Berapa kali seseorang bisa jatuh cinta dalam hidupnya?
Teman gue menjawab empat kali, karena dia bisa punya empat istri. Sex and the City dalam satu episodenya bilang dua, membuat khawatir tokoh utama, Carrie. Jika setiap wanita cuma akan bertemu dua orang pria yang berarti besar bagi hidup mereka, maka Carrie sudah melewatkan dua kesempatan itu dan berarti harus menghabiskan sisa hidup dalam kesendirian. Dalam versi bioskop, Carrie akhirnya menikah dengan pria yang kedua.
Sedangkan cerpen Haruki Murakami, the Kidney Shapes Stone that Moves Everyday bilang tiga. Dan si tokoh utama sudah jatuh cinta sekali. Itu berarti dia harus berhati-hati dan irit perasaan dalam menggunakan dua kesempatan yang dipunya, padahal ia sedang merasa jatuh cinta lagi. Haruskah yang ini dihitung?
Mirip dengan yang terakhir, gue juga memilih jawaban tiga kali, seperti Nicole Kidman dan banyak orang lain. Tiga terkesan magis, seperti tiga permintaan, tiga pilihan, tiga saudara, thus, tiga cinta. Tapi akhir-akhir ini gue malah merasa cemas jika jumlah yang gue pilih itu terlalu sedikit.
Empat tahun yang lalu gue merasa telah jatuh cinta pada tiga orang pria, membuat gue sangat sedih karena tiga-tiganya terjadi di saat gue bahkan belum menginjak usia kepala dua. Tapi kemudian gue jatuh cinta lagi, sehingga gue akhirnya mulai membanding-bandingkan perasaan gue dan mengeliminasi pria kedua. Mungkin waktu itu gue tidak benar-benar jatuh cinta. Maka kembali genap sudah tiga kali gue jatuh cinta.
Setelah yang terakhir kandas, gue mulai merevisi lagi perasaan gue. Mungkin yang pertama kali gue rasakan bukan cinta, supaya gue masih punya satu kesempatan lagi. Tapi gue harus berhati-hati kali ini, karena cuma tersisa satu kesempatan.
Dua tahun berlalu dan entah karena terlalu waspada, entah karena memang kesempatannya sudah habis terpakai, diluar segala janji manis dan malam-malam penuh bintang, memang belum pernah gue jatuh cinta lagi. Dan gue mempertanyakan apakah itu tandanya gue akan memulai hidup hampa cinta, di usia 23 tahun.
Manusia suka membuat teori-teori kecil guna menjelaskan hidup yang kompleks dalam bentuk angka yang sederhana, meski buntutnya teori kecil itu malah bikin perhitungan susah. Membuat klasifikasi ras, tapi akhirnya malah berantem sendiri. Membuat patok wilayah, malah rebutan bandara. Dan kini, membuat perhitungan teori cinta, yang malah membuat khawatir dan cemas saat merasakannya.
Atau mungkin bukan masalah jatuh hatinya yang harus dihitung, tapi dampak negatif yang seringkali mengikuti si jatuh cinta? Naksir-naksiran tentunya menyenangkan. Tapi semua stuju bahwa putus dan mencari yang lain bukanlah proses favorit kita semua…Bagi yang perempuan, akan cuma ada satu, jika bukan nol, cinta yang berakhir happily ever after. Berarti semakin banyak jatuh cinta, semakin banyak juga kesempatan hancur digulung ombak selatan.
Itu mungkin jadi alasan mengapa tanpa sadar, teori-teori jatuh cinta Cuma beberapa kali itu muncul. Bukan karena takut kehabisan cinta, tapi takut kehabisan hati yang dipatah-patah…Sayang rasanya kalau perasaan itu kita sia-siakan untuk orang yang kurang berarti, atau yang sudah pasti bikin hati susah suatu hari nanti.
Seperti tulisan Murakami lainnya, cerpen the Kidney Shapes Stone that Moves Everyday punya alur yang gelap, absurd, magis, ngaco, yaitu lewat cerpen-dalam-cerpen tentang batu ginjal.
Batu berbentuk dan berukuran seperti ginjal yang akhirnya menjadi obsesi seorang dokter wanita. Batu ginjal yang terus bergerak dan berpindah tempat. Batu yang balik lagi…balik lagi ke hadapan sang dokter. Batu yang membuat sang dokter melupakan selingkuhannya. Batu yang memberi rutinitas baru baginya: menemukan dan mengembalikan si batu jadi penjaga kertas.
Sungguh aneh memang menceritakan cinta lewat batu ginjal. Tapi lewat contoh ekstrim ini gue jadi manggut-manggut dipaksa lebih bijak. Everything in the world has its reason to do what it does. Apa yang hal lain itu lakukan akan bersinggungan dengan hidup kita tanpa teori yang bisa dijelaskan..
Jika sudah waktunya seseorang singgah dalam hidup, maka muncullah sang orang baru tersebut di hadapan. Bahkan jika yang muncul adalah sebuah batu tak berperasaan yang ganggu dan terus eksis dalam jalur kehidupan meski diminta pergi.
Pergerakannya, suka tidak suka menggoncang hidup si perempuan dokter, betapa tidak rasionalnya, memberikannya rutinitas baru, obsesi baru. Tapi yang sebenarnya menggerakkan si batu adalah perasaan dalam sang perempuan. Caranya melihat dan memperhatikan batu serta perubahan yang ia lakukan, adalah sesuatu yang mungkin merupakan kehendaknya, dengan batu sebagai katalis. Dan semua itu tak bisa muncul jika perasaan sang dokter terbatasi.
Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Ia mungkin memberi rasa tak nyaman, memberi obsesi baru, atau menjadi bagian dari rutinitas secara natural. Tapi seberapa besar perubahan yang terjadi dalam diri, justru tergantung dari kesanggupan kita menerimanya sebagai bagian dari hidup secara utuh.
Dan untuk menerima batu-batu baru, tidak akan pernah ada hitungannya. Menjadi takut untuk jatuh cinta adalah melawan takdir. Si batu akan muncul jika ia memang harus muncul.
Cerita-cerita Haruki Murakami, sebagaimana karya sastra yang dianggap ‘bagus’ oleh masyarakat, biasanya berakhir gantung, dengan pembaca jelata tertinggal bengong tak mampu menangkap makna dibalik buku. Tapi untungnya bicara soal tiga cinta, Murakami mengakhirinya dengan cara yang lebih literal.
Baginya, tak masalah dengan hitungan yang ada, yang penting adalah untuk selalu melihat setiap kesempatan yang datang sebagai yang terakhir, untuk memperjuangkan setiap cinta yang lewat seperti tak ada kesempatan lain yang akan datang.
————————————————————————————————————
One morning, the doctor notices that the dark kidney-shaped stone has disappeared from her desk. And she knows; it will not be coming back.—Haruki Murakami