What gift would you give to a 70-year-old bride?
Ini serius. Nanya beneran. Jangan pada ketawa. Teman seorang tante (70 tahun) akan menikahi mantan pacar sewaktu mudanya (76 tahun) minggu depan. Speaking of telat nikah.
Dan pertanyaan itu membuat kami berkerut jidat sepanjang siang hari selama satu putaran mal. Dikasi sweater gimana? Tante mengusulkan. Lah ya jangan, mamih langsung protes. Nanti kesinggungan repot. Orang kawin biasanya dikasi lingerie renda-renda, ini malah dikasi baju anget.
Kalau baju muslimah panjang? Tanya tante lagi. Mamih melotot, yang bener aja, kalau kesrimpet, jatuh, masuk rumah sakit, siapa yang tanggung jawab?
Daripada menimbulkan kericuhan, kami akhirnya memutuskan berunding Biasanya kalau kawinan tuh dikasi kado apaan sih? tanya mereka. Ya yang sesuai kebutuhan, gue menjawab. Mereka nikah buat apa?
Apa kebutuhan orang menikah? Atau lebih dalamnya, apa kebutuhan orang umur 70 tahun menikah?
We all know why someone is getting married. Menghindari zinah katanya. Memberikan keturunan yang sah. Ya udah, kalau gitu beliin aja pakaian dalam bukaan empat! Begitu si Mamih mengambil kesimpulan. YA BUKAN GITUUU.. gue langsung panik. Mamih ketawa ngakak. Umur 65 aja udah turun segono, gimana ditambah 5 tahun lagi? Sepinggang kali.
Tajir kali ya pasangannya? Kami berspekulasi. Alasan ekonomi, jadi kecurigaan kedua. Dulu di Singapura, ada frase ‘Let’s buy HDB together’, yang merupakan ungkapan lamaran. HDB, unit rumah susun ala Singapura itu memang hanya bisa dibeli pasangan suami istri.
Logikanya sederhana, jika tadinya ada satu orang bekerja, kini ada dua orang bekerja dalam satu rumah tangga. Biaya sewa flat bisa lebih irit. Tinggal satu rumah bareng.
Terkait hal ini, banyak juga yang menikah untuk menempuh hidup baru di rumah baru. Biasanya kita kasih perlengkapan rumah, sofa, blender, pecah belah.
Ini aja kali ya? Pajangan kakek-nenek! Tante mengusulkan. Mamih langsung godek. Orang baru kawin uda dikasi gambaran yang suram. Itu kakeknya kayak pengangguran. Neneknya juga lagi bengong.
“Uda kasi pigura aja”, si Mamih mengusulkan.
“Aduh, udah umur 70 gak usah lah pake foto-foto!” tante menyanggah
“Ye masa kawin kagak difoto biarpun udah 70 taon!”
Kami kembali keluar toko dengan tangan hampa. Bukan itu. Keduanya sudah punya rumah. Status, harta, bukan sesuatu yang sedang dicari pasangan ini.
Seks bukan, status bukan, jadi apa dong? Tante kemudian mulai mengingat-ingat alasan pengantin perempuan mau menikah lagi. Kalau nggak salah sih.. cari temen ngobrol.. ujarnya.
Zzziingg. Jawaban itu langsung membungkam mulut nyinyir gue dan mamih. Nah ini nih, alasan paling tepat untuk menikah. Mencari TEMAN HIDUP.
Di usia kepala tiga ini, banyak yang mengambil kesimpulan bahwa Margie tidak mau menikah. Sebuah kesimpulan yang diambil tanpa berkonsultasi dulu dengan sang obyek.
Biasanya, karena kebanyakan alasan untuk menikah seolah sudah tidak diperlukan. Uang, nyari sendiri. Status, kayaknya orangnya cuek-cuek aja. Seks, wah kayaknya anaknya liberal nggak kepikiran kayak gitu deh!
Gue teringat satu kali sebuah makan-makan, pak bos bercanda, eh kalian mah nyariin Margie usaha gampang, cariin laki tuh! Bu bos menanggapi, ya beda kali, gue juga punya temen kayak gitu, dia juga nggak mau nikah, udah enak sendiri, ngapain coba ngerepotin?
“Ya kan? Loe emang by choice kan nggak merit?” Bu Bos bertanya.
“Engga, gue mah mau-mau aja,” gue menjawab kalem.
“Ah masa! Kayak gini nih, trus giliran ditawarin yang ini ditolak, kurang tajir! Yang ono ditolak kurang ganteng! Cari-cari alesan
“Ya elah, sama yang sedeng-sedeng aja gue ditinggal kawin!” gue membela diri.
“Masa sih?” Bu Bos nggak percaya. Dibukanya galeri foto, lalu ditampilkan wajah seorang bilioner asal negara seberang di usia late 30s yang masih melajang. “Nih! Sama yang ini! Bilang apa loe?”
“Ohh.. ganteng ya..” Gue menjawab kalem menyatakan pujian jujur.
“Mau bilang loe sibuk? Kebanyakan ngurus sawah di luar kota?”
“Enggak.”
“Mau bilang die kurang pinter?” Bu Bos makin semangat
“Enggak juga,” gue tetap kalem.
“Awas lo dikenalin trus dicuekin!”
“KAGAK! YA ELAH! KAGAK! MANA SINI ANAKNYA SINI!”
Cukup sulit menyatakan bahwa gue tidak menutup diri terhadap perkawinan, tapi gue juga tidak buru-buru, karena alasan gue untuk menikah lebih sulit dikuantifikasi. Kalau harta tentu ada banyak ada dikit. Anak, ada banyak ada sedikit. Tapi teman hidup?
I’m looking for a friend in life. Someone who can laugh at my dry jokes and someone who can make me laugh. Someone who will follow me to the deepest jungle and someone who shares his journey with me. And perhaps, someone who expects my advice when in need, and to listen to my unnecessary cry when I’m having PMS.
Dalam pertemanan, selalu ada dua sisi. Ada dua pihak yang harus sepakat. Mungkin sulit, karena kualitas yang gue cari sangat kualitatif, dan lebih sulit lagi mencari orang yang menemukan kualitas yang baik pada gue.
Tapi rasanya itu adalah sebuah alasan yang lebih baik untuk menikah. Itulah sebabnya seseorang mungkin menunggu 30 tahun, 40 tahun, atau bahkan.. 70 tahun! They’ll be a gift to each other, dan karenanya, mungkin tidak membutuhkan hadiah dari orang lain!
“Ya tapi kan kenalnya udah lama, itu mantan pacarnya kok waktu masih muda! Kenapa nggak ngobrol dari dulu aja?” mamih tiba-tiba kritis.
“Mungkin waktu masih muda, merasa masih punya banyak teman, banyak keluarga, jadi bisa ngobrol dengan siapa aja. Pas udah tua lebih bijaksana, menyadari mereka adalah untuk satu dan yang lainnya,” Gue berusaha membuat teori ini sempurna.
“Ditinggal kawin,” tante memotong.
“Hah?” gue dan mamih terkaget-kaget.
“Iya, dulu mereka pacaran, terus nggak jadi nikah, soalnya lakinya kawin sama orang lain!” tante menjelaskan santai.
Kami langsung nyengir, “kalau gitu, kita pilih ngobrol sama diri sendiri aja deh, gak papa gak usah punya temen ngobrol!”
Dan kamipun pulang dengan tangan hampa, tanpa hadiah untuk calon pengantin.