Yogyakarta

It’s all started in one night. Malam itu dua hari sebelum tahun baru. Sorenya, gue baru saja minum teh di samping patung berisi roh jahat, di balik sebuah ruangan yang menyimpan replika Lara Jonggrang. Mungkin pengaruh ditatap si arwah perempuan penasaran setengah harian, atau kena sihir sang Lara Jonggrang, malam itu gue tidak bisa berhenti memikirkan kisah dua perempuan yang kurang beruntung itu.

 

Di balik patung arwah penasaran tersebut ada Laras, si pembantu. Entah karena sebab apa dan mengapa, ia memutuskan untuk bunuh diri dan menghantui rumah tua selama 30 tahun, sebelum akhirnya pemilik rumah baru memasukkannya ke dalam sebuah patung dan menguncinya agar tidak lagi mengganggu manusia. Nasib yang tidak lebih baik menimpa Lara Jonggrang. Ditaksir Bandung Bondowoso yang suka main jin dan tidak suka ditolak. Hingga dikutuk jadi candi yang membawa nasib buruk bagi tiap pasangan kekasih yang berfoto dengannya.

 

Entah mengapa, gue jadi khawatir terhadap masa depan gue sendiri. Mungkin karena membayangkan betapa miripnya usia kami bertiga, disaat Laras dan Lara mengakhiri hidup. Melihat ukiran di patung Laras, nampaknya si pembantu masih cukup muda ketika memutuskan untuk mengakhiri hidup. Sayang sekali. Harusnya beliau hidup cukup lama untuk pensiun jadi pembantu ditemani anak-cucu. Namun disitulah kisahnya berakhir; mati jadi pembantu dan gentayangan sebatang kara sepanjang masa.

 

Lara Jonggrang, selalu diceritakan sebagai perempuan muda yang cantik, anak raja. Masih banyak hal yang bisa dan belum ia lakukan ketika bertemu Bandung Bondowoso, misalnya menjadi ratu, bahkan jadi tokoh yang berperan besar dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia. Kisahnya akan dibikin bab khusus yang harus dihafal.

 

Sedangkan gue, berusia 23 tahun dan belum pernah sekalipun melihat Candi Sewu tempat Lara Jonggrang yang asli berdiam.

 

Tiba-tiba saja timbul semangat menentang takdir dalam hati gue. Bagaimanapun juga, gue ga mau jadi Laras ataupun Lara Jonggrang. Gue ga mau punya hidup yang tidak menyenangkan, lalu gantung diri dan jadi arwah penasaran sebelum dipenjara di dalam patung selama-lamanya. Apalagi membatu dan jadi objek wisata gara-gara lelaki bajingan. Hidup terlalu indah untuk itu.

 

Masih banyak tempat yang ingin gue datangi, orang yang ingin gue temui, dan hal yang ingin gue lakukan. Dan gue akan memanfaatkan waktu yang gue punya sekarang juga untuk melihat, mendatangi, dan menemui semua itu.

Dengan semangat berkobar-kobar, saat itu juga gue membeli tiket pesawat ke Yogyakarta untuk hari berikutnya, berencana menemui langsung Lara Jonggrang dan memenuhi cita-cita pertama gue: melihat candi Borobudur.

 

Perlu diingatkan latar belakang, gue anak kota besar sejati. Gue malas bepergian ke tempat-tempat yang ga ada starbuck-nya. Sebagaimana layaknya anak bungsu perempuan yang manja, gue bukan seorang risk taker; memilih tinggal di asrama yang ada WC-nya dan terjangkau sinyal telpon daripada tinggal di dusun terpencil sewaktu ada program Live-In di sekolah.

 

Maka menghabiskan malam tahun baru bukan di ibukota dan bukan di Bali bukanlah opsi favorit gue. Apalagi karena kepergian yang mendadak, gue harus tinggal di wisma yang super vintage, yang seperti melemparkan gue ke masa lalu jaman Losmen Bu Broto di TVRI. Tapi hasrat gue untuk membuktikan bahwa hidup gue lebih menyenangkan daripada Lara Jonggrang membutakan mata gue.

 

Ternyata gue menikmati sekali peran sebagai turis selama 4 hari kemarin itu. Mengunjungi Borobudur, Prambanan, Parang Tritis, Gunung Merapi, dengan membawa tas besar yang berisi kaca mata hitam, topi lebar, tissue basah, tissue kering, antiseptic, kamera besar, jaket, botol Aqua, handuk, sandal jepit cadangan dan peralatan standard lainnya.

 

Perjalanan ini juga memberikan gue kesempatan observasi kecil yang membuat gue semakin memahami Indonesia, seperti:

  1. Negara kita sungguh-sungguh dijajah Padang

Dua mantan pacarku Padang, rekan kerja seorang dan satu-satunyaku Padang. Seorang sahabat dekat di Singapura dulu Padang. Membuat gue bertanya-tanya apakah gue sedang jadi tahanan di penjara Bukittinggi. Tapi ketika gue mendarat di Bandara Adi Sucipto dan restoran pertama yang menyambut gue adalah restoran Padang, gue yakin gue tidak sendirian.

 

Mungkin gue salah ngitung, tapi 3 dari 5 nama restoran pertama yang gue lihat dari airport bertipe huruf Minang Sanserif, alias berbentuk rumah gadang. Setelah hitungan 5 itu ya, tentunya jumlahnya diseimbangkan dengan restoran gudeg, ayam goreng dan sebagainya. Akan tetapi, jika dihitung perbandingannya, kira-kira 50-50 lah…Perbandingan ini menjadi mencolok karena jarang ada restoran dari daerah lain semacam ikan Tude Manado dan masakan Batak.

 

  1. Orang Jawa sungguh kalem, baik, basa-basi, sopan…. kecuali Ojek Payung Candi Borobudur

Gue sungguh mengakui betapa benarnya stereotype tentang Orang Jawa itu. Selama 4 hari itu gue terbiasa mendengar supir taksi yang meng-iya-kan mengantarkan gue bahkan ke daerah yang lebih jauh dari ke Solo. Juga memaklumi peringatan ombak tinggi parang tritis yang kalem disertai contoh…”Harap tidak bermain air karena arusnya sangat berbahaya..contohnya teman kita yang berbaju hitam…berenang di selatan, sekarang terseret ombak hingga ke tengah…” Bahkan ketika gue nyasar ke sebuah kenduri yang gue kira restoran, si empunya pesta langsung ga enakan..”gapapa kok mbak..makan disini juga bisa..”

TAPIIII…stereotype itu tidak berlaku bagi ojek payung candi Borobudur! Yang tanpa belas kasihan merenggut payung yang disewakan di pintu gerbang, tanpa memedulikan jarak pintu gerbang dan tempat parkir yang masi membentang luas dan hujan yang menderu-deru! Tiada basa-basi, tiada ga enakan, payung langsung dirampas!

 

  1. Leluhur kita berpikiran sangat maju ke depan

Tentunya Raja Samarattungga sudah memperhitungkan, bahwa generasi penerus bangsa adalah generasi perusak yang tidak bisa menghargai warisan budaya. Makanya beliau memutuskan untuk membangun candi Borobudur dari batu, sehingga tahan dipanjat-panjat, dikorek-korek, dan ditendang-tendang tangan usil wisatawan local. Seandainya dibuat dari kayu, sudah hancur, tipis dan punahlah candi yang dibangun susah payah itu!

 

Untungnya lagi Sang Buddha sudah mencapai nirvana sehingga tetap tersenyum dan tidak lagi bisa terganggu oleh perlakuan tidak senonoh yang dilakukan para pengunjung….

 

Dan yang paling penting buat perkembangan pribadi, gue memahami benar prinsip when you go, you go. Kalau mau pergi ya pergi…Macamnya besok gue bertemu Bandung Bondowoso, kami cuek menyusuri jalan perbukitan yang rawan longsor di tengah hujan deras malam hari. Tapi rupanya Tuhan masih sayang sama gue. Biarpun sudah jauh-jauh ke Jogja, gue belum diizinkan bertemu, bahkan dengan lelaki semengerikan  Bandung Bondowoso sekalipun…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *