Gara-Gara Kondom

Entah sudah berapa kali S (merk sebuah kondom) menyelamatkan hidup Anda…Begitu slogan iklan kondom di Indonesia beberapa waktu silam. Tapi buat gue, kondom itu malah menjadi sumber kemaluan (-kata benda dari kata “malu”).

Semua berawal ketika teman gue, rekan mahasiswa komunikasi menggerakkan kampanye AIDS Awareness beberapa waktu lalu. Sebagai bagian dari programnya, beliau membagikan kondom secara gratis, yang dikemas secara menarik seusai ujian tugas akhir kami. Gue, yang punya prinsip “Segala yang gratis itu baik adanya”, segera mengambil kondom itu, bukan cuma 1 tapi 2 pak, meski belum terpikir kegunaannya dalam waktu dekat. Kedua pak kondom itu lalu gue masukkan ke dalam tas, dan gue segera meluncur karena terburu2 mau mengurus pameran foto yang hingga kini masih berlangsung.

Sepulangnya dari jaga pameran, ketika gue berjalan ke MRT station terdekat, gue berpapasan dengan seorang teman lama gue. Setelah say hi dan apa kabar, gue pun melanjutkan dengan prosedur yang sopan, “eh, loe ternyata disini juga tho, sini nomer telpon loe berapa, ntar kita kontek2an lagi…” Pada saat itu, tentunya gue sudah lupa dengan anggota baru dalam tas gue itu. Tapi gue segera diingatkan, ketika sedang merogoh compartment depan tas mencari handphone. Kedua anggota baru gue itu unjuk gigi, melambung rendah membentuk setengah lingkaran dan mendarat sempurna di ujung sepatu teman lama gue itu.

Me-notice bentuknya yang khas, teman gue langsung pura-pura ga ngeliat. Dan gue, dengan sangat malu, segera memungut karet pengaman itu, sambil terus menjelaskan dengan panjang lebar kampanye AIDS awareness yang berakhir dengan kondom di tangan gue. « Iya…jadi gitu dhe..gue sih ambil aja, biar kesannya kampanyenya sukses gitu…tapi gue juga ga tau sih apa gunanya buat gue, ahh…mending gue buang aja lah..daripada menuh-menuhin tas… » ujar gue sambil cengengesan, lalu segera melempar benda aib itu ke tong sampah. Padahal dalam hati gue menjerit, yaa..sayang banget belum dipake udah dibuang…

Seminggu setelah kejadian itu gue jadi malah mikir, kenapa yah gue harus merasa malu karena ketauan membawa kondom? Bukannya lebih malu-maluin lagi kalau gue digosipin aktif secara seksual tapi ga pernah siap kondom?

Pada hari yang sama itu seorang teman gue protes. Dia gak habis pikir kenapa kondom begitu sulit didapat. Bahkan 7-11 (convenient store) di kampus ga boleh menjual kondom. Padahal di Negara asalnya, condom vending machine itu disediakan di setiap dormitory, sehingga mahasiswa yang kepepet dapat dengan mudah mengakses kondom.

Kondom di Singapura, dan di Negara Asia Tenggara pada umumnya, menjadi sebuah barang terlarang, seolah-olah menjadi alat pendukung hubungan seks yang terlarang. Alasannya, orang yang menggunakan kondom mengindikasikan mereka tidak siap dengan konsekuensi hubungan seks, yang menandakan minimnya tanggung jawab dalam bercinta.

Kondom diletakkan di tempat yang mencolok, di dekat kasir, bahkan kadang harus diambilkan oleh mbak-mbak yang jaga kasir. Coba bayangkan di posisi seorang pembeli kondom di circle K, yang harus bilang, “Mbak, tolong dong, saya beli Durex Feathernya satu…” dan lebih susah lagi kalau mbaknya bilang, “yah mas…lagi kosong…” dan harus lanjut bilang, “klo gitu yang extra light aja dhe mbak…”

Daripada terlibat dalam pembicaraan yang kurang nyaman ini, gue yakin banyak yang memilih diam, berharap bisa menahan gairah, dan kemudian gagal, dan berharap lagi, mungkin pasangan gue bersih…

Ketika gue mengadakan AIDS Awareness campaign yang disponsori Health Promotion Board (HPB) Singapore, salah satu wejangan mutlak yang harus dipenuhi jika gue mau mendapatkan 3000dolar dari mereka adalah: Promosikanlah abstinence, bukan kondom! Oleh karena itu, segala display kondom atau pembagian kondom dilarang keras. Gue pun terpaksa menyampaikan pesan itu, dengan salah seorang pengunjung stand menunjukkan tampang ngeri, “Are you seriously gonna ask me to stay abstinence?” Tentunya, daripada konyol, gue menjelaskan, ohh..enggak…tapi gue Cuma bilang, yang paling bagus itu abstinence, tapi hari gini masi perawan..susah ya…makanya kalau ga kuat, at least pake kondom…

Dan ketika salah satu proposal kami adalah menyediakan condom vending machine di setiap asrama NTU, perwakilan HPB langsung menolak dengan tegas, mau dibawa kemanaa negri ini…

Padahal kalau ditilik lebih lanjut, coba dijawab, apakah karena punya kondom orang jadi niat ML atau karena orang memang kepengen jadi butuh kondom? Pertanyaan ini bisa ditelusuri dengan pertanyaan berikutnya: Mana yang ada duluan: sex atau kondom? Jika kondom itu diciptakan terlebih dahulu baru manusia menciptakan teknik prokreasi dengan hubungan sex, bolehlah kita menyalahkan kondom atas masalah dunia sekarang ini. Tetapi tentunya, sudah sejak jaman prasejarah sex itu exist, lalu kondom diciptakan, meski juga pada awal peradaban. Ini membuktikan bahwa peningkatan jumlah kondom dan sex itu berjalan secara sejalan, tapi tidak sebab-akibat.

Dan sifat bangsa Asia yang malu-malu kucing soal si latex ini justru membuat penyebaran HIV itu bertambah riskan. Ada vending machine atau enggak, mahasiswa NTU tetep kumpul kebo. Coba aja hitung jumlah sandal pria yang bermalam di depan kamar perempuan dan sebaliknya. Gue ga percaya kalau mereka cuma sekadar tidur bareng sama-sama merem. Nyatanya, banyak dari pengisi survey gue yang mengaku sudah pernah berhubungan sex. Dan kesulitan mendapatkan kondom cuma berakhir dengan mayoritas yang telah berhubungan sex itu, melakukannya untuk pertama kalinya tanpa pengaman setipis apapun.

Paham. Paham sepaham-pahamnya kalau sex itu tabu, pantang dibicarakan, tidak sesuai dengan budaya bangsa dan sebagainya. Ngerti juga kalau pembagian kondom secara gratis dan terbuka berisiko menimbulkan asumsi bahwa sex pranikah adalah sesuatu yang biasa dan sah. Tapi coba matanya dibuka lebar-lebar…sex bebas itu ada dimana-mana, suka gak suka, mending difasilitasi cara pengamanannya….Condom vending machine!

Gue juga ga tau kenapa tau2 gue berhasrat membahas hal ini. Mungkin karena baru dipilih untuk ketemu Menlu Singapura minggu depan. Dan ada banyak list dari rekan-rekan yang kritis untuk disampaikan tentang keadaan universitas gue, salah satunya si vending machine ini. Dan gue ga tau gimana cara menyampaikannya, meski bertanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi rakyat Singapura. Gue kan anak baik-baik..masa gue harus ngomongin kondom…gila aja…apa kata orang nanti…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *