Nikmatnya Jadi Gila

I have a confession to make.

 

Ada masanya gue mendapat akses ke akun seseorang yang… cukup ekstrim. Ekstrimnya kiri atau kanan, sebaiknya tidak dibahas di sini. Namun yang jelas, berkat pernyataan-pernyataannya di jejaring sosial, ia telah kehilangan puluhan orang teman yang merasa pemilik akun sudah kurang waras.

 

Yang punya akun tidak keberatan gue utak-atik, mengira gue memang tulus membantu mengungkapkan visi. Sedangkan bagi gue, ini kesempatan menikmati memiliki alter-ego, tanpa perlu mengorbankan image.

 

I had a blast. Gue meng-copy dan share link-link dari media-media kurang kredibel yang pemrednya sebagian sudah terjerat UU ITE, macam komporakyat, mrikionline, dan lain sebagainya. Lalu gue tambahkan komentar-komentar panas. Gue mengerahkan segala kemampuan gaya Bahasa hiperbolik untuk tampil picik, judgemental, dan.. gila.

 

Hasilnya, gue menulis biasa aja banyak yang sewot, apalagi kalau gue nulis yang ekstrim. Komentar-komentar berdatangan. Sebagian besar menghujat, menimpali dengan fakta-fakta yang berlawanan. Semakin dilawan gue semakin menggila. Betapapun rasionalnya fakta yang diberikan, gue akan meradang melawan dan membantah dengan fakta yang lebih aneh lagi. Gue membalasnya sambil ketawa-ketawa di posisi jungkir balik.

Seriously, if you have the chance, why wouldn’t you?

Gue pernah merasakan nikmatnya jadi orang gila. Ketika gue masih SMA setiap ekskul harus mempromokan kegiatan ekskul masing-masing untuk menarik anggota baru. Gue ikut theater dan tema kami tahun itu: Rumah Sakit Jiwa.

 

Seluruh bangsal sekolah kami sulap jadi panggung kami. Setiap anggota berkeliaran menjadi orang gila. Yang gila anak menimang-nimang boneka yang sudah kehilangan satu matanya dan marah pada mereka yang berisik. Gila lelaki memakai lipstick lebih lebar dari pipi dan mengejar abang seorang teman yang lagi datang. Mereka lari-larian dari ujung SMA ke ujung SD.

 

Gue, gila tenar, joged-joged sepanjang bangsal. It was the time of my life. Gue bisa melakukan apa saja yang gue mau hari itu. Gue tidak perlu peduli penampilan, atau pada orang lain. Mau guru kek, mau orang tua murid, semua akan memaklumi perilaku gue, I’m crazy! Dan dalam realita gue, guelah orang paling bener, paling keren, paling penting di penjuru bumi.

 

Gue yakin gue tidak sendiri. Tahun itu, kami mendapat calon anggota ekskul terbanyak daripada ekskul lain. See! Banyak tahu yang bakat jadi orang gila di Jakarta!

 

Berdasarkan pengalaman nikmatnya jadi orang gila, gue tahu gue tidak akan bisa mengeluarkan mereka dengan penjelasan rasional dan berdebat. It just won’t work, karena… kekurangan fakta bukan alasan seseorang jadi gila.

 

Sebuah penelitan menyatakan bahwa penyakit mental terjadi 50% karena kerusakan sel otak, dan 50% lagi karena seseorang terhambat dalam pemenuhan kebutuhannya. Salah satu yang signifikan adalah  kebutuhan mendasar manusia: the feeling of importance. Inilah kebutuhan yang menurut Freud mendasari segala kebutuhan lain, selain kebutuhan seksual. Bayangkan, segitu pentingnya!

 

Kebutuhan ini sama besarnya dengan kebutuhan akan makan, kesehatan serta rasa nyaman. Dalam kondisi ekstrim tidak terpenuhi di dunia nyata, maka seseorang secara psikologis dapat berlari, menciptakan dunia barunya, di mana dalam dunia baru itu, kebutuhannya akan menjadi berarti terpenuhi.

 

Yang mendasari arti hidupnya dengan harta, menjadi gila ketika kehilangan semuanya, menciptakan dunia di mana ia masih hidup berkelimpahan. Yang kebutuhannya dihargai dan dicintai seseorang, menjadi gila ketika ditolak, menciptakan dunia di mana ia dicintai bahkan dipuja oleh orang-orang yang menurutnya signifikan.

 

Kecenderungan ekstrim bisa muncul karena di dunia nyatanya seseorang merasa gagal, tidak dihargai, tidak dicintai, tidak didengar, sehingga ia akan lari pada kesempatan yang membuat ia bisa terlihat penting, atau menyumbang pada sebuah alasan yang menurutnya mendasar.

 

Gue tidak akan bisa menarik mereka keluar dari kegilaan mereka dengan menyatakan bahwa mereka gila dan keliru. It will never happen. Siapa juga yang mau keluar dari dunia di mana mereka itu penting, keren, maha benar, kalau tahu di luar sana mereka gak lagi bisa dadah-dadah bak artis tipi.

 

Jika ada yang benar-benar ingin menyembuhkan kawannya dari kegilaan, you need to give them what they’ve been missing in the real world! Beri mereka apresiasi! Atau kalau terlalu memuakkan, beri mereka ruang! Biarkan mereka bermain dengan ranah sendiri. Jika kebutuhan itu sudah terpuaskan, mereka akan cape sendiri dan kembali ke dunia nyata.

 

Seandainya ini sungguh diterapkan, alangkah damainya Facebook! Masing-masing sibuk dalam dunianya sendiri, tidak saling tengkar dan mengajak yang lain untuk bergabung.

 

But then again, apakah orang gila akan merasa lebih baik jika sembuh? Oh I really don’t know. Gue teringat seorang nenek di pengkolan Benhil yang merasa dirinya punya kebun, beberapa tahun lalu ketika orang gila masih dibiarkan bebas di Jakarta. Gue sering mengamatinya menggerakkan tangannya seolah mencangkul, mengairi, lalu menyiangi trotoar rusak yang mulai ditumbuhi tanaman liar.

 

Dalam realita mungkin si nenek ini kehilangan lahan yang cukup berarti. Unless gue bisa mengembalikan lahan sebenarnya, si nenek bisa tetap bahagia punya tanah imajiner yang indah.

 

Lagipula, apa jangan-jangan di pojokan benhil itu beneran ada kebun mawar, gue aja yang ngeliatnya cuma trotoar rusak! Aduh! Gue kebanyakan baca berita hoax nih! Jadi nggak bisa membedakan kenyataan dan realita!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *