kalaupun ngaruh, seperti sebuah doa, diam-diam saja dilakukan ya…
Kalaupun kalah saya mau jadi yang cerewet di socmed bilang ‘siapa suruh dulu pilih si itu!’ Soalnya dari dulu pilihan saya selalu menang, dan saya selalu digituin, hingga pilgub dan pipres kemarin, sejauh ini saya belum kena disalah-salahin.
Tapi apapun pilihan teman-teman, saya berharap setelah pilgub ini kita bisa kembali bersahabat. Yang menang tidak jumawa, yang kalah bisa move-on. Makanya saya tidak meng-unshare satupun teman facebook saya. Seberapapun ganggunya. Kecuali mantan pacar.
Selain memberi saya kesadaran penuh tentang bagaimana pandangan ‘di luar sana’, saya juga masih punya harapan kecil bahwa ini tetap sebuah persoalan politik, bukan agama. Karena persoalan politik bagi saya ada ujungnya. Kalau agama, ya jangan dong…
Dan kalau juga masih ada yang berharap saya bisa melihat masalah ini sebagai isu agama, dan ingin saya sependapat dengan pandangan mereka, saya tetap akan jawab, ya doakan saja saya ketemu hidayahnya.
Saya yakin banget Hidayah ini orangnya ganteng dan kece berat. Abis dari dulu saya sering banget diharapkan ngedapetin dia, bahkan dari mantan-mantan pacar saya yang pasti merasa Hidayah lebih cocok buat saya daripada mereka.