“Jadi, apa rencana karier Anda dalam sepuluh tahun kedepan?”
Gue menarik nafas panjang. Dan sebanyak pertanyaan tersebut diajukan, sebanyak itulah jawaban gue berubah. Itu sebabnya gue membenci interview pekerjaan. Setiap sessionnya menyadarkan, betapa tidak terencananya hidup gue.
Bahasa halusnya, gue seorang pecinta damai. Perempuan yang hidup bak air yang mengalir mengikuti alur sungai. Bahasa kasarnya, gue tidak punya ambisi, apalagi mimpi. Perempuan yang hidup bak air di daun talas.
Seumur hidup sejak beranjak dewasa, belum pernah sekalipun gue memiliki ambisi. Gue tidak pernah mencari ‘peningkatan karier’. Dari umur 15, ‘target’ menikah gue selalu ‘sepuluh tahun lagi’. Ketika ditanya apa yang mau diraih sebelum umur 30, gue termenung, lalu mengarang-ngarang. Kadang jawaban gue hanya: Err..tetap hidup boleh jadi cita-cita ga?
Berdasarkan takaran yang ada dalam masyarakat, sudah jelas, gue bukan seseorang yang pantas punya masa depan. Bukan karyawan idaman perusahaan multinasional. Bukan atasan yang pantas ditiru. Gue bahkan tidak punya visi-misi untuk diri sendiri. Bagaimana membawa orang lain ke arah yang lebih baik? Sudah keluar saja kamu dari kehidupan semua orang! Hush!
Sedih ya?
Sebagai orang yang tidak ambisius, gue bermaksud membela kaum gue. Bahwa kesuksesan adalah hak segala bangsa, baik yang berambisi maupun tidak. Lagian, emang sukses itu apa sih?
Gue teringat ketika menjalani seleksi Olympiade Biologi. Di saat peserta lain pakai pasang lilin dan berdoa rosario, gue boro-boro belajar. Memang gue sudah tidak ambisius dari kecil. Sepanjang pelatihan gue malah sibuk mencari akal untuk bolos ujian, agar bisa segera tereliminasi. Alasannya sederhana: Gue tidak pernah suka biologi. Sebodo-wae nantinya masa depan jadi ga terang, pokoknya gue ogah mengorbankan Sabtu gue di ruang praktikum!
Sudah bisa dipastikan, gue gagal dalam ujian eliminasi. Sedangkan teman gue, yang sangat menginginkan keberhasilan di bidang itu sukses menembus beberapa tahap eliminasi. Kini ia sudah lulus jurusan biologi dari universitas bergengsi di luar negeri dan sedang menempuh pendidikan menjadi dokter. Tapi kalau dilihat, gue pun sukses mendapatkan apa yang gue inginkan. Gue sukses Walk-Out dan menyelamatkan masa muda gue!
Sukses itu sebuah kata sifat, dan seperti kaya dan cantik, sifatnya relatif. Bisa diukur dari materi, tingkat kebahagiaan, maupun dari pengakuan si empunya sukses. Terkadang, orang yang cepat puas macam gue jadi terlihat lebih cepat sukses. Habisnya kami akan menonjolkan hal-hal menyenangkan yang kami dapatkan dan kurang peduli akan hal-hal yang tidak memuaskan. Biar kata gaji gue jauh di bawah standard lulusan universitas Singapura, gue tetap terlihat kaya raya, lantaran tidak mengeluh kekurangan dana. Sedangkan orang ambisius tidak akan bahagia sampai cita-citanya tercapai.
Tentunya, orang yang punya ambisi akan tetap terlihat lebih ciamik! Tanpa bermimpi besar, seseorang akan sulit meraih sesuatu yang besar. ASALKAN…mimpinya harus mimpi dari dalam diri sendiri, bukan mimpi orang lain, dan bukan karena disuruh orang lain.
Yang jadi masalah, seringkali orang jadi punya ambisi lantaran disuruh orang lain untuk harus berambisi. Kadang ambisinyapun tidak original, menjiplak keinginan orang tua, guru, keluarga dan sahabat.
Terjebak mitos orang tidak berambisi tidak bisa sukses, gue pun berusaha mengikuti trend: Pura-pura punya ambisi. Sejauh ini, nampaknya gue cukup berhasil. Tidak ada satupun sahabat gue yang percaya gue tidak berambisi. Semua mengira gue adalah manusia yang sudah membuat Program Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun.
Bahkan disaat-saat gue sedang ‘jujur’ mengakui kelemahan gue, dari 5 percakapan, gue menerima jawaban: YAA..YA..YA.. (Tidak mau mendengar), lalu, YA iya lah! Apalagi ambisi loe! Uda tercapai semua! Lalu, Oh yeahh??? Ada lagi, loe tu ambisius banget lagi, Cuma loe ga nunjukkin, dan juga, See yourself now! How many journalism graduates actually dreaming of having your title, COUNTRY EDITOR?
Sungguh jawaban yang tidak memberikan keadilan pada diri pembagi cerita, saya sendiri. Semua respon teman-teman yang budiman didasari akan satu hal, bahwa gue nampaknya cukup baik-baik saja, karena gue berambisi tinggi dan berhasil mewujudkannya. Padahal, tidak ada satupun yang gue miliki sekarang yang merupakan cita-cita gue. Bukan macamnya gue mendapat sekoper uang dengan mengikuti peta harta karun, tapi lebih ke arah jalan-jalan sore dan tiba-tiba ketemu koin di pinggir got.
Dan fenomena ketemu koin ini menguatkan kepercayaan gue, bahwa kesempatan memperbaiki hidup disebar ke jalanan siapa saja. Yang punya fokus hidup mungkin akan lebih mudah menyadari kesempatan itu dan memaksimalkannya. Bagi yang cuma berprinsip ‘jalani aja lah hidup ini’, selama sungguh menjalani jalan itu dengan baik tentunya bakal memungut koin kesempatan itu sepanjang jalan. Ya kan?
Mendekati akhir posting-an ini…gue masih tetap ga punya ambisi. Itu berarti kesempatan berikutnya gue di-interview, gue masih akan berganti jawaban. Atau..bolehkah gue menjawab sedemikian: Rencana saya selama 10 tahun kedepan adalah hidup tanpa ambisi dan tanpa keharusan berambisi. Lha kalau begitu ngapain ikutan interview?!