Pangeran mencintai putri, dan akan selalu demikian adanya. Kerajaan damai dan tentram, mereka sepadan untuk satu yang lain.
Suatu malam, pangeran pergi berburu, bintang jatuh datang melintas. Bintang jatuh cantik dan gemulai, ekornya melibas jagat semesta, memercikan api menyilaukan kelam. Pangeran jatuh cinta pada sinarnya. Keanggunan yang menjerikan awam, tak ditemukannya bahkan dalam diri sang putri.
Pangeran mengejar sang Bintang, berusaha menggayuh ujung percik apinya. Bintang jatuh tak mampu menaruh kasih. Hatinya terbentuk dari material debu semesta, dingin dan penuh serpih. Tak iba ia melihat pangeran jatuh bangun meraih gaunnya.
Pangeran menjanjikan seluruh kerajaan menjadi taman main sang bintang, agar ia dapat melintas kapanpun ia suka. Bintang jatuh menerima tawaran. “Rengkuhlah bayangku, namun jika pagi menjelang, kau harus kembali pada putrimu, dan lupakan malammu.”
Pangeran setuju. Bersama mengarungi galaksi yang fana. Dan ketika pagi menjelang, sirnalah sang Bintang, menyatu dengan terik mentari. Namun pangeran tak mampu melupakan bintangnya. Dan hari ketika mentari membakar bumi, hanyalah waktu untuk menunggu malam.
Putri tak lagi bersinar dibanding nyala sang Bintang Jatuh. Tak mampu ia memenuhi cita akan keajaiban malam.
Kini segala kerajaan menjadi malam. Agar sang pangeran dapat selalu bermain cinta. Bintang jatuh menjadi risau. Ia bahkan bukan dari dunia yang sama. Asanya di dunia pupus ketika cinta yang tulus kandas. Kini wujudnya membakar bumi dan siapapun yang menyentuhnya. Takdirnya adalah untuk melintas luas, mengelilingi semesta. Tak satupun galaksi bisa memilikinya, hanya kehendak sang pencipta yang jadi aturannya.
Dan jikalah pangeran dapat memahami, bintang jatuh bukan untuk dimiliki, akankah siang dan malam kembali silih berganti, atau sudah terlambatkah bagi sang putri, karena dingin malam telah membunuhnya?